Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #8

Selamat pagi, tuan.

Begini, hari ini saya akan mendongeng untuk kamu. Sebuah dongeng sederhana yang sempat bimbang untuk menemui akhirnya. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan melanjutkan dongeng pelan-pelan.

-----------

Putri Keyla berjalan ke taman dengan langkah yang entah mengapa dirasanya terlalu riang. Ia sudah terlalu lelah memikirkan apa yang kira-kira laki-laki bertudung hitam akan sampaikan, jadi ia memilih untuk tak peduli saja walau sesekali ia menemukan dirinya ternyata telah sibuk menduga-duga.

Sesampainya di taman, ia melihat pemuda bertudung hitam sedang memainkan biolanya sambil bersandar di bangku taman. Diam. Ia tak mau bergerak. Terlalu takut merusak hal yang selama ini ia rasa begitu indah untuk ia lihat. Kombinasi pesona tiap gesekan senar biola berirama cinta dan sosok tubuhnya yang jangkung dengan tatapan mata yang meneduhkan adalah tema yang paling ia sukai pada setiap mimpi. Maka dia hanya diam di sisi taman, memperhatikan.

Pemuda bertudung hitam berhenti memainkan lagunya.
“Kenapa berhenti?” tanya Putri Keyla penasaran.
“Duduklah di sini. Jangan berdiri di sana,” ucap lelaki bertudung hitam.
Putri Keyla beranjak menuju bangku panjang, duduk diam di samping pemuda bertudung hitam.
“Mainkan lagi lagunya.”
“Dengan senang hati, nona.”
Lelaki bertudung hitam menggesek biolanya lagi sementara Putri Keyla sudah kembali larut dalam alunan nada-nada cinta.

Pemuda bertudung hitam selesai memainkan biolanya. Putri Keyla membuka matanya dan memperhatikan laki-laki bertudung hitam meletakkan biolanya ke dalam tas panjang berwarna hitam.

“Tadi lagu apa?”
“Lagu baru.”
“Apa judulnya?”
“Kepada Cinta Yang Membuatku Bahagia.”
“Hem?”
“Hahaha, iya, itu judulnya.”
“Lagunya indah.”
“Seperti kamu.”
“Ha?”
“Ya, lagu ini untuk kamu.”
“Maksudmu?”
“Begitulah.”

Belum sempat Putri Keyla memahami apa yang laki-laki bertudung hitam itu bicarakan,  tanpa di duga, laki-laki bertudung hitam membuka tudung yang selama ini menutupi wajahnya.

“Perkenalkan, saya Al.”

Putri Keyla tak menemukan cara untuk mengembalikan napasnya yang tiba-tiba hilang entah kemana. Di hadapannya, duduk seorang pemuda bermata bulat berwarna coklat, dihiasi bulu mata yang lentik dengan rambut lurus yang hitam legam. Dahinya tertutup sebagian rambutnya. Pemuda itu tersenyum. Menambah kebekuan yang menyelimuti tiap jengkal tubuh Putri Keyla.

“Hai, kenapa melamun? Ini aku. Lelaki yang selama ini menemani kamu.”
“Engh.. Iii iya.”
“Sudah tidak penasaran?”
“Iya.”
“Syukurlah.”
“Tapi kenapa kau membuka tudungmu?”, tanya Putri Keyla penasaran.
“Karena aku pikir inilah waktu yang tepat.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menunjukkan wajahku kepada ia yang kupilih. Yang membuat hatiku jatuh.”
“Aku?”, Putri Keyla menunjuk dadanya sendiri.
“Siapa lagi?”
“Hem?”
“Iya. Kamu. Keyla.”

“Hem.”

“Lalu bagaimana?”

“Apanya?”

“Aku sudah jujur terhadapmu. Juga menunjukkan wajahku yang sebenarnya. Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”

Penerangan taman Tanjung Harapan padam. Angin berhembus kencang. Meniup lentera-lentera yang menggantung di pepohonan. Suasana taman begitu remang. Cahaya muncul hanya dari bintang gemintang berkerlap-kerlip di atas langit, juga bulan yang bersinar purnama. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh taman.

————–

Bagaimana, tuan? Sudahkah kau menikmati ceritanya?

Ada yang lebih menarik setelah ini. Nanti akan kuteruskan.


*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kategori Utama