Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #7

Selamat malam, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

Ah, tapi tunggu sebentar, nona. Maukah kau berjanji terlebih dahulu, pada apapun akhir kisah dari dongeng ini, kau mau menerimanya? Ehm.. Maksud saya, maukah nona nanti membantu saya bila saya meminta tolong?

Baiklah, cukup kau jawab di dalam hati. Mari simak lanjutan dongeng ini.

---------


Malam ini Keyla terusik. Ia berdebar oleh perasaan resah yang tak bisa diatur. Penasaran dengan apa yang akan disampaikan pemuda bertudung hitam. Akhirnya ia tertidur setelah lelah menahan debar di dalam dadanya.


Keesokan harinya, selepas Putri Keyla membantu Ibu Galuh merapikan rumah dan memasak, ia pergi kembali ke taman. Kali ini langkahnya bergegas.


Pemuda bertudung hitam sudah duduk bersandar di bangku taman, memainkan biolanya.
Kali ini iramanya begitu cinta. Seperti lagu bagi sepasang manusia yang sedang jatuh dalam kisah romansa. Pemuda bertudung hitam berhenti memainkan lagunya.
"Kenapa berhenti?" tanya Putri Keyla.
"Duduklah di sini. Jangan berdiri di sana," ucap lelaki bertudung hitam.
Putri Keyla beranjak menuju bangku panjang, duduk diam di samping pemuda bertudung hitam.
"Mainkan lagi lagunya."
"Dengan senang hati, nona."
Gesekan dawai dengan senar biola menciptakan harmonisasi yang indah. Terlebih yang memainkan adalah seseorang yang selama ini membuat Putri Keyla tenang. Putri Keyla memejamkan kedua matanya. Membiarkan dirinya hanyut dalam irama.


Pemuda bertudung hitam selesai memainkan biolanya. Lalu menaruh biolanya ke dalam tas panjang berwarna hitam.

"Tadi lagu apa?"
"Lagu baru."
"Apa judulnya?"
"Kepada Cinta Yang Membuatku Bahagia."
"Hem?"
"Hahaha, iya, itu judulnya."
"Lagunya indah."
"Seperti kamu."
"Ha?"
"Ya, lagu ini untuk kamu."
"Maksudmu?"
"Begitulah."


Pemuda bertudung hitam, tanpa diduga, membuka tudung yang selama ini menutupi wajahnya
"Perkenalkan, saya Al."


Di hadapan Putri Keyla, duduk seorang pemuda dengan rambut lurus yang hitam legam. Dahinya yang tegas tertutup sebagian rambutnya. Matanya yang bulat, dihiasi bulu mata yang lentik. Senyum menyungging dari bibirnya yang tebal. Menunjukkan gigi putih berseri.


Jika diperhatikan lebih seksama, ada tahi lalat kecil di sisi kiri mulutnya. Mungkin itulah penanda, kenapa ia gemar berbicara. Tak begitu tampan, tapi cukup menarik untuk terus diperhatikan berlama-lama oleh Putri Keyla.


Putri Keyla menyukai bulu matanya yang lentik, juga senyum yang menggantung di bibirnya. Ia menahan napas. Ada degup tak beraturan di dalam dadanya. Entah oleh perasaan apa.


"Hai, kenapa melamun? Ini aku. Lelaki yang selama ini menemani kamu."
"Engh.. Iii iya."
"Sudah tidak penasaran?"
"Iya."
"Syukurlah."
"Tapi kenapa kau membuka tudungmu?"
"Karena aku pikir inilah waktu yang tepat."
"Maksudmu?"
"Aku ingin menunjukkan wajahku kepada ia yang kupilih. Yang membuat hatiku jatuh."
"Aku?"
"Siapa lagi?"
"Hem?"
"Iya. Kamu. Putri Keyla."

"Hem."

"Lalu bagaimana?"

"Apanya?"

"Aku sudah jujur terhadapmu. Juga menunjukkan wajahku yang sebenarnya. Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?"


Penerangan taman Tanjung Harapan padam. Angin berhembus kencang. Meniup lentera-lentera yang menggantung di pepohonan. Suasana taman begitu remang. Cahaya muncul hanya dari bintang gemintang berkerlap-kerlip di atas langit, juga bulan yang bersinar purnama. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh taman.


----------

Nona, maafkan pendongengmu ini yang belum mampu menyelesaikan dongeng Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam. Ia butuh cerita tambahan yang diselesaikan olehmu. Maka, bagaimana selanjutnya? Akan kau akhirkan seperti apa cerita ini?


Pendongeng..
Berharap..
Dengan...
Sungguh..
Dan...

Berdoa..

Dengan..
Lafal..
Paling..
Semoga...

Agar...

Kisah...

Berakhir...

Bahagia....


Pendongeng dan Lelaki Bertudung Hitam menanti dengan sungguh sabarnya.


Terima kasih, nona Keyla.

Sudah menyimak dengan seksama dongeng ini.


Dari Aku, lelaki yang menemani sendumu.



Al.


Bogor, 15 September 2013.
Dari dalam ruangan yang sesak oleh cerita tentangmu.
Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #6

Selamat malam, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

---------


Hari-hari berikutnya terasa sangat menyenangkan. Pagi hari Putri Keyla membantu ibu Galuh, sore harinya ia melangkah menuju taman Tanjung Harapan. Untuk mendengarkan lagu atau sekadar berbincang-bincang dengan Al, pemuda bertudung hitam. Tak ada lagi irama sendu. Keceriaan mengalun merdu dalam setiap temu.


Putri Keyla seperti menemukan dirinya kembali. Dan Al, selalu setia menemani. Perbincangan mereka selalu sederhana. Seperti cerita lucu atau kisah-kisah pengalaman masing-masing. Lebih banyak cerita seputar kehidupan Al. Keyla betah berlama-lama dengan Al. Begitupun Al.

Maka begitulah mereka sekarang. Menjalani setiap kisah sore bersama. Berteman lagu dan cerita-cerita. Pernah dalam sebuah kesempatan Al bertanya, 

"Nona, apa yang membuatmu ke sini?"

"Kesedihan."
"Maksudmu?"
"Kesedihan yang membuatku berlari."
"Berlari untuk apa?"

"Untuk tak menemui kesedihan lagi."
"Bagaimana mungkin?"
"Sebisa mungkin."
"Ah, kau ini lucu. Kau berlari oleh kesedihan. Lalu berharap tak menemui kesedihan."
"Apa yang salah?"
"Tak ada yang salah. Hem.. Atau mungkin keliru, menurutku."
"Apa yang keliru?"
"Sejauh apapun kau berlari. Sedalam apapun kau bersembunyi. Kau akan tetap menemui kesedihan."
"Maksudmu?"
"Kesedihan bukan untuk dihindari, tapi dihadapi."
"Bagaimana caranya?"
"Berdamai dengan kenangan."
"Apa yang dimaksud berdamai dengan kenangan?"
"Berkompromi dengan masa lalu."
"Maksudmu?"
"Sekuat apapun kau berusaha melupakan, pada akhirnya kau hanya akan semakin kuat mengingatnya. Bahkan untuk lupa, kau harus ingat dulu kan apa yang harus kau lupakan?"

"Hem?"
"Begini maksudku. Tak perlulah kau menghindari kesedihan. Berlari sejauh apapun, kau akan tetap menemuinya. Sebab ia berada di dalam hatimu sendiri. Layaknya keindahan, kesedihan terkadang tak perlu kau genggam terlalu erat. Biarkan ia terbang bebas."

Keyla terdiam sejenak, sepertinya pernah mendengar kalimat yang hampir mirip diucapkan Al.

"Ah, iya, seperti ucapan ibu!" sontaknya di dalam hati.
"Lalu semestinya bagaimana?" Keyla melanjutkan tanya.
"Berdamai dengan kenangan."
"Ah, kenapa kau selalu mengulang kalimat itu?"
"Karena memang itu yang seharusnya dilakukan."
"Hem?"
"Cukuplah kau simpan kenangan masa lalumu di dalam sebuah ruang hati yang kau ciptakan sendiri. Masukkan ia ke dalam sana. Kunci rapat-rapat." ucap Al sambil menatap mata Key.


"Berdamailah dengan hatimu sendiri. Kesedihan akan tetap kau rasakan bila kau terus memendam dendam. Maafkanlah dirimu sendiri. Lalu maafkanlah setiap luka yang membuatmu bersedih. Hilangkan dendam dalam hatimu. Anggap saja itu cara Tuhan memberimu kesadaran, bahwa luka yang kau rasa bukan sesuatu yang pantas kau harapkan." ucap Al melanjutkan.


"Berdamailah dengan hatimu sendiri. Bahwa seberapa banyak pun luka yang mendera, pada akhirnya akan menunjukkan jalan untuk berbahagia. Berdamailah dengan hatimu sendiri. Lalu siapkan lagi sesaku harapan. Untuk menjemput kebahagiaan." Al menutup penjelasannya.


"Terima kasih, tuan. Untuk wejanganmu."
"Ah, kau pikir aku orang tua?"
"Loh, bukannya memang tua? Bicaramu laiknya kakek-kakek yang sudah berpengalaman hidup seratus tahun."
"Sialan kamu."
"Hahahaha"

Lalu lagu bernada ceria kembali mengalun dari biola hitam milik pemuda bertudung hitam.
Ia masih menutup wajahnya. 
Putri Keyla belum tahu wajah dibalik tudung hitamnya itu.

"Kenapa kau selalu menutup wajahmu dengan tudung itu?" tanya Keyla.
"Tak apa."
"Kalau tak apa, seharusnya kau buka itu."
"Aku belum mau."
"Kenapa?"
"Belum saatnya."
"Siapa yang tahu wajahmu?"
"Tak ada yang tahu."
"Heu?"
"Kecuali lelaki tua yang sudah kuanggap sebagai bapak."
"Ah, aku sudah mendengar cerita itu."
"Cerita mana?"
"Tentang kamu dan lelaki tua itu."
"Ah, siapa yang bercerita?"
"Seorang ibu yang aku tinggali kediamannya."
"Oh begitu."
"Iya. Ah, ngomong-ngomong, sudah larut malam. Aku pamit pulang."
"Jangan lupa, esok datang lagi. Ada yang ingin aku bicarakan."
"Tentang apa?"
"Datang saja besok."
"Hmm. Baiklah."


---------------------

Bagaimana nona? Adakah dadamu berdebar? Bersabarlah. Ada hal menarik setelah ini. Saya akan melanjutkannya lagi,

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #5

Selamat malam, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

------------


"Kau tahu, nona? Kenapa kota ini bernama tanjung harapan?" ucap Al setelah perkenalan pertama bersama Putri Keyla.
"Tidak tahu. Saya baru kali pertama ke sini."
"Pada awalnya, kota ini adalah kota mati. Tak berpenghuni."
"Lalu?"
"Sampai akhirnya ada sekumpulan pelayar dari negeri yang sangat jauh berlayar menuju pulau ini. Kapal-kapal tersebut sudah kehabisan bekal. Gurat keputusasaan tergambar dari setiap wajah yang berada di kapal tersebut. Kematian seolah berada di depan muka mereka. Maka beruntunglah mereka saat mengetahui bahwa di hadapan mereka ada sebuah pulau. Layar terus dibentangkan, roda kapal terus berputar. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat ini."


"Pulau ini sangat kaya," lanjut pemuda bertudung hitam.
"Tumbuhan apa saja hidup di pulau ini. Maka sesampainya mereka di pulau ini. Mereka menemukan semangat baru untuk hidup. Dan memusnahkan segala keraguan yang membentang."
"Tanjung harapan.."
Putri Keyla menatap mata Pemuda bertudung hitam. Mendengarkan kisah menarik dengan antusias. 
Senyum tulus menyungging di bibirnya yang merah muda.


"Ah, nona. Jangan kau kira para pelaut itu hanya sekadar nelayan. Atau pencari harta karun."
"Lalu?"
"Mereka adalah penjelajah. Pelayar ulung yang ingin menemukan ujung dunia. Jangan juga kau kira mereka adalah pemain sirkus yang sedang mencari gorilla untuk diberi bedak dan dijadikan bahan tertawaan. Bukan."

"Lalu?"
"Mereka adalah pemburu kebahagiaan, pencari makna kehidupan. Maka, hiduplah mereka di tempat ini. Saling menikah. Memiliki keturunan, hingga akhirnya menjadi sebuah pemukiman yang dihuni banyak orang."
"Untuk mengenang peristiwa itu, maka dibuatlah taman ini. Kau lihat menara tinggi di tengah taman sana?"
"Iya, lihat. Apa itu?"
"Itu adalah menara harapan. Sebagai simbol puncak tertinggi dari kesabaran dalam menghadapi nestapa dan kesedihan. Penyelamat dari gelap kesunyian." ucap Al bersemangat.
"Maka, inilah yang ingin aku katakan. Sedalam apapun kekecewaan dan kesedihan yang membuatmu bisa datang ke sini, jangan matikan harapan di dalam hatimu. Biarkan ia tetap tumbuh menerangi hatimu." ucap Al melembut.
"Siapa yang bersedih? Aku tidak sedang bersedih," ucap Putri Keyla.
"O, nona. Matamu tak bisa menipu. Ada kenestapaan di sanaBahkan kau menangis saat aku memainkan lagu tadi."
"Tapi, kan.."
"Sudahlah, jujur saja terhadap dirimu sendiri. Kau tahu? Lagu apa yang aku mainkan tadi?"
"Apa?"
"Nostalgia Kehilangan."
"Hem?"

"Hanya mereka yang benar-benar merasakan yang akan begitu larut mendengarkannya."
"Kau bermain dengan sangat baik."
"Ah, terima kasih."
"Esok datanglah ke sini lagi. Aku berada di tempat yang sama sejak pukul lima sore."
"Baiklah, saya pamit pulang. Terima kasih untuk lagunya."
"Terima kasih sudah mendengarkan."
Putri Keyla beranjak pulang. Kali ini dadanya terasa lebih lapang. Ia hidupkan kembali harapan-harapan. Senyum tersungging dari bibirnya. Tulus. Menawan.

Ia ketuk pintu rumah ibu baik hati.
Ibu baik hati membukakan pintu dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, anakku. Bagaimana jalan-jalannya?"
Putri Keyla melangkah masuk ke dalam rumah.
"Luar biasa sekali, bu. Saya menemui pemuda pemain biola bertudung hitam. Siapa dia ibu?"
"Ah, pemuda itu."
"Siapa dia, bu?"
"Dia pendatang sepertimu."
"Benarkah? Sejak kapan?"

"Sudah hampir lima tahun yang lalu. Ia datang ke sini dengan keadaan hampir sama sepertimu. Baju terkoyak dengan luka di sekujur tubuh. Butuh waktu lebih lama bagi ia untuk tersenyum. Entah sebab apa, ia lebih suka menyendiri dan berwajah murung," ucap ibu menjelaskan.
"Hingga suatu hari ia menemukan seorang lelaki tua di taman Tanjung Harapan, memainkan biola."
"Sejak itu, ia lebih senang bermain di sana. Mendengarkan lagu demi lagu yang dimainkan lelaki tua. Lalu mendengarkan cerita yang dikisahkan lelaki tua selepas bermain lagu yang terakhir."
"Di mana lelaki tua itu sekarang, bu?" tanya Putri Keyla.
"Ia sudah meninggal dua tahun lalu. Dan menitipkan biola itu pada pemuda bertudung hitam."
"Ah, aku paham. Terima kasih, bu. Saya ingin beristirahat."
"Kamu sudah makan, nak?"
"Belum, bu."
"Makan dulu, ibu menyiapkan sup untuk kamu."
"Baik, bu. Terima kasih sudah begitu baik terhadap saya."
"Jangan sungkan, nak. Ibu hanya tinggal sendiri di sini. Ibu senang ada yang menemani."


Mereka beranjak menuju tempat makan. Berbincang lebih banyak tentang latar belakang masing-masing. Oh, tentu Putri Keyla tidak bercerita bahwa ia adalah seorang putri Raja. Ia hanya bercerita bahwa ia tersesat dan menemukan kota Tanjung Harapan dalam perjalanannya.


Pada suapan sup terakhir, ibu baik hati berkata.
"Nama ibu Galuh. Suami ibu meninggal setahun setelah pernikahan. Ibu tak memiliki anak. Maka ibu sangat senang saat kamu ada di sini.."
"Ah, anggap saja saya sebagai anakmu, bu. Saya berbahagia bila punya ibu sebaik ibu."
"Iya, nak Keyla. Terima kasih. Ya sudah, silakan beristirahat. Semoga tidurmu nyenyak."
"Baik, bu. Selamat malam."

Perlahan, Putri Keyla beranjak. Lalu tiba-tiba, mengecup pipi ibu Galuh. "Terima kasih, bu," bisiknya lirih. Kemudian melangkah menuju kamar. Tak menyadari, bahwa ibu Galuh menangis menahan haru. Ini kali pertama bagi ia dicium pipinya oleh seorang anak. Betapa bahagianya ia ada seseorang yang menghargainya sebagai seorang ibu. Segera ia seka air matanya, lalu tersenyum.
----------

Bagaimana nona? Adakah kau mulai tersenyum mendengarkan dongeng ini? Tunggu dulu. Cerita belum berakhir, saya akan melanjutkannya kagi.

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #4

Selamat petang, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

-------


Angin berembus, ditingkahi kicau nuri bersahutan. Daun-daun merunduk dihinggapi embun. Cahaya mentari masuk melalui kisi-kisi jendela. Pagi datang lagi.

Putri Keyla terbangun dari atas kasur. Kepalanya terasa pening. Sekujur badannya terasa sakit. Ngilu merambat di setiap lekuk persendiannya.
"S
udah bangun, anakku? Ibu menemui kamu malam tadi terbaring jatuh di depan rumah. Silakan makan buburnya, sudah ibu siapkan."

"Terima kasih, bu," Putri Keyla melahap bubur pelan-pelan.


Sang ibu baik hati tersebut membiarkan putri compang-comping sendirian. Sebab ia paham, itu yang putri compang-camping tersebut butuhkan.


"Anakku, jika kamu ingin membersihkan badanmu, sudah ibu siapkan handuk dan baju. Kamar mandinya ada di sebelah sana," ucap ibu baik hati sambil menunjuk ke sudut ruangan.
"Baik, ibu. Terima kasih banyak. Ah, iya. Namaku Keyla."
"Sama-sama nak Keyla. Jangan sungkan."

Maka beranjaklah Putri Keyla menuju kamar mandi, membersihkan dirinya.


Matahari meninggi. Terang telah sempurna memenuhi langit pagi. Tapi tidak di dalam hati Putri Keyla yang gelap oleh kesedihan. Selepas mandi dan berganti baju, Putri Keyla menemui ibu baik hati. Kali ini dengan senyum yang diusahakan terlihat lebih manis.


"Ibu, terima kasih sudah merawat saya semalam. Dengan kebaikan apa saya bisa membalas?"
"Aduh, anakku. Tak perlulah kau berkata seperti itu. Jangan sungkan."
"Tapi ibu baik sekali."
"Ada apa denganmu? Sepertinya baru saja melewati perjalanan yang begitu jauh?"
"Iya, ibu. Saya dari hutan. Beruntung masih bisa sampai ke kota."
"Syukurlah, jangan sekali-sekali kau coba lagi untuk bermain-main di hutan. Itu sangat berbahaya. Beruntung kau bisa selamat."
"Iya, bu. Ah, iya. Kota ini bernama apa, bu?"
"Tanjung Harapan, nak."
Putri Keyla tersenyum. Lebih tulus. Mengaminkan dalam hati. "Semoga benar ada harapan, di sini."

"Nak, bila kau sudah pulih. Silakan berkeliling kota ini. Ada satu taman paling indah di tengah kota."
"Baik, bu. Nanti saya akan ke sana. Saya ingin beristirahat dulu."
M
erebahlah kembali Putri Keyla. Tak lama, ia kembali tertidur.


Mentari jatuh di ufuk barat. Lazuardi tergantikan jingga kemerah-merahan. Taman dipenuhi orang yang berlalu-lalang. Gumam-gumam perbincangan menyatu bersama derap langkah kaki. Terdengar alunan gesekan biola memecah suasana. Mengalunkan irama keceriaan bagi siapa yang mendengar. Pelan-pelan, Putri Keyla mendekati sumber suara itu.


Putri Keyla sudah bangun sejak siang tadi. Lalu berkeliling mengikuti arahan yang sebelumnya diberitahukan oleh sang ibu baik hati. Ia melewati beberapa pemukiman, pasar, dan tempat kesenian yang ada di kota itu. Hingga 
berakhir di taman Tanjung harapan.


Alunan gesekan biola terasa begitu merdu. Tak ada nada suara sumbang. Simfoni mengalun indah memecah kesunyian yang dirasakan Putri Keyla. Sumber suara semakin dekat. Dan Putri Keyla semakin tak sabar melihat siapa yang begitu baik memainkan biola tersebut.


Di sana, ada seorang pemuda berbalut tudung berwarna hitam. Sempurna menutupi wajahnya. Hanya matanya yang berbinar yang terlihat. Keceriaan nampak terlihat dari kedua matanya. Kepalanya miring menahan biola. Tangannya bergerak lincah memainkan gesekan dawai.


Dalam diam, Putri Keyla mematung menikmati alunan musik yang dimainkan. Lagu yang baru kali pertama ia dengar. Tapi terasa begitu dekat dan hangat.

Lagu terhenti.

Tapi dada Putri Keyla masih begitu berdebar. Menginginkan lagu berikutnya.


Tiba-tiba, Pemuda bertudung hitam berkata.
"Untuk nona dengan rona wajah bercahaya di ujung sanaIni lagu terakhir malam ini untuk nona."
Pemuda bertudung hitam memainkan lagunya. Kali ini bernada melankolis. Ia memainkan dengan sangat khidmat. Matanya yang tak tertutup tudung hitam tertuju pada mata Putri Keyla. 
Putri Keyla gugup. Lalu menutup kedua matanya. Membiarkan dirinya hanyut dalam lagu bernada sendu.


Tiba-tiba, air mata menetes jatuh dari kedua pelupuk matanya. Terus menetes selama musik dimainkan.
Lagu pun terhenti.

Putri Keyla menyeka air mata dengan punggung tangannya, pelan-pelan pemuda bertudung hitam mendekatinya.
"Terima kasih, nona. Sudah mendengarkan sampai tuntas."
"Saya yang seharusnya berterima kasih, sudah memainkan lagu untuk saya."
Putri Keyla dan pemuda bertudung hitam duduk menepi di bangku panjang yang berada di pinggir taman.
"Siapa namamu, nona?"
"Keyla."
"Perkenalkan, saya Al."


--------------

Ah, tentu kau sudah tak sabar mendengar bagaimana kisah selanjutnya, nona. Tahan sabarmu. Setelah ini, saya akan menceritakan lagi bagaimana kelanjutan ceritanya.

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #3

Selamat sore, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.


--------
Pada suatu pagi di istana, Putri Keyla memasang senyum terbaiknya. Perasaannya membuncah mendengar kabar kepulangan Pangeran Tirta. Pada hari ketiga pelayaran, Pangeran Tirta sampai di dermaga kerajaannya. Putri Keyla mengenakan gaun terbaiknya. Berdandan dengan tampilan terbaik untuk menyambut Pangeran.


Pangeran Tirta melangkahkan kaki masuk menuju istana. Kepulangannya disambut ceria oleh keluarga kerajaan. Tapi ada satu hati terkucil.

Putri Keyla.


Ia sama sekali tak mendapat cium kening dari Pangeran Tirta. Bahkan untuk sapaanmu pun tidak. Batinnya menangis. Pasal apa yang membuat sikap pangerannya berubah.
Pangeran Tirta masuk ke dalam kamarnya.


Putri Keyla mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berujar, "Ah, mungkin ia hanya lelah. Biarlah ia beristirahat dulu." Ia pun masuk ke dalam kamarnya sendiri yang bersebelahan dengan kamar Pangeran Tirta.


Keesokan harinya, Putri Keyla menemui Pangeran Tirta.
"Selamat pagi, tuanBagaimana kabarmu?"
"Kabar baik, Keyla," ucapnya pelan tanpa menoleh ke arah Keyla.
"Ada apa denganmu? Kenapa sikapmu begitu dingin?"
"Dingin bagaimana maksudmu?"
"Tidak seperti biasanya."

"Maksudmu?"
"Tuan sama sekali tak menyapaku kemarin. Bahkan menoleh pun tidak. Ada apa?"
"Oh, tidak apa-apa."
"Hem?
"Sudah, ya. Aku ingin berburu hari ini. Jangan ganggu."


Bagai dihantam godam, hati Putri Keyla remuk redam. Jangankan untuk mendapat pelukan rindu. Bahkan untuk menikmati perbincangan selepas kepergianmu tidak.
"Baiklah, tuanSelamat berburu."
---------

Di hutan, pangeran Tirta menumpahkan keresahan rindunya terhadap Putri Bahari dengan melesatkan anak panah. Sudah 2 rusa tertangkap.

Di istana, Putri Keyla sedang sibuk menenangkan hatinya sendiri. Dan berdoa, semoga pangeran baik-baik saja.


Hari-hari berikutnya terasa semakin sepi. Pangeran Tirta tak mau menemui Putri Keyla. Hingga akhirnya kesabaran Putri Keyla dalam menanti pun mencapai ambang batas terakhir.


"Tuan, apa yang terjadi padamu? Apa engkau tak merasa rindu berdua denganku?" ucap Putri Keyla saat akhirnya ia memberanikan diri untuk menemui Pangeran Keyla yang sedang berburu di hutan.
"Hai, kenapa kau ke mariHutan berbahaya."
"Aku rindu kamu, tuanKenapa kau seolah tak mempedulikanku lagi? Ada apa?"
"Dengar baik-baik, Keyla. Maaf atas sikap diamku. Aku tak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Perasaanku hilang terhadapmu. Aku mencintai perempuan lain. Aku sudah mencoba menenangkan diriku untuk mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Tapi sungguh, Keyla. Hatiku lebih memilih ia."
"Kenapa, tuan?"
"Aku tak mengerti, Keyla. Maafkan."
"Aku bahkan begitu setia menunggumu kembali. Dengan menjaga perasaan baik-baik."
"Aku minta maaf, Keyla."
"Siapa, tuan?"

"Putri Bahari."


Putri Keyla berlari menjauh dari Pangeran Tirta. Dadanya sesak oleh kekecewaan dan kesedihan. Air mata tak lagi terbendung. Pipinya basah oleh tangis yang menganak sungai. Tak dipedulikan lagi kakinya yang luka oleh goresan akar-akar dan belukar. Ia ingin segera menjauh. Pergi. Berlari. Jauh.


Pangeran Tirta berdiri mematung. Melihat punggung Putri Keyla yang menjauh. Putri Keyla terus berlari. Ke arah mana saja yang dikehendaki kaki. Berharap kesedihannya tertinggal di belakang. Tapi nyatanya kekecewaan semakin nyata berada di hadapannya. Menertawakan kesedihan Putri Keyla yang tak tak tertahankan.

Putri Keyla terjatuh. Air mata yang menggenang di pelupuk mata menghalangi pandangannya. Sehingga tak melihat ada batu di hadapannya. Kaki Putri Keyla terluka dan berdarah. Tapi tak lebih sakit dibanding kekecewaan hatinya. Ia perlahan bangkit, lalu meneruskan lagi perjalanannya.

Putri Keyla terus berlari. Hingga akhirnya keluar dari hutan.

"Di mana ini?" batin Putri Keyla.

"Ah, sudahlah. Aku hanya harus terus berjalan."
Putri Keyla terus berjalan. Gaunnya sudah compang-camping akibat belukar. 
Wajahnya masih bercahaya. Hanya saja meredup. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya.


Hari beranjak petang. Putri Keyla tiba di kota entah bernama apa.
Perutnya kelaparan.
Dan dahaga, menghentikan langkahnya.
Putri Keyla
 jatuh pingsan.

--------

Ah, pasti kau khawatir menanyakan bagaimana keadaan Keyla selanjutnya. Bersabarlah sebentar. Izinkan saya menarik napas sebentar untuk kemudian melanjutkan dongeng ini.

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #2

Selamat siang, nona.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.


-------------

Tirta dan Keyla menikmati kebersamaan mereka dengan mesra. Belajar saling mengenal dan memahami seperti yang dititahkan ayah Keyla.

Hingga suatu hari..

Kerajaan membutuhkan pangeran Tirta untuk berlayar menjual hasil tambang dan pertanian rakyat wilayah kerajaan ke kerajaan lain.

Keyla dengan berat hati melepas Pangeran Tirta untuk pergi berlayar. Dengan harapan Pangeran Tirta dapat menjaga perasaannya. Sebagaimana kesetiaan Putri Keyla dalam menunggunya pulang kembali.

Pangeran Tirta mengarungi laut dengan sangat baik. Meski sesekali badai datang menghantam kapal miliknya, tapi kapal tersebut masih dapat membelah lautan dengan tangguh. Sesampainya di kerajaan tujuan, kapal kerajaan Tirta menepi dan menjatuhkan jangkar kapalnya di dermaga.

Kerajaan yang dituju Pangeran Tirta adalah sebuah pulau yang dikelilingi lautan. Pantainya indah, berpasir putih dengan air laut jernih. Tepian pantai dihiasi nyiur yang melambai-lambai. Sesekali terlihat kepiting dan penyu yang sedang bermain-main di antara gundukan pasir.


Pangeran Tirta menyelesaikan sapuan pandangannya dari pantai, lalu mulai mengemasi barang-barang bawaan untuk kemudian dibawa oleh anak-anak kapal. Tujuan langkah mereka selanjutnya adalah istana kerajaan.

Keluarga istana kerajaan menyambut mereka dengan antusias. Ini kali pertama bagi kedua kerajaan.
"Saya Pangeran Tirta, utusan dari kerajaan seberang. Bermaksud membawakan pesanan bahan tambang dan pertanian."

"Ah, anakku. Terima kasih sudah membawakan pesanan kami. Sebelum itu, mari istirahat dulu. Kami sudah siapkan makanan terbaik untuk keluarga dari negeri seberang," ucap sang Raja kerajaan Bahari.
Makanan yang dihidangkan adalah ikan bakar dengan saus tiram, ayam panggang, buah-buahan segarDan beberapa gelas minuman anggur yang menggoda tenggorokan.


Tanpa berpikir lebih panjang, Pangeran dan beberapa ajudan kerajaan mulai menyantap hidangan dengan lahap. Pada santapan yang keempat, pandangan mata pangeran tertambat pada satu sosok yang berada di hadapannya. 
Ia baru menyadari, ada seorang putri kerajaan berada di hadapannya sedang tersenyum dan memperhatikannya. Wajahnya teduh dengan garis muka yang lugu. Pangeran Tirta salah tingkah. Lalu pelan-pelan kembali menyantap hidangannya.

"Wahai pangeran Tirta. Perkenalkan, ini putri kami, Putri Bahari."
"Engh.. Engh.. Iya paduka Raja." jawab Tirta tersedak.


Di tempat lain, Putri Keyla sedang duduk terdiam di taman kerajaan. Menerawang ke atas langit. Harap-harap cemas menunggu kepulangan pangeran. Kupu-kupu hinggap di jemari Putri Keyla. Seolah menghibur kegundahan hati Putri Keyla.

------


"Putriku, ajaklah Pangeran Tirta berkeliling kerajaan kita. Tunjukkan padanya keindahan yang dimiliki oleh negeri kita," ucap paduka Raja seusai perjamuan santap siang.
"Baik, ayah."


Lalu melangkahlah Pangeran Tirta dan Putri Bahari ke luar istana. Putri Bahari mengajak pangeran berkeliling ke wilayah kerajaannya, menemui kehidupan masyarakat, dan berakhir di pantai terindah yang dimiliki kerajaan Bahari.


Saat itu senja hari. Matahari membenam dilalap petang. Jingga keunguan menyemburat di atas langit. Angin berhembus lirih, bertiup sayup-sayup menjadi simfoni pengiring kebersamaan. Jemari mereka sudah bertautan sejak menjejakkan kaki di pasir pantai. Seiring matahari menghilang, mereka pun berciuman.

Putri Keyla tersedak air putih yang diminumnya. Tiba-tiba menangis oleh perasaan rindu yang begitu menggebu. Inginnya satu, Pangeran Tirta pulang merentangkan pelukan. Sudah berminggu-minggu pangeran Tirta berlayar dan belum memberi kabar. Melebihi jadwal yang sudah ditentukan. Dadanya sesak oleh perasaan resah yang tak bisa diatur. Kesabarannya seluas kebesaran hatinya. Tapi tenang belum juga bisa diredakan.
-----

Pangeran Tirta menikmati harinya yang indah bersama Putri Bahari. Aktivitas barunya adalah berkuda di tepian pantai bersama Putri Bahari. Menikmati keindahan yang tertawar dari debur ombak yang memecah karang-karang, dan burung yang berterbangan membelah langit senja.

Suatu hari, ajudan memberanikan diri untuk menyapa pangeran.
"Paduka pangeran, ini sudah melebihi batas waktu. Sebaiknya kita segera pulang." ucap ajudan pelan.
"Baiklah, lusa kita kembali ke kerajaan. Kemasi barang-barang dan siapkan kapal untuk berlayar."
Ini sudah minggu kedelapan sejak kepergian pangeran. Dan Putri Keyla
 masih setia menunggunya pulang dengan duduk diam di tamanBerteman bunga-bunga yang bermekaran beraneka ragam, juga kupu-kupu warna-warni yang berterbangan.


Keindahan yang tertawar di hadapannya tak mampu meredakan geliat resahnya. Seolah ia berada dalam padang gersang yang begitu terik hingga kerongkongannya kering. Rindu telah sampai ke tenggorokan. Dan debar resah begitu sesak memenuhi rongga dadanya.

Rindu terkadang begitu bengis. Sangat tega mencipta air mata hanya untuk mendamba sua.

Namun rindu begitu hebat. Membuat kesetiaan tetap terjaga rapat-rapat.
-----
Pada perjamuan terakhir di negeri Bahari, pangeran mengucap pamit kepada raja Bahari.
"Yang mulia raja, kami harus kembali berlayar. Terima kasih atas sambutan hangat dan jamuannya yang begitu ramah. Akan kami ceritakan kebaikan kerajaan Bahari kepada rakyat kami."
"Wahai pangeran, janganlah sungkan. Ini sudah kewajiban kami untuk menyambut tamu dengan baik. Jangan ragu untuk kembali. Kami membuka pintu lebar-lebar."


Selepas perjamuan, pangeran Tirta bersiap ke luar istana. Putri Bahari mengikutinya dengan wajah tertunduk.

Di ambang pintu istana, pangeran Tirta menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan badan berhadapan dengan Putri Bahari.
"Jangan cemas, nona. Aku akan kembali. Aku mencintai kamu." mereka berpelukan, lalu melakukan ciuman terakhir sebelum perpisahan. Kali ini lebih hangat dan lembut dari yang sebelumnya. Mata mereka terpejam, membiarkan tenang dan mesra merasuk dada pelan-pelan.

 

Putri Bahari melepas pelukan. Ia tak ingin menangis lebih lama.

"Silakan pergi, tuan. Asal membawa serta kenangan dan ingatan tentangku. Hingga dengan seberkas senyum, engkau kembali dan menemuiku lagi."
"Tenanglah, Putri Bahari. Kau menantilah dengan tenang. Aku akan kembali. Bahkan sebelum kau sempat merinduiku lagi." ucap pangeran Tirta sambil mengecup kening Putri Bahari.
Dengan berat hati, pangeran Tirta melangkahkan kaki. Lalu berjanji dengan hatinya sendiri untuk kembali lagi.


Pangeran Tirta beranjak menuju dermaga.
Layar kapal membentang. Jangkar perlahan dinaikkan. Kapal kembali berlayar pulang.



------------

Ah, kau pasti bertanya-tanya, nona. Bagaimanakah kisah selanjutnya.

Bersabarlah sebentar, setelah ini saya akan menceritakannya lagi. Persiapkan dirimu, sendu tak pernah memberi kabar kapan akan mengetuk pintu untuk mengusik bahagiamu.

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #1

Selamat pagi, nona.

Jadi begini, hari ini saya ingin mendongeng untuk kamu. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya pelan-pelan.


----------
Suatu hari, tersebutlah seorang ratu kerajaan yang cantik jelita. Kehidupannya damai penuh kebaikan. Kesahajaannya terhadap rakyat membuat ia begitu dicintai oleh rakyatnya. Raja sangat mencintai Ratu lebih dari sekadar segalanya. Suatu kali dalam musim salju, Ratu berdoa kepada langit.
"Wahai semesta, jika kau berbaik hati memberiku karunia anak, berikanlah anak terbaik. Dengan senyum manis dari bibir berwarna merah, wajah berseri dengan kulit putih bercahaya. Hiasi dirinya dengan hati yang sesuci salju."
Oleh sebab kebaikan hati sang Ratu, semesta serempak meneriakkan amin atas setiap semoga yang dipanjatkan Ratu.


Beberapa bulan berselang, doa sang Ratu terwujud. Ia hamil. Dalam proses mengandung, sang Ratu selalu bersenandung pelan sambil mengelus lembut perutnya. Sambil berdoa semoga anaknya kelak lahir dengan selamat dan tumbuh mendewasa dengan baik. Sembilan bulan kemudian. Sang Ratu akhirnya melahirkan. Seorang bayi perempuan dengan mata bulat permata yang hitam. Bibirnya yang semerah delima selalu menyungging senyum. Kulitnya yang putih memantulkan cahaya dari penerangan kamar.
Sang Raja memberinya nama, Keyla.


Keyla kecil begitu lincah. Tawa selalu menggantung dari bibirnya. Setiap hari ia bermain di taman kerajaan. Kegemarannya melihat kupu-kupu berterbangan dari bunga ke bunga. Pernah dalam suatu kesempatan Keyla berhasil meraih kupu-kupu ke dalam genggamannya. Rona ceria begitu tergambar dari wajah mungilnya yang lucu. Tapi kemudian Ratu memanggilnya dengan lembut, "Key, biarkan kupu-kupumu yang indah terbang bebas. Suatu hal yang indah, tak harus selalu tergenggam, biarkan ia terbang bebas menunjukkan keindahannya sendiri."
Maka, dilepaslah kupu-kupu itu. Hingga kembali berterbangan dari putik bunga yang satu ke putik bunga lain.


Keyla tumbuh mendewasa dengan kasih sayang yang baik dari kedua orang tuanya.
Kelembutan Ratu dalam berucap dan membelai, membuat Keyla tumbuh menjadi perempuan santun dan berempati. Raja begitu menyayangi Keyla, setiap hari ia tak pernah bosan menggendong Keyla ke atas pundaknya. Pernah suatu kali Raja membangunkan Keyla pada malam hari. Ia mengajak Keyla untuk ke taman dan melihat langit malam.
"Lihatlah, Key. Di sana ada bintang terindah, Venus. Ia hanya tampak dalam selang waktu yang lama. Perhatikan baik-baik. Indah, bukan?"

Dengan mata berbinar, Keyla memperhatikan bintang venus dari kejauhan. "Indah, ayah. Terima kasih banyak," Keyla memeluk Raja dengan erat. Lalu dengan lembut Raja mengelus kepala Keyla dengan penuh cinta.


Keyla tumbuh dewasa dengan pesona menawan. Jelita kecantikannya tersohor sampai ke kerajaan lain. Kerajaan kerap menerima surat yang berisikan tawaran lamaran dari pangeran-pangeran kerajaan lain. "Anakku, kau sudah tumbuh dewasa. Ini saatnya bagi kamu untuk memulai lembar hidup baru. Mencari teman hidup hingga tutup usia," Raja berkata kepada Keyla dalam sebuah santap siang.
"Baik, ayah. Aku siap."


Maka keesokan harinya, Raja mengumumkan kepada setiap perwakilan kerajaan lain untuk datang dalam malam perjamuan. Selain untuk menjalin hubungan yang baik antar kerajaan, perjamuan dimaksudkan untuk mencari pangeran terbaik untuk Keyla. Berkumpullah setiap pangeran dari kerajaan dari negeri antah berantah. Menyungging senyum mencoba menarik perhatian Keyla.


Alunan musik dimainkan. Pelan-pelan, setiap orang mulai berdansa mengikuti irama lagu. 
Dalam kesempatan itu, Keyla menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Melihat satu dari sekian banyak pangeran yang mampu memikat hatinya. Tapi selama itu pula Keyla merasakan hampa. Tak menemukan siapa-siapa. Dalam keadaan Keyla yang bergeming, tiba-tiba ada seorang pangeran yang mendekatinya.

"Putri Keyla, marilah berdansa denganku," ucap pangeran itu sambil mengulurkan tangannya.
"Eng. Engh.. Iii iya..," ucap Keyla kaget.

Dalam kesempatan berdansa itu, mereka saling beradu pandang, lalu mulai larut dalam irama. Sesekali pangeran menggoda. "Perkenalkan Putri, nama saya Tirta. Dari kerajaan seberang. Kau terlihat begitu cantik dan menawan malam ini."


Raja dan ratu melihat mereka berdua berdansa dengan antusias. 
Hingga lagu berakhir.


Waktu telah menunjukkan tengah malam. Undangan mulai pulang satu persatu. Dalam kesempatan terakhir, raja berbisik pelan kepada Pangeran Tirta, "Nak, silakan datang lagi pekan depan. Jemput Keyla. Aku memberimu waktu satu tahun untuk saling mengenal dan saling memahami antara satu dengan yang lain."
Bukan kepalang senangnya Pangeran Tirta mendapatkan tawaran tersebut. Maka merunduklah ia di hadapan raja, memberikan salam hormat terbaik yang bisa ia lakukan.


Sepekan kemudian, pangeran datang kembali. Dengan senyum sumringah menjemput Putri Keyla untuk dibawa ke kerajaan Pangeran Tirta.
"Pergilah, nak. Temukan jati dirimu di luar sanaJaga dirimu baik-baik, ayah ibu mendoakanmu," ucap Raja kepada Keyla.

Selepas peluk terakhir, Keyla melangkah keluar istana. Berangkatlah mereka menuju istana kerajaan Pangeran Tirta, diiringi pengawal berkuda dan barisan prajurit pengaman kerajaan.

Sesampainya mereka di istana kerajaan Tirta, dengan anggun pangeran Tirta menggenggam tangan putri Keyla dan mengajaknya masuk ke dalam istana.

Di dalam istana, keluarga kerajaan sudah berkumpul dengan memasang wajah sumringah. Karena seorang putri jelita sedang berada di tengah-tengah mereka. Putri Keyla disambut dengan sangat ramah. Raja mempersilakan Keyla mencicipi hidangan terbaik yang disajikan oleh koki kerajaan.

Keyla merasa lega karena ia berada di dalam keluarga kerajaan yang baik dan ramah. Hari-hari Keyla di kerajaan Tirta diisi dengan berkeliling kerajaan, menemui rakyat, dan sesekali berkunjung ke danau atau taman-taman yang berada di sana bersama Pangeran Tirta.


Mereka mulai saling mengenal kepribadian masing-masing.
Dan pelan-pelan...
Putri Keyla jatuh cinta terhadap Pangeran Tirta.
Hari yang mereka lewati di bulan-bulan berikutnya menjadi terasa lebih indah. Karena bunga-bunga cinta sudah tumbuh mekar di hati mereka berdua.


--------------


Ah, bagaimana nona? Sudahkah kamu menikmati ceritanya?

Nanti akan kuteruskan, ada cerita menarik setelah ini.

Selengkapnya

Kategori Utama