Selamat malam, nona.
Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.
------------
"Kau tahu, nona? Kenapa kota ini bernama tanjung harapan?" ucap Al setelah perkenalan pertama bersama Putri Keyla.
"Tidak tahu. Saya baru kali pertama ke sini."
"Pada awalnya, kota ini adalah kota mati. Tak berpenghuni."
"Lalu?"
"Sampai akhirnya ada sekumpulan pelayar dari negeri yang sangat jauh berlayar menuju pulau ini. Kapal-kapal tersebut sudah kehabisan bekal. Gurat keputusasaan tergambar dari setiap wajah yang berada di kapal tersebut. Kematian seolah berada di depan muka mereka. Maka beruntunglah mereka saat mengetahui bahwa di hadapan mereka ada sebuah pulau. Layar terus dibentangkan, roda kapal terus berputar. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat ini."
"Pulau ini sangat kaya," lanjut pemuda bertudung hitam.
"Tumbuhan apa saja hidup di pulau ini. Maka sesampainya mereka di pulau ini. Mereka menemukan semangat baru untuk hidup. Dan memusnahkan segala keraguan yang membentang."
"Tanjung harapan.."
Putri Keyla menatap mata Pemuda bertudung hitam. Mendengarkan kisah menarik dengan antusias. Senyum tulus menyungging di bibirnya yang merah muda.
"Ah, nona. Jangan kau kira para pelaut itu hanya sekadar nelayan. Atau pencari harta karun."
"Lalu?"
"Mereka adalah penjelajah. Pelayar ulung yang ingin menemukan ujung dunia. Jangan juga kau kira mereka adalah pemain sirkus yang sedang mencari gorilla untuk diberi bedak dan dijadikan bahan tertawaan. Bukan."
"Lalu?"
"Mereka adalah pemburu kebahagiaan, pencari makna kehidupan. Maka, hiduplah mereka di tempat ini. Saling menikah. Memiliki keturunan, hingga akhirnya menjadi sebuah pemukiman yang dihuni banyak orang."
"Untuk mengenang peristiwa itu, maka dibuatlah taman ini. Kau lihat menara tinggi di tengah taman sana?"
"Iya, lihat. Apa itu?"
"Itu adalah menara harapan. Sebagai simbol puncak tertinggi dari kesabaran dalam menghadapi nestapa dan kesedihan. Penyelamat dari gelap kesunyian." ucap Al bersemangat.
"Maka, inilah yang ingin aku katakan. Sedalam apapun kekecewaan dan kesedihan yang membuatmu bisa datang ke sini, jangan matikan harapan di dalam hatimu. Biarkan ia tetap tumbuh menerangi hatimu." ucap Al melembut.
"Siapa yang bersedih? Aku tidak sedang bersedih," ucap Putri Keyla.
"O, nona. Matamu tak bisa menipu. Ada kenestapaan di sana. Bahkan kau menangis saat aku memainkan lagu tadi."
"Tapi, kan.."
"Sudahlah, jujur saja terhadap dirimu sendiri. Kau tahu? Lagu apa yang aku mainkan tadi?"
"Apa?"
"Nostalgia Kehilangan."
"Hem?"
"Hanya mereka yang benar-benar merasakan yang akan begitu larut mendengarkannya."
"Kau bermain dengan sangat baik."
"Ah, terima kasih."
"Esok datanglah ke sini lagi. Aku berada di tempat yang sama sejak pukul lima sore."
"Baiklah, saya pamit pulang. Terima kasih untuk lagunya."
"Terima kasih sudah mendengarkan."
Putri Keyla beranjak pulang. Kali ini dadanya terasa lebih lapang. Ia hidupkan kembali harapan-harapan. Senyum tersungging dari bibirnya. Tulus. Menawan.
Ia ketuk pintu rumah ibu baik hati.
Ibu baik hati membukakan pintu dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, anakku. Bagaimana jalan-jalannya?"
Putri Keyla melangkah masuk ke dalam rumah.
"Luar biasa sekali, bu. Saya menemui pemuda pemain biola bertudung hitam. Siapa dia ibu?"
"Ah, pemuda itu."
"Siapa dia, bu?"
"Dia pendatang sepertimu."
"Benarkah? Sejak kapan?"
"Sudah hampir lima tahun yang lalu. Ia datang ke sini dengan keadaan hampir sama sepertimu. Baju terkoyak dengan luka di sekujur tubuh. Butuh waktu lebih lama bagi ia untuk tersenyum. Entah sebab apa, ia lebih suka menyendiri dan berwajah murung," ucap ibu menjelaskan.
"Hingga suatu hari ia menemukan seorang lelaki tua di taman Tanjung Harapan, memainkan biola."
"Sejak itu, ia lebih senang bermain di sana. Mendengarkan lagu demi lagu yang dimainkan lelaki tua. Lalu mendengarkan cerita yang dikisahkan lelaki tua selepas bermain lagu yang terakhir."
"Di mana lelaki tua itu sekarang, bu?" tanya Putri Keyla.
"Ia sudah meninggal dua tahun lalu. Dan menitipkan biola itu pada pemuda bertudung hitam."
"Ah, aku paham. Terima kasih, bu. Saya ingin beristirahat."
"Kamu sudah makan, nak?"
"Belum, bu."
"Makan dulu, ibu menyiapkan sup untuk kamu."
"Baik, bu. Terima kasih sudah begitu baik terhadap saya."
"Jangan sungkan, nak. Ibu hanya tinggal sendiri di sini. Ibu senang ada yang menemani."
Mereka beranjak menuju tempat makan. Berbincang lebih banyak tentang latar belakang masing-masing. Oh, tentu Putri Keyla tidak bercerita bahwa ia adalah seorang putri Raja. Ia hanya bercerita bahwa ia tersesat dan menemukan kota Tanjung Harapan dalam perjalanannya.
Pada suapan sup terakhir, ibu baik hati berkata.
"Nama ibu Galuh. Suami ibu meninggal setahun setelah pernikahan. Ibu tak memiliki anak. Maka ibu sangat senang saat kamu ada di sini.."
"Ah, anggap saja saya sebagai anakmu, bu. Saya berbahagia bila punya ibu sebaik ibu."
"Iya, nak Keyla. Terima kasih. Ya sudah, silakan beristirahat. Semoga tidurmu nyenyak."
"Baik, bu. Selamat malam."
Perlahan, Putri Keyla beranjak. Lalu tiba-tiba, mengecup pipi ibu Galuh. "Terima kasih, bu," bisiknya lirih. Kemudian melangkah menuju kamar. Tak menyadari, bahwa ibu Galuh menangis menahan haru. Ini kali pertama bagi ia dicium pipinya oleh seorang anak. Betapa bahagianya ia ada seseorang yang menghargainya sebagai seorang ibu. Segera ia seka air matanya, lalu tersenyum.
----------
Bagaimana nona? Adakah kau mulai tersenyum mendengarkan dongeng ini? Tunggu dulu. Cerita belum berakhir, saya akan melanjutkannya kagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar