Selamat petang, nona.
Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.
-------
Angin berembus, ditingkahi kicau nuri bersahutan. Daun-daun merunduk dihinggapi embun. Cahaya mentari masuk melalui kisi-kisi jendela. Pagi datang lagi.
Putri Keyla terbangun dari atas kasur. Kepalanya terasa pening. Sekujur badannya terasa sakit. Ngilu merambat di setiap lekuk persendiannya.
"Sudah bangun, anakku? Ibu menemui kamu malam tadi terbaring jatuh di depan rumah. Silakan makan buburnya, sudah ibu siapkan."
"Terima kasih, bu," Putri Keyla melahap bubur pelan-pelan.
Sang ibu baik hati tersebut membiarkan putri compang-comping sendirian. Sebab ia paham, itu yang putri compang-camping tersebut butuhkan.
"Anakku, jika kamu ingin membersihkan badanmu, sudah ibu siapkan handuk dan baju. Kamar mandinya ada di sebelah sana," ucap ibu baik hati sambil menunjuk ke sudut ruangan.
"Baik, ibu. Terima kasih banyak. Ah, iya. Namaku Keyla."
"Sama-sama nak Keyla. Jangan sungkan."
Maka beranjaklah Putri Keyla menuju kamar mandi, membersihkan dirinya.
Matahari meninggi. Terang telah sempurna memenuhi langit pagi. Tapi tidak di dalam hati Putri Keyla yang gelap oleh kesedihan. Selepas mandi dan berganti baju, Putri Keyla menemui ibu baik hati. Kali ini dengan senyum yang diusahakan terlihat lebih manis.
"Ibu, terima kasih sudah merawat saya semalam. Dengan kebaikan apa saya bisa membalas?"
"Aduh, anakku. Tak perlulah kau berkata seperti itu. Jangan sungkan."
"Tapi ibu baik sekali."
"Ada apa denganmu? Sepertinya baru saja melewati perjalanan yang begitu jauh?"
"Iya, ibu. Saya dari hutan. Beruntung masih bisa sampai ke kota."
"Syukurlah, jangan sekali-sekali kau coba lagi untuk bermain-main di hutan. Itu sangat berbahaya. Beruntung kau bisa selamat."
"Iya, bu. Ah, iya. Kota ini bernama apa, bu?"
"Tanjung Harapan, nak."
Putri Keyla tersenyum. Lebih tulus. Mengaminkan dalam hati. "Semoga benar ada harapan, di sini."
"Nak, bila kau sudah pulih. Silakan berkeliling kota ini. Ada satu taman paling indah di tengah kota."
"Baik, bu. Nanti saya akan ke sana. Saya ingin beristirahat dulu."
Merebahlah kembali Putri Keyla. Tak lama, ia kembali tertidur.
Mentari jatuh di ufuk barat. Lazuardi tergantikan jingga kemerah-merahan. Taman dipenuhi orang yang berlalu-lalang. Gumam-gumam perbincangan menyatu bersama derap langkah kaki. Terdengar alunan gesekan biola memecah suasana. Mengalunkan irama keceriaan bagi siapa yang mendengar. Pelan-pelan, Putri Keyla mendekati sumber suara itu.
Putri Keyla sudah bangun sejak siang tadi. Lalu berkeliling mengikuti arahan yang sebelumnya diberitahukan oleh sang ibu baik hati. Ia melewati beberapa pemukiman, pasar, dan tempat kesenian yang ada di kota itu. Hingga berakhir di taman Tanjung harapan.
Alunan gesekan biola terasa begitu merdu. Tak ada nada suara sumbang. Simfoni mengalun indah memecah kesunyian yang dirasakan Putri Keyla. Sumber suara semakin dekat. Dan Putri Keyla semakin tak sabar melihat siapa yang begitu baik memainkan biola tersebut.
Di sana, ada seorang pemuda berbalut tudung berwarna hitam. Sempurna menutupi wajahnya. Hanya matanya yang berbinar yang terlihat. Keceriaan nampak terlihat dari kedua matanya. Kepalanya miring menahan biola. Tangannya bergerak lincah memainkan gesekan dawai.
Dalam diam, Putri Keyla mematung menikmati alunan musik yang dimainkan. Lagu yang baru kali pertama ia dengar. Tapi terasa begitu dekat dan hangat.
Lagu terhenti.
Tapi dada Putri Keyla masih begitu berdebar. Menginginkan lagu berikutnya.
Tiba-tiba, Pemuda bertudung hitam berkata.
"Untuk nona dengan rona wajah bercahaya di ujung sana. Ini lagu terakhir malam ini untuk nona."
Pemuda bertudung hitam memainkan lagunya. Kali ini bernada melankolis. Ia memainkan dengan sangat khidmat. Matanya yang tak tertutup tudung hitam tertuju pada mata Putri Keyla. Putri Keyla gugup. Lalu menutup kedua matanya. Membiarkan dirinya hanyut dalam lagu bernada sendu.
Tiba-tiba, air mata menetes jatuh dari kedua pelupuk matanya. Terus menetes selama musik dimainkan.
Lagu pun terhenti.
Putri Keyla menyeka air mata dengan punggung tangannya, pelan-pelan pemuda bertudung hitam mendekatinya.
"Terima kasih, nona. Sudah mendengarkan sampai tuntas."
"Saya yang seharusnya berterima kasih, sudah memainkan lagu untuk saya."
Putri Keyla dan pemuda bertudung hitam duduk menepi di bangku panjang yang berada di pinggir taman.
"Siapa namamu, nona?"
"Keyla."
"Perkenalkan, saya Al."
--------------
Ah, tentu kau sudah tak sabar mendengar bagaimana kisah selanjutnya, nona. Tahan sabarmu. Setelah ini, saya akan menceritakan lagi bagaimana kelanjutan ceritanya.
Haruskan saya menunggu hingga malam tiba tuan? Lalu rasa penasarasan saya bagaimana?
BalasHapusSabar dulu. Sebab kisah akan segera berakhir.
Hapus