Pernah, suatu petang
ummi pulang dengan tangan berdarah, “Tergilas batu, aih. Sewaktu
keasyikan menggilas baju”, terang ummi sambil tersenyum. Aku tersentak
diam. Tanpa banyak kata, kuambilkan betadine untuk membersihkan lukanya. Sempat terusik batin dengan pertanyaan: “Tuhan, adakah ia letih?”
Ibuku
bernama Upit Supiati. Sejak kecil aku biasa menyapanya dengan sebutan
ummi. Tak banyak kata yang bisa menggambarkan betapa hebat sosoknya di
mataku. Begitu banyak cinta, kasih, sayang, juga ilmu kehidupan yang
beliau berikan dan ajarkan kepadaku. Dalam suatu kesempatan ummi pernah
berkata, “Aih, dengarkan ini baik-baik. Kasih sayang Tuhan terkadang
datang menemui kita dengan topeng berbentuk rasa sakit, kesedihan,
kecewa juga luka. Jangan takut! Tersenyumlah! Temui ia dengan dada yang
lapang, kebesaran hati, kesabaran dan selaksa rasa syukur. Maka,
lihatlah ! Perlahan ia akan memelukmu dengan bentuk aslinya.” Entah,
dari mana ummi mendapatkan kata sehebat itu, yang pasti kalimat itu
selalu terngiang dalam hati, menguatkanku ketika hidup menawarkan getir
tanpa henti.
Suatu malam, aku terjaga. Aku menyaksikan
ummi khusyuk bersimpuh di atas sajadah usangnya. Sayup-sayup kudengar
satu-satu nama kami disebut. Bulir bening perlahan jatuh seiring
senandung doa yang ummi lafalkan. Ummi menangis menghamba, mengharapkan
Tuhan menjaga dan membimbing kami hingga menjadi orang yang senantiasa
membuat ummi tersenyum bangga karena pernah melahirkan kami.
Selepas
kumandang subuh, ummi membangunkan kami. Sementara kami shalat, ummi
menyiapkan peralatan khususnya, sikat dan sabun colek. Melanjutkan sisa
cucian yang sehari sebelumnya tak sempat terselesaikan.
Ummiku adalah seorang kuli cuci. Menawarkan jasanya kepada para santri yang mondok
di daerah sekitar tempat tinggalku. Tak pernah kudengar ia mengeluh
meski teramat penuh badannya dengan peluh. Keseharian ummi selalu
terlibat dengan pakaian, pagi mencuci, siang menjemur, dan malam adalah
waktunya untuk menggosok pakaian. Satu pertanyaanku kala itu, “Tuhan, kapankah ia terlelap?”
Ada
satu kesempatan lain yang membuatku tak mungkin melupakan kejadian itu.
Suatu ketika yang membuatmu ummi marah. Kala itu aku memaksa ummi untuk
meminjam uang kepada tetangga agar aku bisa membeli sepeda. “Mi, ayo dong pinjemin ke bu haji, kurang dua ratus ribu lagi nih. Kalo ada sepeda kan aih kuliah gak usah ngongkos
lagi.”, ucapku. Dengan sebal ummi kemudian memotong pembicaraanku,
“Dengerin ya ih, biarlah kita tak mampu beli sepeda. Biarlah pula aih
harus ke kampus jalan kaki, asal keluarga kita tak punya hutang. Emang,
aih bisa jamin bahwa ketika sepeda sudah mampu terbeli, umur ummi masih
ada? Hutang itu berat, ih. Ia yang akan mengganjal kita untuk naik ke
atas langit. Emang aih tega ngebayangin ummi terombang-ambing
diantara langit dan bumi? Sudahlah, sabar sedikit, Insya Allah kita akan
dapat rezeki untuk beli sepeda.” Seketika aku diam, tersedak. Tak mampu
melanjutkan percakapan.
Dalam lemah rapuhnya, tak pernah
sekalipun ummi menyesalkan keadaan yang dianugerahkan Tuhan, “Tak apa
aih, ini bentuk kasih sayang Allah. Kenyataan bahwa kita masih mampu
untuk tersenyum itu jauh lebih hebat dari sekedar kegetiran hidup yang
kita rasakan.”, ucap ummi menguatkan. Aku tak tahu perihal apa yang
membuat ummi menjadi sosok yang begitu tegar serupa karang juga begitu
lembut seperti bulu angsa ketika ia memberi perhatian kepada kami,
anak-anaknya. Pernah, suatu kali ummi bertanya khawatir tentang keadaan
tetangga kepadaku, “Aih, punya temen yang butuh tukang kebun gak? Kasihan tuh uwak Japat, sudah gak
kerja lagi.” Padahal aku tahu, ketika itu justru keadaan keluargaku-lah
yang sebenarnya butuh perhatian dari orang lain. Hatiku bergetar. Satu
pertanyaanku ketika itu : “Tuhan, adakah ia pernah berkesah?”
----------------
Kini,
setelah begitu panjang perjalanan hidup yang ia susuri. Setelah begitu
banyak rinai tangis dan butir doa yang ia panjatkan kepada keharibaan
Tuhan. Tak akan aku bertanya lagi apakah ummi lelah. Karena aku yakin
dan percaya. Dan aku teramat tahu: UMMIKU TANGGUH!!!
PS:
“Bersyukurlah
bagi kalian yang masih bisa memandang riang wajah malaikat tanpa
sayapmu, sebab Tuhan masih percaya bahwa kalian akan mampu membuatnya
menangis haru karena bahagia telah sempat melahirkanmu.”
“Bersyukurlah
bagi kalian yang telah ditinggalkan malaikat tanpa sayapmu, sebab
itulah cara terbaik dari Tuhan untuk memberi kebahagiaan abadi bagi
ibumu. Surga yang mengalir sungai di bawahnya.”
Untukmu :
Segera!
Rengkuh.
Peluk.
Cium.
Tatap.
Dan katakan:
“AKU SAYANG IBU”
Artikel Acak
Followers