Aduh, Dek!

Dari dulu, gue seneng banget ngeliat muka bayi. Apalagi yang lucu-lucu. Bawaannya pengin bikin aja. Buat gue, muka bayi itu jujur banget. Mau senyum, ketawa, sedih, manyun, nangis, mereka santai aja nunjukin betapa lugunya wajah mereka. Nggak ada yang ditutup-tutupin. Mun ceuk sunda mah, sabodo teuing. Ah.. Persis banget sama muka gue yang baby face ini. *bismillah* *nyebur kali*

Pernah, suatu kali gue ketemu sama bayi yang pipinya gembil banget, kayak bakpao cokelat. Karena nggak tahan gemes, gue cubit aja pipinya sampai merah. Terus gua gigit sampai berdarah-darah. Akhirnya, gue dicuekin sama emaknya. Masih mending, sih. Untung kagak digamparin. Abis gimana, ya? Itu kan lucu banget, bibir merah, pipi gembil, mata kerjap-kerjap. Anjis, itu tuh lucu banget. Asli!

Nah.. Pagi, tadi. Entah motivasinya apaan, ada salah satu followers di twitter gue yang mention ngirim foto bayi.

Entah karena motivasi apa lagi, banyak yang ikut-ikutan ngirim foto bayi yang mereka punya ke gue. Berikut ini, bakal gue tunjukin betapa lucunya wajah-wajah mereka.








Ampun dek... Lemes saya ngeliatnya. Pada ngegemesin banget, sih? Kayak bayi jenglot.

Saat ngeliat foto-foto itu, naluri gue sebagai anggota sindikat penjualan bayi tiba-tiba mendidih. Hampir aja gue berniat untuk segera bikin katalog bayi-bayi lucu plus kisaran harganya. Tapi gue buru-buru istighfar. Karena itu nggak boleh, dosa.

Entahlah, tiba-tiba gue jadi kepikiran buat cepet-cepet nikah aja. Biar segera bisa memproduksi bayi-bayi lucu secara halal dan berkah kayak gitu. Masya Allah. Semoga Tuhan memercayakan gue untuk punya anak-anak yang lucu dan menggemaskan setelah menikah nanti, hingga bisa tumbuh menjadi anak-anak cerdas yang kehadirannya dinantikan ummat dan bangsa untuk memperbaiki negara. Merdeka!!

Terima kasih buat teman-teman yang sudah berbagi foto wajah adik-adik manis yang menggemaskan ini. Semoga mereka tumbuh menjadi anak yang baik, sebagaimana lucunya mereka saat ini.

“Robbiy habli minash sholihiin...”
Aamiin

Ps: Anyway, dari pada sibuk memikirkan kapan bisa punya anak, bagaimana kalau kita saling memperjuangkan cinta yang kita miliki sekarang? Hingga bisa terjaga sampai ke altar pernikahan.
Selengkapnya

Aku, Kau, dan Perdebatan Tentang Jika

"Bagaimana jika kita tidak bisa terus bersama?"
"Tak perlu membicarakan hal yang tak ada."
"Iya. Tapi seandainya?"
"Jangan terlalu banyak berandai, bee. Tak baik untuk kewarasanmu."
"Aku serius, Rey."
"Aku pun."
"Jika hal itu benar terjadi, apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah. Berhentilah berjika-jika. Aku mencintaimu. Sesederhana itu."
"Aku takut kita berpisah, Rey."
"Kau menciptakan rasa takutmu sendiri."
"Aku tak ingin kita saling membenci pada akhirnya."
"Begini, bee. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok, lusa, dan seterusnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga apa yang kita miliki sekarang. Hingga apapun yang kita lakukan adalah bentuk upaya untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Baik-baiklah dengan perasaanmu. Semoga kita tidak sedang berjudi saat mencoba peruntungan tentang permasalahan hati."
"Aku selalu memikirkan pertanyaan ini, setiap kali aku merasa bahagia saat bersamamu."
"Ya sudah, berhentilah memikirkan hal yang membuatmu takut. Fokus saja pada hal yang membahagiakanmu."
"Aku takut tak siap menghadapi kehilangan."
"Bee.. Kau bicara apa, sih? Bahkan saat ini kau sedang bersamaku. Menikmati waktu berdua. Bersama-sama."
"Sebab itulah aku takut. Aku bahagia bila terus bersamamu. Aku tak ingin kehilanganmu."
"Aku tak bisa menjanjikan akan selalu ada. Tapi ini yang bisa aku sampaikan, aku mencintaimu dengan sungguh. Maka aku akan selalu berupaya untuk menjaga cinta yang ada di antara kita. Mengemasnya dengan baik setiap hari, agar aku bisa mencintaimu lagi dan lagi. Sebab aku tak selalu bisa membuatmu bahagia, perkenankan aku untuk selalu menemanimu bagaimanapun keadaannya."
"Reyhan."
"Ya?"
"Jangan pergi, ya."
"Hei.. Bee.. Look at me.. Aku tak pergi ke mana-mana. Aku di sini. Di sampingmu. Menjaga kamu."
"Tapi, Rey."
"Berhentilah bertapi-tapi. Jalani semuanya dengan sederhana. Enyahkan keraguanmu. Nikmati apa yang kita jalani kini. Tak perlu mempermasalahkan apa yang akan terjadi nanti. Ketakutanmu justru akan menghancurkan dirimu sendiri. Mulailah untuk mencintaiku tanpa berjika-jika. Dan aku akan selalu mencintaimu tanpa tapi. Sebab yang kita lakukan adalah di waktu sekarang. Bukan nanti."
"Entahlah, Rey. Hanya saja..."
"Shut up."

Aku meletakkan ciuman di bibir perempuanku. Melumatnya dengan perlahan hingga lidahku berpilin menyentuh langit-langit mulutnya. Membiarkan ia memejam merasakan sentuhan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Sungguh, membuatnya diam jauh lebih baik dibandingkan harus berdebat dengan perasaan. Terlebih pada sesuatu yang tak perlu ditakutkan.
Selengkapnya

Lelah Itu

  • Lelah itu mungkin seperti membesar-besarkan hati dengan harapan-harapan hampa. Hanya agar angan tetap terjaga. Meski sebenarnya tiada juga.

  • Lelah itu mungkin seperti mengemas rintik hujan di pelupuk mata berkali-kali. Sementara ia tak pernah peduli.

  • Lelah itu mungkin seperti menaruh kepercayaan penuh, sementara ia mengecewakanmu tak pernah jenuh.

  • Lelah itu mungkin seperti bertahan pada setiap pelukaan. Berharap yang dicinta kembali memuliakan. Meski sebenarnya tak bisa dijanjikan.

  • Lelah itu mungkin seperti menahan debar rindu sendiri. Sementara ia yang begitu amat dirindukan sama sekali tak menyadari.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar menjaga kesetiaan. Berusaha bertahan dalam kenangan, meski sebenarnya ia telah jauh meninggalkan.

  • Lelah itu mungkin seperti membela ia yang membuat luka. Hanya agar kau tak mau ia dianggap buruk, meski hatimu sebenarnya mengiyakannya.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar dalam mempertahankan perasaan. Sementara ia masih begitu setia melakukan pelukaan.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar untuk menunggu. Berusaha menahan perasaan saat mencintai diam-diam.

  • Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang menggigil kedinginan. Menghadapi pengabaian dalam cinta diam-diam.

  • Lelah itu mungkin seperti menunggu seseorang yang begitu dirindukan. Sementara ia tak pernah tahu ada kau yang diam-diam memperhatikan.

  • Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang sudah pekat dan membiru. Sementara waktu tak berbaik hati dalam memberi kesempatan untuk temu.

Lelah itu mungkin seperti…. memperjuangkan cinta sendirian.
Selengkapnya

Sore di Stasiun Lempuyangan

Aku menghela napas. Menjejakkan kaki, masuk ke stasiun.

Aku masih ingat betul, bagaimana rupa wajahmu saat aku menjejakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Kau tak bisa menyembunyikan rona merah di pipimu saat aku merentangkan pelukan seraya berkata, "Selamat pagi, sayang. Akhirnya aku tiba di kotamu." Lalu tanpa lagi memiliki rasa malu, menafikan tatapan sinis penumpang kereta yang memerhatikan kita berdua, aku dan kamu saling berpelukan seperti sepasang perindu yang dimanjakan perjumpaan. Dadaku berdebar cepat saat itu.

Sore ini, tepat lima hari setelah momen itu, kita kembali berdiri mematung di stasiun yang sama. Dengan kepala yang disesaki alasan-alasan pembenaran agar tidak menyegerakan pulang.

Lucu sekali. Waktu berhenti saat menanti. Lantas berlari saat sua menghampiri.

Lima hari menjadi sedemikian cepat bagi kita yang ingin menuntaskan rindu. Ingin rasanya kubunuh waktu dari perputaran jam, agar bisa membingkai setiap kenangan dengan sebaik-baiknya ingatan. Padahal untuk bisa sampai ke kotamu, butuh waktu yang cukup lama untuk menentukan jadwal keberangkatan.

"Sedih?" tanyaku saat kita duduk di deretan tangga dekat pintu stasiun.
"Tidak."
"Sedih?" kuulang pertanyaanku, demi melihat matamu yang sudah berkaca-kaca.
"Tidak," kau tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Bohong. Sedih?" cecarku tak mau kalah.
Akhirnya kau menyerah. Mengganggukan kepala.
"Tentu saja aku sedih. Tapi bila aku menangis di hadapanmu, aku takut membuatmu luka," katamu melanjutkan.
"Tak apa. Tunjukkan saja kesedihanmu. Jangan berpura-pura. Aku ingin melihat sejauh mana keinginanmu untuk tetap berada di sisiku."

Kau menunduk. Memainkan jemariku dalam genggamanmu.

Duhai perempuan, kalaulah kau tahu betapa aku ingin memelukmu saat itu. Menenangkan setiap geliat resah yang berkecamuk di dalam dadamu. Menciptakan lagi satu simpul senyum dengan keyakinan bahwa aku pasti kembali. Membawakan lagi rindu yang merintih, menuntaskan keinginan untuk mengutuhkan perasaan. Tapi waktu tak pernah setia untuk menanti. Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah. Menampar kenyataan bahwa dalam setiap kedatangan akan selalu ada kepulangan.

Maka, saat itu, entah dengan entah keberanian apa, aku merapatkan posisi duduk. Lalu berbisik pelan di telingamu, "Rindu pada akhirnya akan membawaku ke sini, atau menunjukkan jalan bagimu untuk ke sana. Agar kita, aku dan kau, selalu bersama. Dalam cinta."

Kau tersenyum. Satu lengkung yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta.

"Untuk setiap depa per depa jarak yang membuat kita jauh. Percayalah, aku adalah doa yang mendekapmu saat kau hampir jatuh. Jaga rindumu baik-baik, aku pasti kembali. Aku mencintaimu."
Kau merunduk. Ada kesedihan mengekor di kedua pelupuk matamu. Tak lama berselang, air mata menitik pelan dari ujung matamu.

"I'm waiting,"
Kau diam.
"I'm waiting..." ucapku lagi sambil menunjukkan telinga.
Kali ini kau tertawa, lalu berujar lirih, "Aku cinta kamu."
Sesederhana itu.

“Terima kasih telah menjenguk rindu-rinduku yang pesakitan. Terima kasih telah berbesar sabar dan berjuang. Terima kasih untuk setiap tawa dan bahagia yang kau berikan,” ucapmu sambil memainkan jemariku dalam genggamanmu.

Aku diam. Kau diam.
Membiarkan rindu mematikan kegelisahan diam-diam. Mengizinkan jemari menceritakan keresahan dengan saling menggenggam.

"Aku selalu menyukai saat tidur di pangkuanmu, dengan kamu yang tak pernah lupa memainkan anak rambutku," kataku memecah keheningan.
"Sebab itulah aku tak memotong rambutku. Agar kau bisa merapikannya tiap kali aku merebah lelah di pangkuanmu. Coba deh, kamu lihat, berantakan banget kan rambutku?" aku melanjutkan sambil mengacak-acak anak rambutku.

"Astaga.. capernya kamu.."
Lalu dengan belai manja, kau rapikan lagi rambutku.

Kau tahu? Itu hanya caraku membuatmu tertawa. Sendumu terlalu kentara saat itu. Berat rasanya meninggalkanmu dengan kesedihan yang masih menyisa. Seperti ada beban yang menimpaku di balik punggung, seolah menyuruhku agar tetap berada di situ. Menenangkanmu.

"Sudah pukul 16.20, keretaku berangkat pukul 16.30. Aku harus masuk," kataku.

Lalu kau mengangguk. Beranjak dari duduk dan menggenggam tanganku, kali ini terasa lebih erat. Mungkin karena kau tahu waktu kita untuk bersama tidak lama lagi.

"Kapan kita akan berhenti berhubungan jarak jauh?" katamu sambil menangis. Pelupuk matamu tak kuat membendung air mata yang sudah sedari tadi kau tahan.

"Nanti, setelah aku lulus kuliah. Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Kau tenanglah. Tunggu aku," kataku sambil memeluk dan mengusap pelan punggungmu.

Dan kita saling melepaskan pelukan. Melambai mengucap salam perpisahan.

Aku melangkahkan kaki. Pelan-pelan mendekati kereta yang sudah menunggu. Menoleh sekali lagi untuk melihatmu lalu tersenyum. Meninggalkanmu dengan rindu yang belum tuntas sepenuhnya. Mempersilakan lagi jarak untuk memperdaya cinta yang kita perjuangkan bersama.

Kita harus saling belajar memendam rindu. Menimbun setiap resah yang mengikis mimpi. Hingga kita sama-sama membenci kesepian.

Teruntuk perempuan yang membuatku betah merebah lelah di pangkuannya. Ajari aku kesetiaan senja untuk kembali datang, meski malam kerap menyuruhnya pulang.
Aku sayang kamu.
Jogjakarta-Jakarta
4 Desember 2013
Selengkapnya

Berujar Tentang Proses

Suatu hari, ibu pernah memarahi saya karena tak sabar saat belajar sepeda. Jatuh sekali, menangis. Jatuh dua kali, mengeluh. Jatuh tiga kali, tak ingin belajar lagi. Sampai akhirnya ibu saya gemas, lantas mencubit pelan pipi saya sambil berkata,“Ala bisa karena biasa. Ayo belajar lagi. Kalau sebelumnya kamu mengayuh sepeda cuma sampai tiga meter, setelahnya kamu bisa mencapai lima meter, nak. Jangan nyerah. Kalau nyerah, kamu bisa diledekin teman-teman karena nggak bisa naik sepeda. Emangnya mau?”

Setelah itu saya belajar lagi. Lalu jatuh lagi, kali ini lebih parah, sampai terjerembab. Tapi saya tak menangis, saya berpikir bahwa saya pasti bisa. Saya betulkan lagi letak sepeda yang jatuh, lantas menaikinya. Kemudian mengayuh pedal sepeda dengan lebih semangat, hingga akhirnya sepeda mulai berjalan lebih seimbang. Dan saya berhasil naik sepeda dengan lancar tanpa terjatuh lagi. Akan selalu ada harga yang dibayar untuk sebuah keberhasilan. Tak ada yang sia-sia, besar kecil semua berarti. Hari ini kau terjatuh, terluka, terperosok hingga sulit untuk bangkit. Tapi esok-lusa-atau hari nanti, kau akan berbahagia, memasang simpul senyum atas keberhasilan yang kau upayakan.

Berujar tentang proses, maka membicarakan tentang nikmatnya sebuah perjalanan. Dari sana bermula pembelajaran makna. Tentang jatuh bangun dalam melangkah, tentang keindahan di kanan kiri jalan, tentang kenangan-kenangan, tentang terjal batu yang mampu kau terjang, tentang peluh dan air mata yang menitik. Tentang senyum seringai yang tercipta saat pelan-pelan kau menjemput keberhasilan dan meninggalkan luka tepat di belakang. Lantas dengan bangga menepuk dada seraya berkata, “Ya, sudah saya bilang, saya pasti bisa!”

Menjalani hidup bukan perkara mudah, tapi bukan berarti kita tak mampu untuk menjadikannya indah. Nikmati saja setiap pijak jejak langkahmu. Fokusmu pada tujuan, jangan sampai membuatmu lupa pada indahnya perjalanan. Sebab pembelajaran makna dari sanalah asalnya. Jadilah mutu manikam memukau yang terasah sempurna. Hingga suatu saat kelak, —ketika kau mampu membuktikan kepada dirimu sendiri— kau dapat berteriak bangga, kepada siapa saja, “Perkenalkan, inilah saya!”
Selengkapnya

Kau Datang Saat Aku Sedang Merasa Teramat Kesepian

Mungkin kau pernah merasakan, betapa hidup tak pernah berpihak kepadamu. Saat segala keinginan tak mewujud kenyataan. Ketika banyak hal yang diharapkan berujung kekecewaan. Saat semua yang kamu miliki pergi meninggalkan. Ketika segala yang terjaga perlahan berlalu dan menghilang. Seperti sedang berdiri di sebuah padang tandus yang terik dan kemarau. Kau merasa dahaga, sementara tak ada air untuk diminum dan kawan untuk berbagi penderitaan. Atau seperti berlarian di sepanjang tepian pantai, kau begitu bahagia tapi tak ada teman untuk berbagi keindahan. Apalah artinya sedih dan bahagia, bila tak ada seseorang yang menemani untuk melewatinya.

Mungkin kau pernah mengalami. Merasa begitu sepi di dalam kepala sendiri. Membuatmu lupa bagaimana cara tersenyum. Membiarkan wajahmu memasang seringai-seringai murung. Meluruhkan tangis hingga menganaksungai membasahi pipi. Membuat luka menganga begitu lama. Begitu hampa memeluk kesedihan sendirian. Terpekur mendekap lutut dengan kepala yang disesaki haru dan kesunyian.

Lalu di saat genting —yang mungkin saja membuat seseorang menjadi begitu rapuh dan lusuh— seperti itu, hadir sosok yang mengenyahkan semua kesedihan. Membuatmu lupa bagaimana cara menangis. Memberi warna-warna pada hari-hari kelabu. Menopang sendi, saat langkahmu tak lagi berpijak dengan benar. Menggenggam tanganmu, memberikan ketenangan saat keraguan menelusup dada pelan-pelan. Menegakkan lagi kepalamu, setelah sendu memaksamu untuk merunduk dan memasang wajah-wajah murung. Malaikat tanpa sayap yang bertugas untuk menciptakan tawa dan kebahagiaan. Harapan-harapan yang menyalakan asa untuk kebaikan dan kebahagiaan di masa depan. Kedamaian yang menyembuhkan luka duka masa silam.

Aku pernah merasa sepi.
Lalu kau datang saat aku sedang merasa teramat kesepian.
Selengkapnya

Sejarah Pergerakan Move On

Sejarah pergerakan move on di Indonesia, diawali dari kisah pewayangan melalui tokoh Dewi Shinta yang ingin berpaling dari Rahwana agar bisa kembali ke pelukan Rama.

Pergerakan move on berlanjut pada masa penjajahan. Di mana saat itu Belanda berhasil membuat Jepang menyerah tanpa syarat, menyusul jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Maka, pada masa transisi itu, yang dikenal dengan istilah vacum of power, akhirnya Indonesia terlepas dari keposesifan Belanda dan Jepang. Indonesia memproklamirkan kemerdekaan atas dirinya sendiri.

Hegemoni kekuasaan yang menggurita, membuat rakyat memberontak. Pada tahun 1960-an, pergerakan move on di Indonesia berlanjut. Saat itu rakyat menggugat move on dari orde lama ke orde baru. Seperti banyak diketahui, move on tak selalu baik. Maka, begitu pula yang dirasakan banyak orang. Gugat move on kedua digulirkan. Rakyat Indonesia menuntut pemerintah segera menggalakan move on II yang dikenal dengan Tritura. Akhirnya, muncullah reformasi.

Dewasa ini, pergerakan move on masih digalakan. Salah satunya, adalah keteguhan dan kesabaran seorang pemuda yang begitu berhasrat berpaling dari bayang-bayang cinta masa lalu. -pemuda itu saya, by the way.
Selengkapnya

Lelaki, Perempuan, dan Perbincangan Tentang Memperjuangkan

"Seberapa besar usaha seseorang dalam memperjuangkan cinta yang dimilikinya?"

Tanya sebuah suara perempuan di dalam kamar lengang berukuran 4x3 meter. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kasur seukuran queen sized beds dan lemari kecil untuk sekadar menaruh pakaian 3 sampai 4 stel. Di sudut kamar ada meja rias lengkap dengan cermin. Perempuan itu sedang mematut diri di depan cermin sambil memainkan anak rambutnya yang tergerai menutupi buah dada. Pakaiannya sudah tanggal, tubuhnya yang tinggi dan sintal hanya ditutupi dengan kain tipis bermotif bunga.

"Sebesar cinta yang dia miliki," jawab suara seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kasur sambil memerhatikan setiap lekuk tubuh perempuan yang ada di hadapannya.

"Apakah kau mencintaiku?" perempuan itu berkata lagi, kali ini suaranya terdengar lebih getir.

"Aku mencintaimu," jawab si lelaki dengan tegas. Ada keseriusan dalam nada suaranya.

"Aku lelah melakukan permainan ini. Sembunyi-sembunyi dalam mereguk nikmat. Mencuri-curi kesempatan pergi sendirian agar dapat menemuimu. Lalu menghabiskan waktu berdua dengan tergesa untuk bercinta, hingga aku dapat mencapai puncak orgasme. Setelah itu pulang dengan perasaan cemas karena takut ketahuan. Selalu seperti itu." 

"Lalu kau ingin aku bagaimana?" tanya si lelaki.

"Aku ingin kau memperjuangkan aku. Membuatku bebas bercinta denganmu. Jika benar kau mencintaiku."

"Aku ingin, Re. Sungguh."

"Lantas mengapa kau tak segera memperjuangkan aku, agar dapat kau miliki secara penuh?"

"Bagaimana caranya?"

"Ayo kita rencakan pembunuhan suamiku. Buat ia mati seolah-olah karena kecelakaan. Aku tak kuat lagi merasakan tekanan yang selalu dia berikan. Hatiku hancur menerima perlakuan buruknya. Seolah aku hanya sekadar boneka mainan. Ketika butuh ia dekati, lantas membuangnya saat merasakan bosan. Aku ingin dimuliakan, sebagaimana kau memperlakukanku sebagai perempuan. Ayo, Bob, kita bunuh saja dia," perempuan itu melanjutkan pembicaraannya sambil terisak. Dadanya sesak oleh perasaan amarah yang bergemuruh.

"Tak mungkin, Re. Aku tak mungkin membunuh kakakku sendiri."

"........."

Tik tok jarum jam terdengar dengan lantang. Seisi kamar dipenuhi sunyi dan lengang.
Selengkapnya

Jaga Rindumu Baik-baik

Untuk kamu yang sedang menunggu temu.

Saat membaca tulisan ini, mungkin kau sedang gusar menahan rindu berdebar. Atau mungkin sedang kalang kabut mengusir kalut. Atau bisa jadi, kau tengah sibuk membuat daftar tempat mana saja yang akan kita kunjungi nanti. Kau tahu? Saat menuliskan ini, aku sedang tersenyum membayangkan bagaimana reaksi wajahmu saat melihat sosokku nanti. Waktuku habis untuk sekadar menebak-nebak apa yang akan kau lakukan untuk pertama kali. Kau bilang, kau akan menyubit pinggangku karena sudah teramat gemas dengan sikap menyebalkanku selama kita jauh. Sementara di lain kesempatan, kau juga pernah bilang ingin segera membunuh rindu satu per satu di pelukanku.

Itu yang kupikirkan sedari tadi.
Kira-kira, hal apa yang akan kau lakukan nanti? Aku sudah siap bila memang kau ingin menyubit pinggangku dengan gemas. Beberapa hari kemarin, aku sengaja mempersiapkan diri agar pinggangku tahan cubitan. Kau tahu apa? Aku melingkarkan sabuk dari besi selebar lima inchi, agar ketika jemarimu mulai bergerak untuk menyubit, justru kaulah yang akan merasakan sakit. Hahahaha
Tidak. Bercanda. Memangnya aku Iron Man, si manusia besi yang kau idola-idolakan itu?

Honeybee...
Aku tahu bahwa jarak membuat rindu terasa sulit. Tapi tenang saja, jalani saja dengan kesetiaan yang tabah. Pada akhirnya, seberapa jauhpun jarak membentang, kita mampu melipatnya dalam saku celana. Aku rindu. Kau rindu. Jadi sama saja. Tak perlu mengkhawatirkan dengan terlalu. Toh pada akhirnya, semua rindu berdebar yang meletup-letup di dalam dada akan lenyap seiring sua. Begitulah sederhananya. Sesederhana cinta yang kita jaga bersama.

Jaga rindumu baik-baik. Rawat dengan kesetiaan apik-apik. Sebab apa lagi yang dapat mempertemukan kita, selain karena rindu yang sama-sama kita jaga.

Tunggu aku di kotamu.
Aku sedang dalam perjalanan untuk mempertemukan rindu.

Dari aku yang mencintaimu selalu.
Lelakimu.
Selengkapnya

Untuk Perempuan Kesayangan

Suatu kali dalam hidup, aku pernah merasa begitu jatuh. Hilang jejak. Tapak tak lagi dapat berharap. Hingga kemudian aku bertemu kamu. Lugu senyummu yang merona merah malu-malu. Ceria suaramu kala tertawa, begitu manja. Menggoda.

Dan aku. Kembali jatuh. Lebih dalam. Tak kuat lagi untuk bangkit. Ingin lebih lama lelap. Pada hatimu. Aku jatuh. Cinta. Dan tak bisa lagi berbuat apa-apa. Selain berjuang dengan kesabaran yang sungguh. Lalu kau mulai menoleh. Membuka hati. Mempersilakan cinta menelusup pelan-pelan. Membiarkan bunga-bunga perasaan bermekaran.

Kemudian kita saling bergenggaman. Erat. Seutuh kesetiaan yang terjaga rapat. Aku cinta kamu. Sesederhana kamu mencintaiku.

Teruntuk perempuan kesayangan.
Terima kasih telah hadir.
Memberi warna-warni dalam cerita.
Menyuguhkan kebahagiaan-kebahagiaan dalam cinta.

Terima kasih untuk selalu ada.
Memberitahukan cara bagaimana tersenyum selepas duka.

Aku sayang kamu.
Selengkapnya

Similina; Alles Komt Goed

Suatu pagi yang hangat. Mentari bersinar gagah di ufuk timur. Dedaunan bergesekan tertiup angin sayup-sayup. Nuri berkicau bersahutan tak henti. Awan-awan biru berarak menuju lautan.
Simfoni kedamaian alam paling puitis. Sekiranya, itulah gambaran suasana pagi di negeri Similina. Panorama gunung yang tegak berjajar dikelilingi pepohonan. Juga hijau rimbun daun semakin membuat suasana begitu sejuk dan damai. Tapi yang paling mengesankan di negeri Similina ini adalah rakyatnya yang selalu tersenyum.


Negeri Similina dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Rismala. Ratu Rismala memiliki rambut hitam kemilau, tergerai dari kepala hingga ke bahu. Mahkota dari zamrud semakin mempercantik dirinya. Kian jelita dengan mata cokelat bulat yang selalu terlihat ceria. Tapi semua pesona kecantikannya, tidak lebih indah dibanding senyum yang selalu menghiasi bibir merah delima miliknya.


Tiada yang lebih indah dibanding senyum milik Ratu Rismala, termasuk rakyat Negeri Similina. Pernah suatu kali Ratu Rismala ke luar istana kerajaan untuk melihat langsung kehidupan rakyatnya. Sepanjang perjalanan ia mengulas senyum. Membuat tenang siapa saja yang melihatnya. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan." kata Ratu Rismala saat ada salah satu rakyatnya yang menceritakan kesedihannya.


Sejak saat itu, semua rakyat sepakat untuk selalu tersenyum pada hal apa saja yang mereka terima. Negeri Similina dipenuhi kedamaian. Tak pernah terlihat kesedihan. Sebab dalam setiap nestapa, senyum menjadi penawar atas setiap luka.


Hingga suatu hari semua keadaan berbalik. Negeri Similina mengalami kemarau panjang. Dedaunan layu terpapar sinar mentari yang menyengat dan membakar. Pepohonan mati dimakan rayap-rayap. Ladang-ladang kekeringan. Tak ada lagi suara nuri saat pagi, burung-burung beranjak pergi sebab tak ada lagi makanan di hutan. Sendu tergambar dari setiap gurat wajah rakyat. Negeri Similina dipenuhi kecemasan.


Namun, dari semua wajah yang dihinggapi kecemasan. Tak ada yang lebih menyayat hati, selain sendu dari wajah Ratu Rismala. "Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum, sementara keadaan memaksa siapa saja untuk memasang wajah-wajah murung. Bagaimana bisa ceria, sementara rasa lapar dan dahaga begitu fasih mengajarkan derita." batin Ratu Rismala.


Tapi bagi cinta. Setiap nestapa hanya cara. Menyuruh berbenah untuk selalu tabah.


Tuhan memahami keadaan yang menimpa Negeri Similina. Dia tak akan menurunkan ujian melebihi kesanggupan. Maka, dalam suatu malam, Ia menyuruh malaikat kecilnya untuk masuk ke dalam mimpi Ratu Rismala.


Malaikat kecil mengajak Ratu Rismala bermain di sebuah taman hijau maha luas. Membiarkan Ratu Rismala berlarian menikmati desau angin yang berembus memainkan anak-anak rambutnya. Hingga saat Ratu Rismala mulai merasa letih bermain-main, malaikat kecil berkata, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."


Ratu Rismala tersontak bangun dari tidurnya dengan menangis sesenggukan. Ia menyadari ada yang salah dengan sikapnya selama ini. Maka, bergegaslah ia menuju penjuru negeri. Pada sebuah menara di sudut negeri, Ratu Rismala berseru memanggil rakyat Negeri Similina. Rakyat berduyun-duyun menuju menara. Di sana, Ratu Rismala berseru lantang. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."


Lalu tersenyumlah Ratu Rismala, senyum pertama sejak nestapa memenuhi langit Negeri Similina. Senyum yang lebih rona dan berseri dari sebelumnya. Rakyat menangis haru. Bergetar hati mereka melihat keteguhan hati Ratu Rismala. Segera mereka seka air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Lalu mencoba tersenyum dengan segala keteguhan dan ketabahan hati yang mereka punya. Langit Negeri Similina benderang dengan sinar wajah tersenyum dari seluruh rakyatnya. Semesta menjadi saksi. Atas keteguhan hati. Ketulusan untuk tetap tersenyum seberapa berat pun permasalahan yang dihadapi.


Langit bergemuruh. Angin berembus dengan kencang. Awan-awan kelabu berarak menuju Negeri Similina. Langit beranjak mendung. Sedetik kemudian, bulir air jatuh satu-satu. Hujan berderai di Negeri Similina. Wajah-wajah basah dibasuh hujan. Rakyat Negeri Similina menangis sesenggukan. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan," mereka mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam hati.


Hujan berderai sepanjang hari. Tanah-tanah basah. Dedaunan tumbuh dengan rimbun. Negeri Similina kembali hijau dengan tenang dan damai. Tak ada lagi sendu, sebab senyum selalu mampu menghapus seringai murung. Ratu Rismala memandang lazuardi, dengan senyum berujar lirih, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."

____________

*Alles komt goed: Semua akan baik-baik saja.


Dari sebuah kisah mendadak, yang dibuat untuk membuat nona Tiara Rismala tersenyum.

Oleh Galih Hidayatullah.



Selengkapnya

Kepada Ibu Bapak yang di Hatinya Ada Surga

Teruntuk dua pasang mata, saksi atas tumbuhnya aku hingga mendewasa.
Teruntuk dua pasang lengan, penyangga saat aku kehilangan arah.
Teruntuk dua pasang kaki, penopang sendi saat jejak tak dapat berpijak. Teruntuk dua kepala, teladan saat aku tak tahu harus berbuat apa.
Kepada ibu dan bapak yang di hatinya ada surga.

Aku ingin bercerita betapa luka mengarungi hidup dalam sepi dan tiada
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatanmu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang kau bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”

Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah

Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski hidupmu kian lamur
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap gelak gemetar bibirmu saat berkata, “Maaf nak, sabarlah dahulu. Minggu depan uang saku akan segera kami kirimkan. Kau pinjam dulu dengan sahabatmu, nanti akan segera kami ganti. Kami sedang berusaha di rumah.”
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh

Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia
Saat kau berteriak bangga
Kepada siapa saja
“Perkenalkan, ini anak saya.”

Galih Hidayatullah
Depok, 22 November 2013
___________________
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk Wisuda 8 STEI SEBI.

Selengkapnya

Aku Rindu Kamu

Malam meretas geming. Dan aku duduk di depan beranda rumah. Menikmati setiap teguk kopi hitam yang mendingin. Langit sempurna pekat. Mungkin awan-awan sedang berarak mendung. Atau bintang gemintang yang terlalu enggan menemani bulan yang bercahaya redup. Menjadi lebih sepi ketika hening sempurna memeluk. Ada suara-suara binatang malam, -sebenarnya. Tapi kalah riuh oleh rindu yang mengetuk setiap lekuk dinding-dinding kepala.

Saat rindu, kenangan begitu usil menggoda. Mengundang berbagai macam ingatan yang mengulas tawa. Hingga tak jarang menyisakan air mata -pada akhirnya.

Kau tahu? Malam ini, aku mengenangmu, -lagi. Menghadirkan setiap ingatan-ingatan sederhana tentang kebersamaan kita. Tentang genggam tangan yang erat bersandingan dalam setiap langkah perjalanan. Tentang pelukan-pelukan kecil dalam melewati gigil yang ditawarkan hujan. Tentang lagu-lagu yang mengalun pelan mengusir segala sendu saat tangismu sesenggukan. Tentang belai manja tanganmu yang memainkan setiap anak-anak rambutku yang berantakan. Ah, aku rindu kamu. Aku rindu kita.

Aku rindu kamu. Sepekat dedak kopi yang mengendap di dasar gelas-gelas kopi. Setebal ingatan yang mengukung kepala. Sebanyak debar yang menggema di dalam dada.

Aku rindu kamu. Sesederhana itu.
Selengkapnya

Perjumpaan dan Perbincangan Tentang Kenangan

"Seperti apa kau memaknai kenangan?"
"Seperti aku memaknai kamu."
"Maksudmu?"
"Tak ada yang benar-benar sendirian. Bahkan kesepian mengakrabi dirinya sendiri dengan kenangan."
Namira mengernyitkan kening. Tak mengerti apa yang kusampaikan. Sore ini, kami melakukan pertemuan, di sebuah cafe di bilangan Kemang. Aku mengunjungi kotanya, setelah sekian lama menanti waktu perjumpaan saat jarak memaksa kami untuk berjauhan.

"Aku tak mengerti. Bahasamu terlalu tinggi," kata Namira menyelak ucapanku.
"Begini Namira, kenangan itu mungkin seperti lembar foto yang kau simpan rapi dalam album-album galeri. Selama kau menjaga dengan baik, ia akan tetap berada di sana, bersama dengan cerita yang ada di baliknya. Semisal kau sedang sendirian, pikiranmu akan mengawang jauh, menuju cerita-cerita di balik kelebat gambar yang kau lihat. Seperti itulah."

"Lalu bagaimana caramu dalam menjaga kenangan itu?" tanya Namira melanjutkan.
"Kalau aku, ya menyimpan kenangan itu dengan rapi. Merawatnya dengan sangat baik. Mengantongi kuncinya agar sewaktu-waktu dapat membuka. Sebab karena kenangan itulah aku bisa berada di sini."
"Hmm.."
"Begini.. Contoh sederhananya, di ponsel kita masing-masing ada berbagai momen yang kita abadikan dalam galeri-galeri foto. Karena itu adalah bagian dari kenangan, maka sebisa mungkin aku akan menjaganya dengan baik. Melihatnya sesekali untuk sekadar tertawa dan tersenyum dalam menikmati cerita-cerita yang ada di sana."

"Hahaha, kau bawel sekali sore ini, Za."
"Kau banyak bertanya."
"Tapi pertanyaanku sederhana."
"Jawabannya tak sederhana, Namira."
"Iya, Reza. Jangan marah. Aku menikmatinya kok. Aku suka melihat wajah seriusmu. Memikati setiap inci dahimu yang berkerut saat berbicara. Aku suka kamu."
"Hm.."
"Duh, gitu aja ngambek."
"Ah, kau ini menyebalkan sekali, ya. Suka sekali membuat aku senyam-senyum sendiri." Aku menghela napas. Tersenyum. Mengalah.
"Eh, anyway, Ra, aku baru beli gadget terbaru. Sepertinya cocok untuk memaknai setiap momen dan kenangan." Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas.
"Ponsel apa, Za?"
"Nih, Samsung GALAXY Ace 3. Pas untuk dipakai orang-orang yang antusias dalam mengabadikan momen-momen terbaik yang terlewati."
"Iya, kah?"
"Iya, aku suka fitur yang ditawarinnya."
"Emang apa aja?" tanya Namira, mulai antusias. Aku melihat binar di matanya.
"Di ponsel ini, ada fitur Sound and Shot, kemampuan menambahkan suara pada foto, sehingga momen yang ditangkap bisa semakin kaya. Kamu bisa menceritakan ceritam menjadi lebih seru. Ada juga fitur Best Shot, kemampuan kamera untuk melakukan burst shot, lalu memilih foto yang terbaik secara otomatis," jawabku pelan-pelan, sambil menyodorkan ponselnya ke tangan Namira.

"Jadi kalau aku foto, bisa sekalian nyimpen suara di fotonya dong, ya?"
"Hahaha iya, semisal kau foto aku sekarang. Kau bisa menambahkan pesan suara di foto itu. Agar ketika kelak kamu kangen aku, bisa mengingat momen ini dengan melihat foto dan mendengar cerita yang ada di fotonya," kataku menanggapi pertanyaannya.
"Asik, ya?"
"Nah, makanya aku bilang cocok buat kamu. Termasuk buat kita yang berjauhan kayak gini. Jadi, rindu kita bisa menjadi semakin semarak dengan adanya foto-foto bersuara. Hahaha," lanjutku sambil tertawa.
"Ah, kamu. Kangen yang biasa aja udah bikin aku kelimpungan, apa lagi kalau semakin semarak." Namira menghela napas, lalu memasang wajah cemberut. Wajahnya yang merona, terlihat semakin lucu.
"Kalau kangen, ya tinggal chat, atau kepoin aku di socmed. Kan di ponsel itu social media-nya bisa diinstall secara lengkap, mulai dari twitter, path, instagram, sampai vine, semua jalan lancar karena prosesor dual core yang bikin aplikasi jadi berjalan mulus."
"Kamu kayaknya cocok jadi sales deh, Za. Paham banget kayaknya," kata Namira usil.
"Hahaha, ya kan aku ngasih tahu kamu, Ra. Biar kamu paham bagaimana cara memilih ponsel sesuai kebutuhan kamu."
"Iya, Reza. Aku juga emang lagi pengin beli ponsel baru. Tapi ya gitu, uangnya belum cukup. Pasti mahal kan ini ponselnya, Za?"
"Nggak kok. Harganya terjangkau. Buktinya tabunganku masih cukup untuk biaya ke kota kamu," kataku sambil memasang wajah seringai.
"Emang berapa harganya?"
"2.1 jutaan kok. Dengan harga segitu, kamu bisa main ponsel dengan S Voice, mesin assistance penjalan perintah berbasis suara. Suara renyahmu yang aku suka itu bisa nyuruh ponsel menjalankan perintah. Asik kan?" kataku mulai merayu Namira agar menggunakan ponsel yang baru saja kubeli.
"Hahahaha.. Iya deh.. Aku jadiin list untuk ponsel yang harus kubeli."
"Iya, Ra."

Cafe riuh oleh dengung-dengung suara perbincangan pengunjung. Dan kami, masih asik melanjutkan percakapan.

"Jadi.. Apa yang kau tahu tentang kenangan, Ra?" aku bertanya balik.
"Heu?"
"Iya, bagaimana cara kau memaknai kenangan?"
"Dengan duduk bersamamu. Membuat cerita-cerita lucu. Menciptakan momen-momen indah. Membuat ingatan-ingatan baru. Agar kelak, aku bisa menikmatinya sebagai sekelebat gambar yang mengisahkan cerita-cerita bahagia."
"Aku sayang kamu, Ra."
"Aku sayang kamu, Za."

Petang beranjak temaram. Dan kami, semakin larut dalam menuntaskan kerinduan.


Selengkapnya

Selepas Kepergian

Ini tentang malam yang terlalu dingin untuk dibicarakan. Tentang kesepian yang tak pernah bosan memeluk kesendirian. Tentang gigil gemelutuk yang memeluk kala bekunya setiap debar perasaan. Kalimat ini tercipta dari kesedihan yang terlalu. Tentang kecemasan dan haru yang mengukung. Tentang perkara hati yang membuat wajah selalu memasang seringai murung. Rima ini tergagas dari lirih tangis yang tersengal. Emosi yang meluap saat kau memutuskan untuk tanggal. Pergi meninggalkan.

Kesedihan begitu mudah mencipta dendam. Seberapa hebat pun cinta membuat bahagia, pada akhirnya cinta pula yang paling bengis dalam mengajarkan luka.

Ini tentang kamu yang menjauh. Tentang jejakmu tak lagi berpijak di tempat yang sama. Tentang langkah kaki yang berlalu memunggungi. Tentang genggam tangan yang terlepas untuk melambaikan salam perpisahan. Tentang senyum getir yang menyuruhku untuk tulus melepaskan. Tentang isak tangis tertahan yang pelan-pelan menyuruhmu untuk tetap tinggal dan bertahan. Tentang gelengan kepala yang secara tegas berkata tidak.

Kehilangan begitu fasih mengajarkan kebencian. Seberapa kuat pun berusaha menahan, pada akhirnya kesepian tak pernah kehabisan cara dalam memaksa untuk melepaskan kebersamaan.

Ini tentang kesedihan yang tertinggal. Tentang bulir tangis yang tak lagi kuat terbendung di kedua pelupuk mata. Tentang rintihan hati yang ringkih saat melepasmu pergi. Tentang kesepian yang memeluk hari-hari. Tentang sendu yang tak lagi tahu bagaimana mengajari wajah agar bisa memasang senyum. Tentang kegetiran yang menyayat saat aku mengenangmu. Tentang doa-doa mengangkasa dengan lafal semoga kau berbahagia, di sana.

Setabah-tabahnya rindu. Setulus-tulusnya kehilangan. Seikhlas-ikhlasnya merelakan. Sebisa aku memaknai kamu, cinta, dan kepergian tanpa rengekan.
Selengkapnya

Lelaki Yang Diam-diam Mencinta

Suatu hari, ada seorang pemuda yang diam-diam mencinta -lelaki itu aku, by the way. Ia habiskan waktunya untuk memerhatikan setiap lekuk perjalanan hidup sang wanita pujaannya. -wanita itu kamu, tentu saja. Tapi, ada hal yang tak bisa membuat lelaki itu menunjukkan perasaannya. Lelaki itu sedang menjalani hubungan asmara dengan wanitanya. Maka, ia pendam perasaan itu dalam-dalam. Sebab ia begitu ingin memuliakan wanitanya.
"Tuhan, tetapkan hatiku untuk setia. Sebab, tak ada yang lebih indah, selain berbahagia dalam satu perasaan yang terjalin dari dua hati yang saling mencintai."

Hingga suatu hari, semesta berkehendak lain. Kesetiaan yang lelaki itu jaga rapat-rapat dinistakan oleh sikap wanitanya. Wanita itu memutuskan berhenti menjalani hubungan dengan si lelaki. Sebab ada hal yang lebih penting dari sekadar kebersamaan, yaitu kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat dalam menjalin sebuah hubungan percintaan; pernikahan. Maka, berpisahlah mereka.

Sang lelaki gundah gulana, sebab yang dicinta pergi meninggalkannya. Keseharian si lelaki itu pun berantakan. Hatinya hancur oleh perasaan bernama entah. Tapi hidup harus terus berputar, dan langkah tak bisa bila hanya sekadar diam. Ia lanjutkan perjalanan hidupnya, dengan satu keyakinan, bahwa cara terbaik untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan jatuh cinta lagi.

Hingga datanglah masa itu. Saat di mana hati sang lelaki tengah sibuk mencari, ia mengingat seorang perempuan yang selama ini diam-diam ia cintai. Kepada langit, ia berdoa, "Duhai sang Maha Pembolak-balik Hati, perkenankan saya untuk mencintai lagi. Sebab saya begitu mendamba ia, semoga kau memberi kesempatan agar saya bisa mendekat kepadanya."

Rupanya, semesta sedang berbaik hati. Sang lelaki mendapat kesempatan untuk bisa menunjukkan perasaannya kepada sang wanita pujaannya. Dalam kesehariannya, lelaki itu mencuri perhatian sang wanita dengan berbagai macam cara. Semisal sapa, canda, bahkan puisi-puisi yang ia tulis dan dikirimkan melalui kepak sayap merpati.

Oleh sebab kegigihannya dalam berusaha, wanita itu pun luluh. Tak kuasa ia oleh pesona sang lelaki yang membuatnya jatuh. Merona pipi sang wanita, warnanya merah muda seperti cinta. Tapi ia tak ingin terburu-buru. Ia biarkan sang lelaki menunjukkan usahanya dengan lebih sungguh. Suatu hari, sang wanita berkata, "Bila sungguh dalam kau mencintaiku, rawatlah kesabaranmu hingga tumbuh mendewasa. Aku tak ingin tergesa dalam menjatuhkan cinta, aku ingin tahu seberapa kuat kau akan berusaha."

Diterimalah tantangan itu oleh sang lelaki. Ia patrikan tekadnya di dalam dada,
"O, nona... betapa cinta adalah perkara memilih hati yang tepat, sedang segala yang layak adalah patut untuk diperjuangkan. Kau duduklah diam-diam dan tenang, akan kutunjukkan pada kau bagaimana rupa kesabaran dan perjuangan."
Lelaki itu, dengan kesabaran yang sungguh, berusaha meyakinkan perasaan sang wanita agar lekas mendeklamasikan cinta di dalam hatinya, melalui puisi-puisi keindahan yang diciptakan isi kepala wanita kepada dirinya sendiri. Agar kelak, berani menggenggam ketulusan yang ditawarkan lelaki itu.

Sampai suatu ketika, datanglah masa itu. Saat di mana sang wanita akhirnya tak kuat menahan debar perasaan yang meletup tak menentu.
"Baiklah, tuan. Saya menyerah. Saya mencintaimu." 
Maka, beginilah mereka sekarang, menjalani asmara, melangkah asmara. Sesak hati mereka dipenuhi bunga-bunga cinta. Tak ada lagi sendu, tak jua bimbang tertuju. Hanya ada cinta dan kasih sayang yang utuh.

Lelaki itu kini berdoa, "Tuhanku yang Maha Sempurna, bila cinta ini adalah sesuatu yang kau kehendaki, maka jaga kami. Biarkan kebahagiaan mengetuk pintu-pintu hati. Hingga hilang isak yang sesenggukan sesak. Perkenankan kami bahagia dalam kebersamaan tanpa sekat."

Lalu bagaimana dengan doa sang wanita? Hanya kau, -wanita, yang tahu bagaimana rasanya. Maka, bolehkah aku bertanya?
"Jika ini adalah cinta, maukah kau menjalani kisahnya lebih lama dari selamanya?"

Aku tunggu jawabanmu.
Dari Aku.
Lelaki yang diam-diam mencintaimu utuh.
Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #10 (Sebuah Awal Dari Babak Baru)

Selamat siang, tuan.

Pendongeng kembali. Maaf membuatmu menunggu lama. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan. Ah, tapi tunggu sebentar, tuan. Maukah kau berjanji untuk tetap baik-baik saja apapun yang terjadi pada akhir dongeng ini? Baiklah, cukup kau jawab di dalam hati. Mari kita sama-sama melanjutkan dongeng ini.

------

Pemuda itu kembali mengeratkan pelukannya.

“Nona..”

“Hm?”

“Jika kau membenci bulan, lalu apa yang kau suka?”

“Bintang”

“Mengapa?”

Putri Keyla menghela napas di dada pemuda itu.

“Dulu, ayahku pernah membangunkanku tengah malam, menunjukkan satu bintang. Sangat terang. Ia bilang itu adalah Venus. Hanya muncul tiap 200 tahun sekali..”

“Hmm..”

“Bintang mengajarkanku bahwa yang tak terlihat bukan berarti tak ada. Bintang Venus itu tetap ada, Al.. Hanya saja ia tak memperlihatkan diri. Ia tak pernah lelah melihatku dari atas sana dan tak pernah ingkar janji untuk kembali lagi. Meski dalam kurun waktu yang lama.”

Pemuda itu diam. Memandang langit penuh gemintang.

“Al.. Kau mau melihat Venus?”

“Ya.”

“Kau tahu dimana letaknya?”

“Tidak.”

“Maka hiduplah bersamaku sampai 200 tahun lagi. Sebab hanya aku dan ayahku yang tahu dimana letak Venus saat ia menunjukkan dirinya”

Seperti menemukan permukaan air saat tenggelam, dada pemuda itu berdebar tak karuan. Seperti tersiram air es, ia tak pernah merasakan degup sesejuk saat itu.

“Al..”

“Hm?”

“Mengapa dadamu begitu berdebar?”

Pemuda itu diam. Melirik Putri Keyla yang rupanya menyembunyikan senyum di dadanya.

“Dengar baik-baik nona, ada namamu dalam degupnya”

Putri Keyla mencubit punggung pemuda itu. Mereka tertawa, masih sambil berpelukan.

“Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”, pemuda itu mengulang pertanyaanya lagi.

“Jika berdamai dengan masa lalu berarti siap jatuh cinta lagi meski aku tahu kesedihan akan menghampiriku, maka aku sudah benar-benar berteman akrab dengan masa lalu.”, jawab Putri Keyla.

“Aku jatuh dalam semestamu, Al.”

“Aku pun, Key.”

Hening menyelimuti mereka lagi.

“Boleh aku membuatmu tak membenci bulan lagi?”, tanya pemuda itu sambil melepaskan pelukannya. Ia memandang Putri Keyla yang tampak lucu karena kebingungan.

“Bagaimana caranya?”, tanya Putri Keyla.

“Begini..”

Pemuda itu berdiri dan menarik tangan Putri Keyla hingga ia ikut berdiri di hadapannya.

“Tutup matamu, jelita”, pintanya.

Putri Keyla menurut. Ia menutup matanya.

Lalu pemuda itu mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Putri Keyla. Lalu tangan kanannya menarik dagu Putri Keyla dan mengecup bibirnya dengan lembut sementara tangan yang lain melingkar di pinggang Putri Keyla dan menariknya ke dalam pelukannya.

Putri Keyla terkejut namun tak menarik diri. Ia justru membiarkan dirinya menikmati lembut bibir pemuda itu sambil terus memejamkan matanya. Balas mengecup.

Saat ia membuka matanya, menengadah ke atas, purnama sedang tersenyum di balik kepala pemuda itu. Lalu ia memejamkan mata kembali, balas mengecup lagi, sambil tersenyum.

Mereka menyudahi ciuman itu dengan kembali duduk di bangku taman dengan berpelukan, memandang langit malam dan mendengar masing-masing harmoni cinta dari masing-masing debar mereka.

“Aku tak pernah suka purnama. Tak pernah.. Sebelum hari ini. Sebelum aku memandangnya bersamamu”, ucap Putri Keyla di dada Al.

Al mengecup lembut puncak kepala Putri Keyla.

“Aku pun..”, bisiknya.

Malam itu semesta bertepuk tangan. Gemintang menyulang gelasnya. Angin melagukan cinta. Dan bulan.. Akhirnya purnama di waktu yang tepat.

———

Tuan..

Maafkan pendongengmu ini yang baru mampu menyelesaikan dongeng Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam hari ini. Terimakasih untuk setiap sabar darimu yang menyabarkan.

Pendongeng dan Putri Keyla jatuh telak dalam keindahan hatimu.

Terimakasih, Al.

Sudah menunggu, menyimak dongeng ini dan mendengarkan cerita-cerita lain dengan begitu sabar.

Dari aku, perempuan yang jatuh cinta pada kesabaranmu.

Key.



*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/
Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #9

Selamat pagi, tuan.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

--------

Pemuda itu masih menatap Putri Keyla, mengharapkan segala hal baik akan terjadi, mendoakan setiap kemungkinan bagi hatinya yang rupanya telah jatuh terlalu dalam tanpa pernah ia sadari.

Putri Keyla diam. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Lalu ia menengadah, memandang bulan. Mendesah.

“Kau tahu? Aku selalu benci bulan”, ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit.

Pemuda itu ikut memandang bulan.

“Mengapa?”

“Sebab ia tak pernah purnama di waktu yang tepat”

Hening menyelimuti mereka. Yang mereka dengar hanya sayup-sayup suara daun yang sengaja dibawa angin serta napas masing-masing.

“Aku pernah begitu jatuh cinta, namun purnama tak pernah menemaniku. Saat aku terluka, tiba-tiba ia datang seperti sebuah bahak yang menyakitkan”, gumam Putri Keyla.

Pemuda itu tersenyum.

“Al..”, panggil Putri Keyla.

Rasanya aneh, baik di telinga pemuda itu maupun di telinga Putri Keyla sendiri. Tapi keduanya sama-sama menyukainya. Putri Keyla senang menyebutkan nama pemuda itu, dan pemuda itu tak keberatan namanya disebut oleh perempuan di sampingnya.

“Ya, nona Keyla?”

“Kau bilang, aku tak boleh berlari dari kesedihan sebab ia pasti tetap akan menemukanku.”

“Iya.”

“Jadi aku berdamai dengan masa lalu..”

Pemuda itu diam. Memperhatikan wajah Putri Keyla. Anak-anak rambut yang ditiup angin beberapa kali nakal menjamah pipinya. Pemuda itu sekuat hati menahan diri untuk tak merapikannya.

“Aku begitu terluka hingga tak tahu lagi harus pergi kemana. Lalu aku bertemu kau. Al, pernahkah kau merasa bahwa semesta rupanya mau berbaik hati menukar kehidupan-kehidupan yang hancur berantakan?”

“Hem..”

“Sederhananya, Al. Aku menemukan kehidupanku yang lain saat bertemu pandang pertama kali denganmu”

Pemuda itu menahan napas. Masih memandang wajah Putri Keyla yang menerawang.

“..Tapi kemudian aku ragu, Al. Sebaik itukah semesta padaku? Sebab yang aku tahu aku terlalu terluka karena semesta mengkhianati setiap setia yang aku jaga. Semesta.. Mengirimkanku hati yang salah..”

Suara Putri Keyla bergetar. Ada bening yang berlinang dari sudut matanya, merambat pelan menjamahi pipinya, berkilau tersiram sinar purnama.

“Aku sempat marah pada diriku sendiri karena percaya pada apa yang semesta tawarkan, Al. Keindahan. Aku tertipu”, kali ini suara Putri Keyla hampir tak terdengar. Matanya telah basah oleh hujannya sendiri.

Pemuda itu diam. Sesak.

Lalu dengan perlahan, ia menghapus air mata Putri Keyla, mengusap kepalanya dan menariknya ke dalam pelukannya. Ia biarkan Putri Keyla menangis sesenggukan di dadanya. Ia memejamkan mata, berdoa semoga segala luka yang menimpa perempuannya musnah.

Putri Keyla telah kehabisan air matanya. Dada pemuda itu telah basah. Dalam peluknya, Putri Keyla bertanya.

“Mau sampai kapan kau memelukku?”

Pemuda itu membuka matanya. Diam sejenak.

“Sampai kau tenang, nona”

“Aku sudah tenang”

Pemuda itu meregangkan pelukannya.

“Jangan!”, cegah Putri Keyla.

“Tetaplah seperti ini.. Sebentar lagi. Lebih lama lagi..”, pintanya.

————–

Ah.. Kau pasti kesal saya memotong ceritanya lagi, tuan.

Bersabarlah.. Saya sedang bersiap untuk menceritakan sepotong kisah yang mengakhiri rangkaian dongeng ini. Duduk dan tenanglah, tuan.


*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #8

Selamat pagi, tuan.

Begini, hari ini saya akan mendongeng untuk kamu. Sebuah dongeng sederhana yang sempat bimbang untuk menemui akhirnya. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan melanjutkan dongeng pelan-pelan.

-----------

Putri Keyla berjalan ke taman dengan langkah yang entah mengapa dirasanya terlalu riang. Ia sudah terlalu lelah memikirkan apa yang kira-kira laki-laki bertudung hitam akan sampaikan, jadi ia memilih untuk tak peduli saja walau sesekali ia menemukan dirinya ternyata telah sibuk menduga-duga.

Sesampainya di taman, ia melihat pemuda bertudung hitam sedang memainkan biolanya sambil bersandar di bangku taman. Diam. Ia tak mau bergerak. Terlalu takut merusak hal yang selama ini ia rasa begitu indah untuk ia lihat. Kombinasi pesona tiap gesekan senar biola berirama cinta dan sosok tubuhnya yang jangkung dengan tatapan mata yang meneduhkan adalah tema yang paling ia sukai pada setiap mimpi. Maka dia hanya diam di sisi taman, memperhatikan.

Pemuda bertudung hitam berhenti memainkan lagunya.
“Kenapa berhenti?” tanya Putri Keyla penasaran.
“Duduklah di sini. Jangan berdiri di sana,” ucap lelaki bertudung hitam.
Putri Keyla beranjak menuju bangku panjang, duduk diam di samping pemuda bertudung hitam.
“Mainkan lagi lagunya.”
“Dengan senang hati, nona.”
Lelaki bertudung hitam menggesek biolanya lagi sementara Putri Keyla sudah kembali larut dalam alunan nada-nada cinta.

Pemuda bertudung hitam selesai memainkan biolanya. Putri Keyla membuka matanya dan memperhatikan laki-laki bertudung hitam meletakkan biolanya ke dalam tas panjang berwarna hitam.

“Tadi lagu apa?”
“Lagu baru.”
“Apa judulnya?”
“Kepada Cinta Yang Membuatku Bahagia.”
“Hem?”
“Hahaha, iya, itu judulnya.”
“Lagunya indah.”
“Seperti kamu.”
“Ha?”
“Ya, lagu ini untuk kamu.”
“Maksudmu?”
“Begitulah.”

Belum sempat Putri Keyla memahami apa yang laki-laki bertudung hitam itu bicarakan,  tanpa di duga, laki-laki bertudung hitam membuka tudung yang selama ini menutupi wajahnya.

“Perkenalkan, saya Al.”

Putri Keyla tak menemukan cara untuk mengembalikan napasnya yang tiba-tiba hilang entah kemana. Di hadapannya, duduk seorang pemuda bermata bulat berwarna coklat, dihiasi bulu mata yang lentik dengan rambut lurus yang hitam legam. Dahinya tertutup sebagian rambutnya. Pemuda itu tersenyum. Menambah kebekuan yang menyelimuti tiap jengkal tubuh Putri Keyla.

“Hai, kenapa melamun? Ini aku. Lelaki yang selama ini menemani kamu.”
“Engh.. Iii iya.”
“Sudah tidak penasaran?”
“Iya.”
“Syukurlah.”
“Tapi kenapa kau membuka tudungmu?”, tanya Putri Keyla penasaran.
“Karena aku pikir inilah waktu yang tepat.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menunjukkan wajahku kepada ia yang kupilih. Yang membuat hatiku jatuh.”
“Aku?”, Putri Keyla menunjuk dadanya sendiri.
“Siapa lagi?”
“Hem?”
“Iya. Kamu. Keyla.”

“Hem.”

“Lalu bagaimana?”

“Apanya?”

“Aku sudah jujur terhadapmu. Juga menunjukkan wajahku yang sebenarnya. Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”

Penerangan taman Tanjung Harapan padam. Angin berhembus kencang. Meniup lentera-lentera yang menggantung di pepohonan. Suasana taman begitu remang. Cahaya muncul hanya dari bintang gemintang berkerlap-kerlip di atas langit, juga bulan yang bersinar purnama. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh taman.

————–

Bagaimana, tuan? Sudahkah kau menikmati ceritanya?

Ada yang lebih menarik setelah ini. Nanti akan kuteruskan.


*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/

Selengkapnya

Kategori Utama