Selamat pagi, tuan.
Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.
--------
Pemuda itu masih menatap Putri Keyla, mengharapkan segala hal baik akan terjadi, mendoakan setiap kemungkinan bagi hatinya yang rupanya telah jatuh terlalu dalam tanpa pernah ia sadari.
Putri Keyla diam. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Lalu ia menengadah, memandang bulan. Mendesah.
“Kau tahu? Aku selalu benci bulan”, ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit.
Pemuda itu ikut memandang bulan.
“Mengapa?”
“Sebab ia tak pernah purnama di waktu yang tepat”
Hening menyelimuti mereka. Yang mereka dengar hanya sayup-sayup suara daun yang sengaja dibawa angin serta napas masing-masing.
“Aku pernah begitu jatuh cinta, namun purnama tak pernah menemaniku. Saat aku terluka, tiba-tiba ia datang seperti sebuah bahak yang menyakitkan”, gumam Putri Keyla.
Pemuda itu tersenyum.
“Al..”, panggil Putri Keyla.
Rasanya aneh, baik di telinga pemuda itu maupun di telinga Putri Keyla sendiri. Tapi keduanya sama-sama menyukainya. Putri Keyla senang menyebutkan nama pemuda itu, dan pemuda itu tak keberatan namanya disebut oleh perempuan di sampingnya.
“Ya, nona Keyla?”
“Kau bilang, aku tak boleh berlari dari kesedihan sebab ia pasti tetap akan menemukanku.”
“Iya.”
“Jadi aku berdamai dengan masa lalu..”
Pemuda itu diam. Memperhatikan wajah Putri Keyla. Anak-anak rambut yang ditiup angin beberapa kali nakal menjamah pipinya. Pemuda itu sekuat hati menahan diri untuk tak merapikannya.
“Aku begitu terluka hingga tak tahu lagi harus pergi kemana. Lalu aku bertemu kau. Al, pernahkah kau merasa bahwa semesta rupanya mau berbaik hati menukar kehidupan-kehidupan yang hancur berantakan?”
“Hem..”
“Sederhananya, Al. Aku menemukan kehidupanku yang lain saat bertemu pandang pertama kali denganmu”
Pemuda itu menahan napas. Masih memandang wajah Putri Keyla yang menerawang.
“..Tapi kemudian aku ragu, Al. Sebaik itukah semesta padaku? Sebab yang aku tahu aku terlalu terluka karena semesta mengkhianati setiap setia yang aku jaga. Semesta.. Mengirimkanku hati yang salah..”
Suara Putri Keyla bergetar. Ada bening yang berlinang dari sudut matanya, merambat pelan menjamahi pipinya, berkilau tersiram sinar purnama.
“Aku sempat marah pada diriku sendiri karena percaya pada apa yang semesta tawarkan, Al. Keindahan. Aku tertipu”, kali ini suara Putri Keyla hampir tak terdengar. Matanya telah basah oleh hujannya sendiri.
Pemuda itu diam. Sesak.
Lalu dengan perlahan, ia menghapus air mata Putri Keyla, mengusap kepalanya dan menariknya ke dalam pelukannya. Ia biarkan Putri Keyla menangis sesenggukan di dadanya. Ia memejamkan mata, berdoa semoga segala luka yang menimpa perempuannya musnah.
Putri Keyla telah kehabisan air matanya. Dada pemuda itu telah basah. Dalam peluknya, Putri Keyla bertanya.
“Mau sampai kapan kau memelukku?”
Pemuda itu membuka matanya. Diam sejenak.
“Sampai kau tenang, nona”
“Aku sudah tenang”
Pemuda itu meregangkan pelukannya.
“Jangan!”, cegah Putri Keyla.
“Tetaplah seperti ini.. Sebentar lagi. Lebih lama lagi..”, pintanya.
————–
Ah.. Kau pasti kesal saya memotong ceritanya lagi, tuan.
Bersabarlah.. Saya sedang bersiap untuk menceritakan sepotong kisah yang mengakhiri rangkaian dongeng ini. Duduk dan tenanglah, tuan.
*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar