Gunung, Awan, dan Rindu Terabaikan

Selamat pagi, Key.
Saat menulis surat ini, aku sedang duduk di depan jendela, sambil menyeruput kopi hitam yang kuseduh dengan setengah sendok gula. Aku suka minum kopi pahit, teguk demi teguk kopi yang menelusup ke dalam kerongkongan sejenak mengingatkan bahwa masih banyak hal manis di dunia. Termasuk kamu.

Kejutan selalu menyenangkan, Key. Itu yang aku tahu sejak membaca cerita tentang hadiah ayahmu saat kau berulang tahun ketujuh belas. Kalau boleh tahu, apa isi catatan ayahmu itu? Jangan bilang kalau itu adalah catatan utang ayahmu yang akan diwariskan kepadamu. Hahaha. Tapi sepertinya sesuatu yang lain, ya? Itu terbukti dari rasa senangmu yang teramat saat menerima catatan itu. Bolehkah aku tahu ceritamu yang itu?

Kabarku baik. Senyum pun masih terjaga apik, meski sendu sesekali datang mengusik. Kesibukanku saat ini selain kuliah adalah menjadi seorang penulis lepas untuk website dan artikel berita. Mungkin pekerjaan yang bukan seberapa hasilnya, tapi cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhanku untuk kuliah, membeli buku, dan jalan-jalan. Hahaha. Selain membaca, aku juga suka sekali jalan-jalan, mengunjungi suatu tempat untuk sekadar melepas penat. Menuliskan cerita tentangnya atau mengabadikan setiap pesona yang ditawarkan alam melalui jepretan-jepretan kamera dengan teknik ala kadarnya. Nanti, akan kutunjukkan padamu ke mana saja aku sudah berkunjung.

Key,
Rasa-rasanya, kekagumanku semakin tandas untukmu. Dongengmu tentang langit dan laut membuatku berdecak, bisa-bisanya kau membuat cerita sebaik itu. Aku jadi teringat sebuah dongeng yang pernah aku dengar tentang kerinduan gunung kepada awan. Tahukah kau cerita tentang itu, Key?

Dulu, awan dan gunung selalu berdekatan. Di mana ada gunung, maka di sisinya ada awan. Sampai suatu ketika semesta berkehendak lain. Semesta memisahkan mereka hingga tercerai berai. Gunung memancangkan akarnya di bumi, sementara awan terbang menjulang ke atas langit. Akibat kedekatannya selama ini, gunung merasa jatuh cinta kepada awan. Ia merasa nestapa saat awan yang begitu dicintainya menjauh dan hanya bisa ditatap dari kejauhan. Setiap hari, gunung selalu menatap ke atas langit, berharap awan mau mendekat atau sekadar menyapa gunung yang selalu memerhatikannya. Tapi awan menjadi angkuh, ia abaikan tatapan cinta gunung kepada dirinya. Dengan pongah, awan tetap saja berarak terbang dari satu langit ke langit lain. Hingga suatu kali, kerinduan gunung kepada awan memuncak. Ia mulai bergerak. Menggetarkan bumi dengan suara gemuruh. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan ada beberapa pohon yang jatuh tumbang tak kuat menahan getaran yang disebabkan oleh pergerakan gunung. Hewan-hewan berlarian mencari perlindungan, menuruni bukit dengan kecepatan penuh. Gunung murka, rindu yang selama ini terjaga telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Sungguh benarlah, bila dikatakan bahwa jarak rindu dan benci hanya bersekat setipis air mata dan tangis. Maka menangislah gunung dengan sesenggukan, mengeluarkan air mata yang lebih merah dari darah. Kelak, orang-orang menyebut itu sebagai bencana letusan gunung berapi, mereka tak mengetahui bahwa itu adalah api kemarahan gunung akibat terabaikannya rindu yang ia jaga.

Jika kau bertanya siapa aku, mungkin aku adalah gunung, Key. Setiap saat memerhatikan pesonamu dari kejauhan. Menahan debar entah bernama apa, mungkin rindu, asa, harapan, doa, entahlah. Kau boleh menyebut itu sebagai apa saja. Tapi yang jelas, kesabaranku dalam menantimu jauh lebih kuat dibandingkan dengan akar yang menancap di bawah kaki gunung. Lebih besar dan luas dari langit. Jadi tak perlu khawatir aku akan muntab dan marah karena tak kuat menahan kerinduanku padamu.

Mungkin aku lancang, mengucap rindu kepada kau yang baru saja mengenalku. Tapi percayalah, Key, rindu ini sudah muncul sejak aku bertemu kamu pada kali pertama. Rindu ini bukan rindu milik seseorang yang memiliki pujaan hati, tapi kerinduan seseorang yang sedang mendamba hatinya tersentuh oleh seseorang sepertimu. Apa kau sudah punya kekasih, Key? Maaf, sudah bertanya terlalu dalam. Aku hanya ingin tahu, kepada siapa aku berbincang. Kepada seseorang yang juga sedang kesepiankah? Atau kepada seseorang yang sudah menasbihkan hatinya untuk memuliakan lelaki yang sudah ia cintai.

Kutunggu balasan suratmu selanjutnya. Semoga kau bisa lebih terbuka dalam menjawabnya.



Dari seseorang yang banyak bertanya,

Al.


*PS: Besok sore aku akan ke perpustakaan daerah. Aku akan mengenakan baju kemeja kotak-kotak warna biru dan celana jeans berwarna hitam. Kalau kau penasaran bagaimana rupaku, kau bisa menjumpaiku di sana.

1 komentar:

Kategori Utama