Aduh, Dek!
Aku, Kau, dan Perdebatan Tentang Jika
Lelah Itu
- Lelah itu mungkin seperti membesar-besarkan hati dengan harapan-harapan hampa. Hanya agar angan tetap terjaga. Meski sebenarnya tiada juga.
- Lelah itu mungkin seperti mengemas rintik hujan di pelupuk mata berkali-kali. Sementara ia tak pernah peduli.
- Lelah itu mungkin seperti menaruh kepercayaan penuh, sementara ia mengecewakanmu tak pernah jenuh.
- Lelah itu mungkin seperti bertahan pada setiap pelukaan. Berharap yang dicinta kembali memuliakan. Meski sebenarnya tak bisa dijanjikan.
- Lelah itu mungkin seperti menahan debar rindu sendiri. Sementara ia yang begitu amat dirindukan sama sekali tak menyadari.
- Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar menjaga kesetiaan. Berusaha bertahan dalam kenangan, meski sebenarnya ia telah jauh meninggalkan.
- Lelah itu mungkin seperti membela ia yang membuat luka. Hanya agar kau tak mau ia dianggap buruk, meski hatimu sebenarnya mengiyakannya.
- Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar dalam mempertahankan perasaan. Sementara ia masih begitu setia melakukan pelukaan.
- Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar untuk menunggu. Berusaha menahan perasaan saat mencintai diam-diam.
- Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang menggigil kedinginan. Menghadapi pengabaian dalam cinta diam-diam.
- Lelah itu mungkin seperti menunggu seseorang yang begitu dirindukan. Sementara ia tak pernah tahu ada kau yang diam-diam memperhatikan.
- Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang sudah pekat dan membiru. Sementara waktu tak berbaik hati dalam memberi kesempatan untuk temu.
Lelah itu mungkin seperti…. memperjuangkan cinta sendirian.
Sore di Stasiun Lempuyangan
Lucu sekali. Waktu berhenti saat menanti. Lantas berlari saat sua menghampiri.
Lima hari menjadi sedemikian cepat bagi kita yang ingin menuntaskan rindu. Ingin rasanya kubunuh waktu dari perputaran jam, agar bisa membingkai setiap kenangan dengan sebaik-baiknya ingatan. Padahal untuk bisa sampai ke kotamu, butuh waktu yang cukup lama untuk menentukan jadwal keberangkatan.
"Sedih?" tanyaku saat kita duduk di deretan tangga dekat pintu stasiun.
"Tidak."
"Sedih?" kuulang pertanyaanku, demi melihat matamu yang sudah berkaca-kaca.
"Tidak," kau tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Bohong. Sedih?" cecarku tak mau kalah.
Akhirnya kau menyerah. Mengganggukan kepala.
"Tentu saja aku sedih. Tapi bila aku menangis di hadapanmu, aku takut membuatmu luka," katamu melanjutkan.
"Tak apa. Tunjukkan saja kesedihanmu. Jangan berpura-pura. Aku ingin melihat sejauh mana keinginanmu untuk tetap berada di sisiku."
Kau menunduk. Memainkan jemariku dalam genggamanmu.
Duhai perempuan, kalaulah kau tahu betapa aku ingin memelukmu saat itu. Menenangkan setiap geliat resah yang berkecamuk di dalam dadamu. Menciptakan lagi satu simpul senyum dengan keyakinan bahwa aku pasti kembali. Membawakan lagi rindu yang merintih, menuntaskan keinginan untuk mengutuhkan perasaan. Tapi waktu tak pernah setia untuk menanti. Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah. Menampar kenyataan bahwa dalam setiap kedatangan akan selalu ada kepulangan.
Maka, —saat itu—, entah dengan entah keberanian apa, aku merapatkan posisi duduk. Lalu berbisik pelan di telingamu, "Rindu pada akhirnya akan membawaku ke sini, atau menunjukkan jalan bagimu untuk ke sana. Agar kita, —aku dan kau—, selalu bersama. Dalam cinta."
Kau tersenyum. Satu lengkung yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta.
"Untuk setiap depa per depa jarak yang membuat kita jauh. Percayalah, aku adalah doa yang mendekapmu saat kau hampir jatuh. Jaga rindumu baik-baik, aku pasti kembali. Aku mencintaimu."
Kau merunduk. Ada kesedihan mengekor di kedua pelupuk matamu. Tak lama berselang, air mata menitik pelan dari ujung matamu.
"I'm waiting,"
Kau diam.
"I'm waiting..." ucapku lagi sambil menunjukkan telinga.
Kali ini kau tertawa, lalu berujar lirih, "Aku cinta kamu."
Sesederhana itu.
“Terima kasih telah menjenguk rindu-rinduku yang pesakitan. Terima kasih telah berbesar sabar dan berjuang. Terima kasih untuk setiap tawa dan bahagia yang kau berikan,” ucapmu sambil memainkan jemariku dalam genggamanmu.
Aku diam. Kau diam.
Membiarkan rindu mematikan kegelisahan diam-diam. Mengizinkan jemari menceritakan keresahan dengan saling menggenggam.
"Aku selalu menyukai saat tidur di pangkuanmu, dengan kamu yang tak pernah lupa memainkan anak rambutku," kataku memecah keheningan.
"Sebab itulah aku tak memotong rambutku. Agar kau bisa merapikannya tiap kali aku merebah lelah di pangkuanmu. Coba deh, kamu lihat, berantakan banget kan rambutku?" aku melanjutkan sambil mengacak-acak anak rambutku.
"Astaga.. capernya kamu.."
Lalu dengan belai manja, kau rapikan lagi rambutku.
Kau tahu? Itu hanya caraku membuatmu tertawa. Sendumu terlalu kentara saat itu. Berat rasanya meninggalkanmu dengan kesedihan yang masih menyisa. Seperti ada beban yang menimpaku di balik punggung, seolah menyuruhku agar tetap berada di situ. Menenangkanmu.
"Sudah pukul 16.20, keretaku berangkat pukul 16.30. Aku harus masuk," kataku.
Lalu kau mengangguk. Beranjak dari duduk dan menggenggam tanganku, kali ini terasa lebih erat. Mungkin karena kau tahu waktu kita untuk bersama tidak lama lagi.
"Kapan kita akan berhenti berhubungan jarak jauh?" katamu sambil menangis. Pelupuk matamu tak kuat membendung air mata yang sudah sedari tadi kau tahan.
"Nanti, setelah aku lulus kuliah. Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Kau tenanglah. Tunggu aku," kataku sambil memeluk dan mengusap pelan punggungmu.
Dan kita saling melepaskan pelukan. Melambai mengucap salam perpisahan.
Aku melangkahkan kaki. Pelan-pelan mendekati kereta yang sudah menunggu. Menoleh sekali lagi untuk melihatmu lalu tersenyum. Meninggalkanmu dengan rindu yang belum tuntas sepenuhnya. Mempersilakan lagi jarak untuk memperdaya cinta yang kita perjuangkan bersama.
Kita harus saling belajar memendam rindu. Menimbun setiap resah yang mengikis mimpi. Hingga kita sama-sama membenci kesepian.
Teruntuk perempuan yang membuatku betah merebah lelah di pangkuannya. Ajari aku kesetiaan senja untuk kembali datang, meski malam kerap menyuruhnya pulang.
Aku sayang kamu.
Berujar Tentang Proses
Kau Datang Saat Aku Sedang Merasa Teramat Kesepian
Aku pernah merasa sepi.Lalu kau datang saat aku sedang merasa teramat kesepian.
Sejarah Pergerakan Move On
Lelaki, Perempuan, dan Perbincangan Tentang Memperjuangkan
"Lalu kau ingin aku bagaimana?" tanya si lelaki.
"Aku ingin, Re. Sungguh."
"Bagaimana caranya?"
"Ayo kita rencakan pembunuhan suamiku. Buat ia mati seolah-olah karena kecelakaan. Aku tak kuat lagi merasakan tekanan yang selalu dia berikan. Hatiku hancur menerima perlakuan buruknya. Seolah aku hanya sekadar boneka mainan. Ketika butuh ia dekati, lantas membuangnya saat merasakan bosan. Aku ingin dimuliakan, sebagaimana kau memperlakukanku sebagai perempuan. Ayo, Bob, kita bunuh saja dia," perempuan itu melanjutkan pembicaraannya sambil terisak. Dadanya sesak oleh perasaan amarah yang bergemuruh.
Tik tok jarum jam terdengar dengan lantang. Seisi kamar dipenuhi sunyi dan lengang.
Jaga Rindumu Baik-baik
Kira-kira, hal apa yang akan kau lakukan nanti? Aku sudah siap bila memang kau ingin menyubit pinggangku dengan gemas. Beberapa hari kemarin, aku sengaja mempersiapkan diri agar pinggangku tahan cubitan. Kau tahu apa? Aku melingkarkan sabuk dari besi selebar lima inchi, agar ketika jemarimu mulai bergerak untuk menyubit, justru kaulah yang akan merasakan sakit. Hahahaha
Tidak. Bercanda. Memangnya aku Iron Man, si manusia besi yang kau idola-idolakan itu?
Aku tahu bahwa jarak membuat rindu terasa sulit. Tapi tenang saja, jalani saja dengan kesetiaan yang tabah. Pada akhirnya, seberapa jauhpun jarak membentang, kita mampu melipatnya dalam saku celana. Aku rindu. Kau rindu. Jadi sama saja. Tak perlu mengkhawatirkan dengan terlalu. Toh pada akhirnya, semua rindu berdebar yang meletup-letup di dalam dada akan lenyap seiring sua. Begitulah sederhananya. Sesederhana cinta yang kita jaga bersama.
Aku sedang dalam perjalanan untuk mempertemukan rindu.
Lelakimu.
Untuk Perempuan Kesayangan
Similina; Alles Komt Goed
Suatu pagi yang hangat. Mentari bersinar gagah di ufuk timur. Dedaunan bergesekan tertiup angin sayup-sayup. Nuri berkicau bersahutan tak henti. Awan-awan biru berarak menuju lautan.
Simfoni kedamaian alam paling puitis. Sekiranya, itulah gambaran suasana pagi di negeri Similina. Panorama gunung yang tegak berjajar dikelilingi pepohonan. Juga hijau rimbun daun semakin membuat suasana begitu sejuk dan damai. Tapi yang paling mengesankan di negeri Similina ini adalah rakyatnya yang selalu tersenyum.
Negeri Similina dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Rismala. Ratu Rismala memiliki rambut hitam kemilau, tergerai dari kepala hingga ke bahu. Mahkota dari zamrud semakin mempercantik dirinya. Kian jelita dengan mata cokelat bulat yang selalu terlihat ceria. Tapi semua pesona kecantikannya, tidak lebih indah dibanding senyum yang selalu menghiasi bibir merah delima miliknya.
Tiada yang lebih indah dibanding senyum milik Ratu Rismala, termasuk rakyat Negeri Similina. Pernah suatu kali Ratu Rismala ke luar istana kerajaan untuk melihat langsung kehidupan rakyatnya. Sepanjang perjalanan ia mengulas senyum. Membuat tenang siapa saja yang melihatnya. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan." kata Ratu Rismala saat ada salah satu rakyatnya yang menceritakan kesedihannya.
Sejak saat itu, semua rakyat sepakat untuk selalu tersenyum pada hal apa saja yang mereka terima. Negeri Similina dipenuhi kedamaian. Tak pernah terlihat kesedihan. Sebab dalam setiap nestapa, senyum menjadi penawar atas setiap luka.
Hingga suatu hari semua keadaan berbalik. Negeri Similina mengalami kemarau panjang. Dedaunan layu terpapar sinar mentari yang menyengat dan membakar. Pepohonan mati dimakan rayap-rayap. Ladang-ladang kekeringan. Tak ada lagi suara nuri saat pagi, burung-burung beranjak pergi sebab tak ada lagi makanan di hutan. Sendu tergambar dari setiap gurat wajah rakyat. Negeri Similina dipenuhi kecemasan.
Namun, dari semua wajah yang dihinggapi kecemasan. Tak ada yang lebih menyayat hati, selain sendu dari wajah Ratu Rismala. "Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum, sementara keadaan memaksa siapa saja untuk memasang wajah-wajah murung. Bagaimana bisa ceria, sementara rasa lapar dan dahaga begitu fasih mengajarkan derita." batin Ratu Rismala.
Tapi bagi cinta. Setiap nestapa hanya cara. Menyuruh berbenah untuk selalu tabah.
Tuhan memahami keadaan yang menimpa Negeri Similina. Dia tak akan menurunkan ujian melebihi kesanggupan. Maka, dalam suatu malam, Ia menyuruh malaikat kecilnya untuk masuk ke dalam mimpi Ratu Rismala.
Malaikat kecil mengajak Ratu Rismala bermain di sebuah taman hijau maha luas. Membiarkan Ratu Rismala berlarian menikmati desau angin yang berembus memainkan anak-anak rambutnya. Hingga saat Ratu Rismala mulai merasa letih bermain-main, malaikat kecil berkata, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."
Ratu Rismala tersontak bangun dari tidurnya dengan menangis sesenggukan. Ia menyadari ada yang salah dengan sikapnya selama ini. Maka, bergegaslah ia menuju penjuru negeri. Pada sebuah menara di sudut negeri, Ratu Rismala berseru memanggil rakyat Negeri Similina. Rakyat berduyun-duyun menuju menara. Di sana, Ratu Rismala berseru lantang. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."
Lalu tersenyumlah Ratu Rismala, senyum pertama sejak nestapa memenuhi langit Negeri Similina. Senyum yang lebih rona dan berseri dari sebelumnya. Rakyat menangis haru. Bergetar hati mereka melihat keteguhan hati Ratu Rismala. Segera mereka seka air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Lalu mencoba tersenyum dengan segala keteguhan dan ketabahan hati yang mereka punya. Langit Negeri Similina benderang dengan sinar wajah tersenyum dari seluruh rakyatnya. Semesta menjadi saksi. Atas keteguhan hati. Ketulusan untuk tetap tersenyum seberapa berat pun permasalahan yang dihadapi.
Langit bergemuruh. Angin berembus dengan kencang. Awan-awan kelabu berarak menuju Negeri Similina. Langit beranjak mendung. Sedetik kemudian, bulir air jatuh satu-satu. Hujan berderai di Negeri Similina. Wajah-wajah basah dibasuh hujan. Rakyat Negeri Similina menangis sesenggukan. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan," mereka mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam hati.
Hujan berderai sepanjang hari. Tanah-tanah basah. Dedaunan tumbuh dengan rimbun. Negeri Similina kembali hijau dengan tenang dan damai. Tak ada lagi sendu, sebab senyum selalu mampu menghapus seringai murung. Ratu Rismala memandang lazuardi, dengan senyum berujar lirih, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."
____________
*Alles komt goed: Semua akan baik-baik saja.
Dari sebuah kisah mendadak, yang dibuat untuk membuat nona Tiara Rismala tersenyum.
Oleh Galih Hidayatullah.
Kepada Ibu Bapak yang di Hatinya Ada Surga
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatanmu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang kau bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”
Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah
Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski hidupmu kian lamur
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap gelak gemetar bibirmu saat berkata, “Maaf nak, sabarlah dahulu. Minggu depan uang saku akan segera kami kirimkan. Kau pinjam dulu dengan sahabatmu, nanti akan segera kami ganti. Kami sedang berusaha di rumah.”
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh
Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia
Saat kau berteriak bangga
Kepada siapa saja
“Perkenalkan, ini anak saya.”
Galih Hidayatullah
Depok, 22 November 2013
___________________
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk Wisuda 8 STEI SEBI.
Aku Rindu Kamu
Saat rindu, kenangan begitu usil menggoda. Mengundang berbagai macam ingatan yang mengulas tawa. Hingga tak jarang menyisakan air mata -pada akhirnya.
Kau tahu? Malam ini, aku mengenangmu, -lagi. Menghadirkan setiap ingatan-ingatan sederhana tentang kebersamaan kita. Tentang genggam tangan yang erat bersandingan dalam setiap langkah perjalanan. Tentang pelukan-pelukan kecil dalam melewati gigil yang ditawarkan hujan. Tentang lagu-lagu yang mengalun pelan mengusir segala sendu saat tangismu sesenggukan. Tentang belai manja tanganmu yang memainkan setiap anak-anak rambutku yang berantakan. Ah, aku rindu kamu. Aku rindu kita.
Aku rindu kamu. Sepekat dedak kopi yang mengendap di dasar gelas-gelas kopi. Setebal ingatan yang mengukung kepala. Sebanyak debar yang menggema di dalam dada.
Aku rindu kamu. Sesederhana itu.
Perjumpaan dan Perbincangan Tentang Kenangan
"Seperti aku memaknai kamu."
"Maksudmu?"
"Tak ada yang benar-benar sendirian. Bahkan kesepian mengakrabi dirinya sendiri dengan kenangan."
Namira mengernyitkan kening. Tak mengerti apa yang kusampaikan. Sore ini, kami melakukan pertemuan, di sebuah cafe di bilangan Kemang. Aku mengunjungi kotanya, setelah sekian lama menanti waktu perjumpaan saat jarak memaksa kami untuk berjauhan.
"Aku tak mengerti. Bahasamu terlalu tinggi," kata Namira menyelak ucapanku.
"Begini Namira, kenangan itu mungkin seperti lembar foto yang kau simpan rapi dalam album-album galeri. Selama kau menjaga dengan baik, ia akan tetap berada di sana, bersama dengan cerita yang ada di baliknya. Semisal kau sedang sendirian, pikiranmu akan mengawang jauh, menuju cerita-cerita di balik kelebat gambar yang kau lihat. Seperti itulah."
"Lalu bagaimana caramu dalam menjaga kenangan itu?" tanya Namira melanjutkan.
"Kalau aku, ya menyimpan kenangan itu dengan rapi. Merawatnya dengan sangat baik. Mengantongi kuncinya agar sewaktu-waktu dapat membuka. Sebab karena kenangan itulah aku bisa berada di sini."
"Hmm.."
"Begini.. Contoh sederhananya, di ponsel kita masing-masing ada berbagai momen yang kita abadikan dalam galeri-galeri foto. Karena itu adalah bagian dari kenangan, maka sebisa mungkin aku akan menjaganya dengan baik. Melihatnya sesekali untuk sekadar tertawa dan tersenyum dalam menikmati cerita-cerita yang ada di sana."
"Hahaha, kau bawel sekali sore ini, Za."
"Kau banyak bertanya."
"Tapi pertanyaanku sederhana."
"Jawabannya tak sederhana, Namira."
"Iya, Reza. Jangan marah. Aku menikmatinya kok. Aku suka melihat wajah seriusmu. Memikati setiap inci dahimu yang berkerut saat berbicara. Aku suka kamu."
"Hm.."
"Duh, gitu aja ngambek."
"Ah, kau ini menyebalkan sekali, ya. Suka sekali membuat aku senyam-senyum sendiri." Aku menghela napas. Tersenyum. Mengalah.
"Eh, anyway, Ra, aku baru beli gadget terbaru. Sepertinya cocok untuk memaknai setiap momen dan kenangan." Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas.
"Ponsel apa, Za?"
"Nih, Samsung GALAXY Ace 3. Pas untuk dipakai orang-orang yang antusias dalam mengabadikan momen-momen terbaik yang terlewati."
"Iya, kah?"
"Iya, aku suka fitur yang ditawarinnya."
"Emang apa aja?" tanya Namira, mulai antusias. Aku melihat binar di matanya.
"Di ponsel ini, ada fitur Sound and Shot, kemampuan menambahkan suara pada foto, sehingga momen yang ditangkap bisa semakin kaya. Kamu bisa menceritakan ceritam menjadi lebih seru. Ada juga fitur Best Shot, kemampuan kamera untuk melakukan burst shot, lalu memilih foto yang terbaik secara otomatis," jawabku pelan-pelan, sambil menyodorkan ponselnya ke tangan Namira.
"Jadi kalau aku foto, bisa sekalian nyimpen suara di fotonya dong, ya?"
"Hahaha iya, semisal kau foto aku sekarang. Kau bisa menambahkan pesan suara di foto itu. Agar ketika kelak kamu kangen aku, bisa mengingat momen ini dengan melihat foto dan mendengar cerita yang ada di fotonya," kataku menanggapi pertanyaannya.
"Asik, ya?"
"Nah, makanya aku bilang cocok buat kamu. Termasuk buat kita yang berjauhan kayak gini. Jadi, rindu kita bisa menjadi semakin semarak dengan adanya foto-foto bersuara. Hahaha," lanjutku sambil tertawa.
"Ah, kamu. Kangen yang biasa aja udah bikin aku kelimpungan, apa lagi kalau semakin semarak." Namira menghela napas, lalu memasang wajah cemberut. Wajahnya yang merona, terlihat semakin lucu.
"Kalau kangen, ya tinggal chat, atau kepoin aku di socmed. Kan di ponsel itu social media-nya bisa diinstall secara lengkap, mulai dari twitter, path, instagram, sampai vine, semua jalan lancar karena prosesor dual core yang bikin aplikasi jadi berjalan mulus."
"Kamu kayaknya cocok jadi sales deh, Za. Paham banget kayaknya," kata Namira usil.
"Hahaha, ya kan aku ngasih tahu kamu, Ra. Biar kamu paham bagaimana cara memilih ponsel sesuai kebutuhan kamu."
"Iya, Reza. Aku juga emang lagi pengin beli ponsel baru. Tapi ya gitu, uangnya belum cukup. Pasti mahal kan ini ponselnya, Za?"
"Nggak kok. Harganya terjangkau. Buktinya tabunganku masih cukup untuk biaya ke kota kamu," kataku sambil memasang wajah seringai.
"Emang berapa harganya?"
"2.1 jutaan kok. Dengan harga segitu, kamu bisa main ponsel dengan S Voice, mesin assistance penjalan perintah berbasis suara. Suara renyahmu yang aku suka itu bisa nyuruh ponsel menjalankan perintah. Asik kan?" kataku mulai merayu Namira agar menggunakan ponsel yang baru saja kubeli.
"Hahahaha.. Iya deh.. Aku jadiin list untuk ponsel yang harus kubeli."
"Iya, Ra."
Cafe riuh oleh dengung-dengung suara perbincangan pengunjung. Dan kami, masih asik melanjutkan percakapan.
"Jadi.. Apa yang kau tahu tentang kenangan, Ra?" aku bertanya balik.
"Heu?"
"Iya, bagaimana cara kau memaknai kenangan?"
"Dengan duduk bersamamu. Membuat cerita-cerita lucu. Menciptakan momen-momen indah. Membuat ingatan-ingatan baru. Agar kelak, aku bisa menikmatinya sebagai sekelebat gambar yang mengisahkan cerita-cerita bahagia."
"Aku sayang kamu, Ra."
"Aku sayang kamu, Za."
Petang beranjak temaram. Dan kami, semakin larut dalam menuntaskan kerinduan.
Samsung Galaxi ACE 3 |
* Untuk informasi lanjutan tentang fitur Samsung Galaxy Ace 3, silakan kunjungi laman di bawah ini
1. http://www.samsung.com/id/consumer/mobile-devices/smartphone/galaxy/GT-S7270UWAXSE
2. http://www.samsung.com/id/consumer/mobile-devices/smartphone/galaxy/GT-S7270UWAXSE-features
3. Video Samsung GALAXY Ace 3: Bantu Joni Sekarang Untuk Pindah ke Smartphone Beneran!
Selepas Kepergian
Lelaki Yang Diam-diam Mencinta
Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #10 (Sebuah Awal Dari Babak Baru)
Selamat siang, tuan.
Pendongeng kembali. Maaf membuatmu menunggu lama. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan. Ah, tapi tunggu sebentar, tuan. Maukah kau berjanji untuk tetap baik-baik saja apapun yang terjadi pada akhir dongeng ini? Baiklah, cukup kau jawab di dalam hati. Mari kita sama-sama melanjutkan dongeng ini.
------
Pemuda itu kembali mengeratkan pelukannya.
“Nona..”
“Hm?”
“Jika kau membenci bulan, lalu apa yang kau suka?”
“Bintang”
“Mengapa?”
Putri Keyla menghela napas di dada pemuda itu.
“Dulu, ayahku pernah membangunkanku tengah malam, menunjukkan satu bintang. Sangat terang. Ia bilang itu adalah Venus. Hanya muncul tiap 200 tahun sekali..”
“Hmm..”
“Bintang mengajarkanku bahwa yang tak terlihat bukan berarti tak ada. Bintang Venus itu tetap ada, Al.. Hanya saja ia tak memperlihatkan diri. Ia tak pernah lelah melihatku dari atas sana dan tak pernah ingkar janji untuk kembali lagi. Meski dalam kurun waktu yang lama.”
Pemuda itu diam. Memandang langit penuh gemintang.
“Al.. Kau mau melihat Venus?”
“Ya.”
“Kau tahu dimana letaknya?”
“Tidak.”
“Maka hiduplah bersamaku sampai 200 tahun lagi. Sebab hanya aku dan ayahku yang tahu dimana letak Venus saat ia menunjukkan dirinya”
Seperti menemukan permukaan air saat tenggelam, dada pemuda itu berdebar tak karuan. Seperti tersiram air es, ia tak pernah merasakan degup sesejuk saat itu.
“Al..”
“Hm?”
“Mengapa dadamu begitu berdebar?”
Pemuda itu diam. Melirik Putri Keyla yang rupanya menyembunyikan senyum di dadanya.
“Dengar baik-baik nona, ada namamu dalam degupnya”
Putri Keyla mencubit punggung pemuda itu. Mereka tertawa, masih sambil berpelukan.
“Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”, pemuda itu mengulang pertanyaanya lagi.
“Jika berdamai dengan masa lalu berarti siap jatuh cinta lagi meski aku tahu kesedihan akan menghampiriku, maka aku sudah benar-benar berteman akrab dengan masa lalu.”, jawab Putri Keyla.
“Aku jatuh dalam semestamu, Al.”
“Aku pun, Key.”
Hening menyelimuti mereka lagi.
“Boleh aku membuatmu tak membenci bulan lagi?”, tanya pemuda itu sambil melepaskan pelukannya. Ia memandang Putri Keyla yang tampak lucu karena kebingungan.
“Bagaimana caranya?”, tanya Putri Keyla.
“Begini..”
Pemuda itu berdiri dan menarik tangan Putri Keyla hingga ia ikut berdiri di hadapannya.
“Tutup matamu, jelita”, pintanya.
Putri Keyla menurut. Ia menutup matanya.
Lalu pemuda itu mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Putri Keyla. Lalu tangan kanannya menarik dagu Putri Keyla dan mengecup bibirnya dengan lembut sementara tangan yang lain melingkar di pinggang Putri Keyla dan menariknya ke dalam pelukannya.
Putri Keyla terkejut namun tak menarik diri. Ia justru membiarkan dirinya menikmati lembut bibir pemuda itu sambil terus memejamkan matanya. Balas mengecup.
Saat ia membuka matanya, menengadah ke atas, purnama sedang tersenyum di balik kepala pemuda itu. Lalu ia memejamkan mata kembali, balas mengecup lagi, sambil tersenyum.
Mereka menyudahi ciuman itu dengan kembali duduk di bangku taman dengan berpelukan, memandang langit malam dan mendengar masing-masing harmoni cinta dari masing-masing debar mereka.
“Aku tak pernah suka purnama. Tak pernah.. Sebelum hari ini. Sebelum aku memandangnya bersamamu”, ucap Putri Keyla di dada Al.
Al mengecup lembut puncak kepala Putri Keyla.
“Aku pun..”, bisiknya.
Malam itu semesta bertepuk tangan. Gemintang menyulang gelasnya. Angin melagukan cinta. Dan bulan.. Akhirnya purnama di waktu yang tepat.
———
Tuan..
Maafkan pendongengmu ini yang baru mampu menyelesaikan dongeng Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam hari ini. Terimakasih untuk setiap sabar darimu yang menyabarkan.
Pendongeng dan Putri Keyla jatuh telak dalam keindahan hatimu.
Terimakasih, Al.
Sudah menunggu, menyimak dongeng ini dan mendengarkan cerita-cerita lain dengan begitu sabar.
Dari aku, perempuan yang jatuh cinta pada kesabaranmu.
Key.
Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #9
Selamat pagi, tuan.
Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.
--------
Pemuda itu masih menatap Putri Keyla, mengharapkan segala hal baik akan terjadi, mendoakan setiap kemungkinan bagi hatinya yang rupanya telah jatuh terlalu dalam tanpa pernah ia sadari.
Putri Keyla diam. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Lalu ia menengadah, memandang bulan. Mendesah.
“Kau tahu? Aku selalu benci bulan”, ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit.
Pemuda itu ikut memandang bulan.
“Mengapa?”
“Sebab ia tak pernah purnama di waktu yang tepat”
Hening menyelimuti mereka. Yang mereka dengar hanya sayup-sayup suara daun yang sengaja dibawa angin serta napas masing-masing.
“Aku pernah begitu jatuh cinta, namun purnama tak pernah menemaniku. Saat aku terluka, tiba-tiba ia datang seperti sebuah bahak yang menyakitkan”, gumam Putri Keyla.
Pemuda itu tersenyum.
“Al..”, panggil Putri Keyla.
Rasanya aneh, baik di telinga pemuda itu maupun di telinga Putri Keyla sendiri. Tapi keduanya sama-sama menyukainya. Putri Keyla senang menyebutkan nama pemuda itu, dan pemuda itu tak keberatan namanya disebut oleh perempuan di sampingnya.
“Ya, nona Keyla?”
“Kau bilang, aku tak boleh berlari dari kesedihan sebab ia pasti tetap akan menemukanku.”
“Iya.”
“Jadi aku berdamai dengan masa lalu..”
Pemuda itu diam. Memperhatikan wajah Putri Keyla. Anak-anak rambut yang ditiup angin beberapa kali nakal menjamah pipinya. Pemuda itu sekuat hati menahan diri untuk tak merapikannya.
“Aku begitu terluka hingga tak tahu lagi harus pergi kemana. Lalu aku bertemu kau. Al, pernahkah kau merasa bahwa semesta rupanya mau berbaik hati menukar kehidupan-kehidupan yang hancur berantakan?”
“Hem..”
“Sederhananya, Al. Aku menemukan kehidupanku yang lain saat bertemu pandang pertama kali denganmu”
Pemuda itu menahan napas. Masih memandang wajah Putri Keyla yang menerawang.
“..Tapi kemudian aku ragu, Al. Sebaik itukah semesta padaku? Sebab yang aku tahu aku terlalu terluka karena semesta mengkhianati setiap setia yang aku jaga. Semesta.. Mengirimkanku hati yang salah..”
Suara Putri Keyla bergetar. Ada bening yang berlinang dari sudut matanya, merambat pelan menjamahi pipinya, berkilau tersiram sinar purnama.
“Aku sempat marah pada diriku sendiri karena percaya pada apa yang semesta tawarkan, Al. Keindahan. Aku tertipu”, kali ini suara Putri Keyla hampir tak terdengar. Matanya telah basah oleh hujannya sendiri.
Pemuda itu diam. Sesak.
Lalu dengan perlahan, ia menghapus air mata Putri Keyla, mengusap kepalanya dan menariknya ke dalam pelukannya. Ia biarkan Putri Keyla menangis sesenggukan di dadanya. Ia memejamkan mata, berdoa semoga segala luka yang menimpa perempuannya musnah.
Putri Keyla telah kehabisan air matanya. Dada pemuda itu telah basah. Dalam peluknya, Putri Keyla bertanya.
“Mau sampai kapan kau memelukku?”
Pemuda itu membuka matanya. Diam sejenak.
“Sampai kau tenang, nona”
“Aku sudah tenang”
Pemuda itu meregangkan pelukannya.
“Jangan!”, cegah Putri Keyla.
“Tetaplah seperti ini.. Sebentar lagi. Lebih lama lagi..”, pintanya.
————–
Ah.. Kau pasti kesal saya memotong ceritanya lagi, tuan.
Bersabarlah.. Saya sedang bersiap untuk menceritakan sepotong kisah yang mengakhiri rangkaian dongeng ini. Duduk dan tenanglah, tuan.
*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/
Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #8
Selamat pagi, tuan.
Begini, hari ini saya akan mendongeng untuk kamu. Sebuah dongeng sederhana yang sempat bimbang untuk menemui akhirnya. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan melanjutkan dongeng pelan-pelan.
-----------
Putri Keyla berjalan ke taman dengan langkah yang entah mengapa dirasanya terlalu riang. Ia sudah terlalu lelah memikirkan apa yang kira-kira laki-laki bertudung hitam akan sampaikan, jadi ia memilih untuk tak peduli saja walau sesekali ia menemukan dirinya ternyata telah sibuk menduga-duga.
Sesampainya di taman, ia melihat pemuda bertudung hitam sedang memainkan biolanya sambil bersandar di bangku taman. Diam. Ia tak mau bergerak. Terlalu takut merusak hal yang selama ini ia rasa begitu indah untuk ia lihat. Kombinasi pesona tiap gesekan senar biola berirama cinta dan sosok tubuhnya yang jangkung dengan tatapan mata yang meneduhkan adalah tema yang paling ia sukai pada setiap mimpi. Maka dia hanya diam di sisi taman, memperhatikan.
Pemuda bertudung hitam selesai memainkan biolanya. Putri Keyla membuka matanya dan memperhatikan laki-laki bertudung hitam meletakkan biolanya ke dalam tas panjang berwarna hitam.
Belum sempat Putri Keyla memahami apa yang laki-laki bertudung hitam itu bicarakan, tanpa di duga, laki-laki bertudung hitam membuka tudung yang selama ini menutupi wajahnya.
“Perkenalkan, saya Al.”
Putri Keyla tak menemukan cara untuk mengembalikan napasnya yang tiba-tiba hilang entah kemana. Di hadapannya, duduk seorang pemuda bermata bulat berwarna coklat, dihiasi bulu mata yang lentik dengan rambut lurus yang hitam legam. Dahinya tertutup sebagian rambutnya. Pemuda itu tersenyum. Menambah kebekuan yang menyelimuti tiap jengkal tubuh Putri Keyla.
“Hem.”
“Lalu bagaimana?”
“Apanya?”
“Aku sudah jujur terhadapmu. Juga menunjukkan wajahku yang sebenarnya. Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”
Penerangan taman Tanjung Harapan padam. Angin berhembus kencang. Meniup lentera-lentera yang menggantung di pepohonan. Suasana taman begitu remang. Cahaya muncul hanya dari bintang gemintang berkerlap-kerlip di atas langit, juga bulan yang bersinar purnama. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh taman.
————–
Bagaimana, tuan? Sudahkah kau menikmati ceritanya?
Ada yang lebih menarik setelah ini. Nanti akan kuteruskan.
*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/
Artikel Acak
Followers