Rembulan perak jatuh di pangkuanku.
Ada pendarpendar berguguran.
Ada jingga, ada ungu.
Ada biru.
Semua wajah tertunduk malu.
Merekah sebongkah jiwa yang hampir runtuh.
Meski pudar sudah warnanya.
Terbuka lagi pesona kehidupan pada setitik rerumpun asa.
Rembulan itupun menengadah.
Menjejaki satusatu lipatan wajah sebuah jiwa.
Serupa bayi pada ibu.
Serupa pecinta pada sang kekasih.
Jua serupa pujangga pada beratus sajak bernyawa.
Kembali, genderang lamatlamat ditabuh.
Di atas gundukan tanah kerontang yang sedang bersemi.
Iringi tariantarian gelegak rasa baru.
Seolah seorang mulia tiba.
Rembulan mendayung mega mendung.
Menjaring bintangbintang yang hampir tenggelam.
Meredup, hampir mati.
Didekati, dibisiki, dirayu.
Agar mau gemerlap lagi.
Pun jiwa yang hampir runtuh itu.
Ia tapaki tilas perjalanan hidup waktu lalu.
Membuka lagi lembarlembar yang biru.
Tercabik, terkoyak.
Andai rembulan tak jatuh.
Mungkin jiwa itu mati.
Tak wangi.
Tak abadi.
Tak meninggalkan apaapa lagi.
________
Megamendung, 1 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar