Teruntuk dua pasang lengan, penyangga saat aku kehilangan arah.
Teruntuk dua pasang kaki, penopang sendi saat jejak tak dapat berpijak. Teruntuk dua kepala, teladan saat aku tak tahu harus berbuat apa.
Kepada ibu dan bapak yang di hatinya ada surga.
Aku ingin bercerita betapa luka mengarungi hidup dalam sepi dan tiada
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatanmu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang kau bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”
Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah
Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski hidupmu kian lamur
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap gelak gemetar bibirmu saat berkata, “Maaf nak, sabarlah dahulu. Minggu depan uang saku akan segera kami kirimkan. Kau pinjam dulu dengan sahabatmu, nanti akan segera kami ganti. Kami sedang berusaha di rumah.”
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh
Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia
Saat kau berteriak bangga
Kepada siapa saja
“Perkenalkan, ini anak saya.”
Galih Hidayatullah
Depok, 22 November 2013
___________________
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk Wisuda 8 STEI SEBI.
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatanmu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang kau bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”
Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah
Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski hidupmu kian lamur
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap gelak gemetar bibirmu saat berkata, “Maaf nak, sabarlah dahulu. Minggu depan uang saku akan segera kami kirimkan. Kau pinjam dulu dengan sahabatmu, nanti akan segera kami ganti. Kami sedang berusaha di rumah.”
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh
Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia
Saat kau berteriak bangga
Kepada siapa saja
“Perkenalkan, ini anak saya.”
Galih Hidayatullah
Depok, 22 November 2013
___________________
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk Wisuda 8 STEI SEBI.
Ya ampun mas, aku jd keinget pas,,,, ah sudahlah. #usapairmata
BalasHapusMerinding Mas~ bacanya~
BalasHapusSalut dengan puisi yg menyentuh hati~
:D
http://jaylogi.blogspot.com/
terharu ih. aku nahan tangisan di warnet.
BalasHapusBagus banget intinya,jadi ingin pulang ke rumah
BalasHapusSuka banget sama setiap kata yg tertulis di puisi ini. Jadi rindu sekali sama kedua orang tua :))
BalasHapusmenyentuh sekali :')
BalasHapushaisyyy Galiiih
BalasHapusAwesomeness :)
cekkkkk kok keren sih ini....
BalasHapus