Keyla Agnita Anastashia

Aku mengerti, Keyla.
Aku sungguh paham.
Dari suratmu kemarin, aku cukup tahu bahwa kau menolakku karena aku terlalu tampan untukmu. Aku terlalu keren bagi kebanyakan orang. Kau takut apabila karena ketampananku sedang kau tengah memilikiku, kau harus sibuk menata hati sendiri untuk tetap merasa baik-baik saja saat banyak perempuan lain yang memujaku. Kau khawatir bila harus menahan cemburu yang terlalu karena...ya..kau tahu sendiri, banyak perempuan lain yang tak henti-hentinya mencari perhatianku. Mulai dari menitip salam, mengirim surat, atau bahkan bagi yang lebih niat caper, mereka membuatkanku makanan atau membelikanku hadiah.

Namun, Keyla. Bila karena ketampananku ini membuatmu khawatir dan takut, kau harus segera sadar bahwa kau tak butuh gravitasi untuk membuatku jatuh. Kau tak butuh labirin berliku untuk membuatku tersesat ke dalammu. Kau tak perlu banyak mencari perhatian untuk menjadi pusat galaksi duniaku. Mungkin buatmu berlebihan, tapi kau sangat tahu tentangku. Aku tak mungkin sebegitunya memuji perempuan bila itu bukan seseorang yang benar-benar membuatku jatuh cinta (kau harus tahu bahwa untuk menuliskan ini, aku sudah menekan hebat-hebat rasa gengsi kelaki-lakianku).

Tujuh tahun persahabatan memanglah bukan waktu yang sebentar untuk saling mengenal dan memahami sifat masing-masing, Key. Bagi otak dan kepalaku yang lebih cerdas beberapa cc darimu ini, aku sudah lebih dulu berpikir dan memperhitungkan apa-apa yang kau khawatirkan. Maka, izinkan aku meyakinkanmu kali ini, Key.

Jarak membentang antara Bandung dan Jogjakarta membuatku makin tersadar bahwa aku selalu ingin berada di dekatmu. Pada awalnya aku mengira bahwa ini hanya perasaan rindu yang biasa saja. Mungkin sebatas kangen karena tak ada lagi orang yang mau dengan ikhlas menjadi objek kejailanku semata. Tapi, toh ya namanya juga perasaan, sekuat apapun aku berpura-pura pada akhirnya aku menyerah juga. Memaknai setiap perasaan yang meletup-letup di dalam dada sebagai cinta.

Keyla, usah takut dan ragu. Persahabatan menjadi cinta bukanlah hal baru apalagi tabu. Kita akan tetap biasa-biasa saja, menjadi partner yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Bukankah menyenangkan memiliki partner yang tak hanya menjadi teman hati yang berbagi perasaan, tetapi juga sahabat dan musuh terbaik? Tak perlu pedulikan masa laluku yang dikejar-kejar banyak perempuan, toh sampai saat ini pun mereka tak pernah aku pedulikan. Aku, si lelaki tampan dan menawan ini memilihmu.

Keyla Agnita Anastahia, di akhir surat ini, aku ingin menuliskan satu puisi untukmu. Ah, kau belum tahu, ya? Si tampan ini sekarang memiliki hobi baru; menulis puisi. Jangan meledekku. Kota Bandung banyak mengubahku, salah satunya menjadi penyair amatir. Suatu hari, aku akan mengajakmu ke sini. Agar kau tahu bahwa malaikatpun pernah jatuh cinta di Bandung.


sore, lagu-lagu lampau, dan musim yang berganti terlalu dini
— keyla

/1/
sore itu, kau datang sebagai senandung pengiring hujan selepas kemarau. sementara aku petani renta yang tak berhenti mengucap alhamdulillah karena ladang—ladang kering kembali basah. kau masuk lalu duduk bersila, bertanya; ‘bolehkah aku menyanyikan lagu lain?’ aku menjawab dengan tanya; ‘bolehkah aku mendengarkan semua lagumu sampai suara kau berubah sengau?’

lalu kau tersenyum. lengkungan yang meluruskan. sesuatu yang membuat duri—duri meranggas di dalam dadaku. sebab terkadang cuaca begitu tega mempersilakan onak tumbuh melesak. ‘kalau begitu, dengarkanlah dengan saksama. jangan perhatikan hal lain, karena lagu ini tak pernah kuperdengarkan pada siapapun.’

kemudian dari bibirmu yang merah jambu mengalun lagu—lagu pateneras. nada melankolia yang mengiringi hujan dengan deras. penggalan larik kisah lampau yang membuatmu hampir mati lemas.

‘berhentilah menyanyikan kidung luka. aku adalah kecup yang diutus untuk melumat aduh di bibirmu.’ —kataku

/2/
sore itu, hujan turun deras sekali
andai kenanganmu badai
aku adalah benteng kokoh anti roboh

/3/
sore itu, cuaca berganti terlalu dini
hujan yang menghunjam deras dadamu
perlahan surut
ada binar mentari pagi dari matamu yang selalu malam

berhentilah menanak air mata
akan kuajari kau kesetiaan daun untuk tetap tumbuh
meski kerap digugurkan musim

Bandung, di antara gerimis yang merintik ritmis.
Al.


*Surat balasan ‘Jawaban Untuk Suratmu’ oleh Tiara Rismala Sari.
Selengkapnya

Kepada Seseorang Yang Sering Nongkrong Berlama-lama Di Dalam Kafe

Adalah hal yang menyenangkan duduk berlama-lama di dalam kafe. Menikmati sajian yang dipesan dengan bercengkrama dan bercanda dengan seseorang yang berada tepat di hadapan. Atau mungkin bagi yang sedikit kreatif dan romantis, berkunjung ke kafe adalah momen untuk mengungkapkan perasaan kangen dan cinta dengan kalimat-kalimat mesra nan picisan. Atau berbeda halnya dengan sekumpulan remaja paruh baya, —tak peduli sekumpulan lelaki atau perempuan—, berkumpul di dalam kafe boleh jadi adalah kesempatan untuk tebar pesona atau mencari bahan modusan. Atau bagi jomlo nan kesepian, berkunjung ke kafe hanyalah cara yang dilakukan untuk sekadar menghibur diri dari kesendirian dengan memanfaatkan wifi gratisan. Sudahlah, intinya, tak peduli apapun yang kau lakukan di dalam kafe hingga membuatmu bisa duduk di sana berlama-lama hingga larut malam atau bahkan seharian bukanlah hal yang baik bagi perekonomian.

Mengapa demikian?
Seperti ini...
Biar saya jelaskan dengan saksama. Perhatikanlah baik-baik. Dengan terbatasnya jumlah kursi yang terdapat di dalam sebuah kafe, hal ini tentu memengaruhi tingkat kuantitas pengunjung setiap jamnya. Apa yang terjadi bila kau duduk berlama-lama di dalam kafe? Ya, tentu saja kau sudah turut andil dalam mengurangi kesempatan orang lain untuk menjadi pengunjung kafe tersebut. Akibatnya, pengurangan jumlah pengunjung memengaruhi total pendapatan bagi kafe tersebut. Hal ini didapatkan berdasarkan asumsi bahwa banyaknya jumlah pengunjung yang datang berbanding lurus dengan peningkatan total pendapatan.

Dengan demikian, duduk berlama-lama di kafe sama saja dengan menutup rezeki bagi pengelola kafe. Apa yang terjadi kemudian apabila rezeki pengelola kafe berkurang? Tentu saja adalah nasib keberlangsungan kafe tersebut. Pengurangan total pendapatan akan berakibat pada menurunnya kemampuan kafe untuk menutupi besarnya biaya produksi. Untuk menutupi kekurangan dana pembayaran biaya produksi, kafe tersebut pada akhirnya terpaksa mengurangi jumlah pegawai demi menekan biaya pengeluaran dengan cara memberhentikan mereka dari pekerjaannya. Pemberhentian kerja seperti ini tentu saja akan menambah lagi jumlah pengangguran di Indonesia. Maka, dapat disimpulkanlah bahwa duduk berlama-lama di kafe sama saja dengan turut andil dalam menciptakan generasi pengangguran baru. Yang pada multiplier effect-nya adalah melemahkan perekonomian Indonesia.

Oleh sebab itu saya berpesan, kurangilah nongkrong berlama-lama di kafe bila tak terlalu perlu. Makanlah dengan waktu yang cukup. Kemudian bantu perbaiki perekonomian negeri ini dengan sesuatu yang lebih bermanfaat seperti menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Tertanda,
Pemilik kafe yang gulung tikar karena kekurangan pengunjung
Selengkapnya

Surat Dari Si Ganteng Untuk Perempuan Paling Bawel Sedunia

Teruntuk Keyla yang di dalam mulutnya terdapat selusin tim orkestra.

Kau tak bisa membayangkan bagaimana bentuk alisku yang bertautan saat membaca email balasanmu kemarin. Tapi tenang saja, sepusing apapun aku membaca surat (aku agak sangsi untuk menyebut serangkaian paragraf panjang nan melelahkan untuk dibaca tersebut sebagai surat ketimbang catatan khutbah jumat) itu, aku tetap tampan sebagaimana biasanya. Aku hanya heran. Kukira kebawelanmu hanya ada pada saat berbicara saja, ternyata pada tulisan juga. Bagaimana caranya mentransfer ilmu bawel dari dua bibirmu ke ruas jari-jari saat menulis surat itu, sampai-sampai kau seperti tak memberi jeda agar aku bisa bernapas saat membacanya?

Wahai Keyla The-Most-Talkative-Women-On-Earth. Jangan terlalu bawel sampai-sampai kau mengabsen daftar dosa yang kulakukan pada suratmu itu. Sebab, aku memiliki banyak kartu tentangmu. Yang pertama harus kau tahu tentang raibnya sendalmu itu, bukanlah karena aku yang menyembunyikannya di tong sampah. Melainkan sendalmu sendiri yang melakukan harakiri untuk menghindar dari penggunaan secara banal oleh perempuan teledor seperti kamu. Mereka lebih memilih mati ketimbang harus teraniaya oleh kakimu. Kebetulan saat itu aku melihatnya, maka dengan kebaikan hati yang begitu tulus dan perasaan duka yang mendalam, aku memakamkan mereka di tong sampah itu. Yang kedua, jangan berbicara seolah aku adalah seseorang yang paling berdosa sendiri. Kau harus mengingat (You should be!), betapa menyeramkannya kamu saat menyuruhku mencari pembalut dan obat sakit perut malam-malam pada saat kemah perpisahan sekolah hingga tersesat di kampung orang. Bayangkan Key, laki-laki setampan ini telah menjatuhkan harga dirinya hanya untuk membeli pembalut, malam-malam pula, di kampung orang pula. Aku sempat membayangkan bahwa mungkin setelah aku membayar harga pembalut pada penjaga warung itu, aku akan segera bunuh diri dan kelak akan ada surat kabar dengan headline, "Demi Menjaga Tingkat Kekerenannya, Seorang Anak Lelaki Tampan Ditemukan Tewas Bunuh Diri Setelah Membeli Pembalut" dengan tulisan yang besar-besar.

Keyla.
Mungkin, kau harus banyak belajar dariku. Selain tampan dan bersahaja, juga tetap cool saat menyampaikan apa-apa yang ingin kuutarakan. —seperti surat kemarin, misalnya.

Bagaimana bisa kau menyebut surat sepuitis dengan ilmu sastra tingkat tinggi yang kukirim kemarin itu sebagai lirik dangdut? Please, Keyla. Tak ada lirik dangdut sejujur tulisanku. Dan tak ada makna yang lebih dalam dari pada itu, bahkan kalimat-kalimat paling gombal dalam percakapan serial drama korea yang kaugila-gilai sekalipun.

Tapi, baiklah. Kali ini aku tidak akan memperdebatkan mana yang lebih puitis antara lirik dangdut, quote drama korea, atau suratku. Karena dibanding itu semua, tak ada yang lebih puitis dari seseorang yang sedang menyampaikan kebenaran.

Surat kemarin adalah kebenaran paling mutlak. Dan aku tak menemukan jawabanmu dari banyaknya hal yang kau sampaikan tentang diriku di dalam surat itu.

Aku menunggu jawabanmu.


Si Ganteng,
Al.


Ps: kulampirkan satu fotoku saat sedang berada di bukit Moko. Lihatlah, kau harus belajar untuk ikhlas mengakui bahwa aku memanglah tampan.


*surat balasan untuk Berhentilah Tiara Rismala Sari
Selengkapnya

Kategori Utama