Pecundang

"Aku bertengkar lagi dengan pacarku." katamu lirih di sebuah kafe pada selasa Siang. Hari ini kamu meneleponku. Memaksaku untuk datang menyusul ke tempat di mana kamu berada. Padahal pekerjaan kantorku saja masih menumpuk. Deadline dari atasan sudah setinggi dagu ketika aku duduk di kubikel tempat aku menyelesaikan pekerjaan. Namun nada mendesak dari teleponmu mengatakan ada hal penting yang ingin kamu ceritakan, memaksaku untuk kembali menunda pekerjaan. Maka tanpa berpikir panjang, segera kuambil kunci motor, lalu bergegas ke kafe yang kamu tunjuk.


Di sinilah aku sekarang. Duduk berhadapan denganmu, ditemani garis-garis kusam dan murung dari segurat wajah milikmu. Masih ada sisa tangis di situ.

"Karena apa lagi? Masih soal kecemburuanmu?" kataku sambil menyeruput secangkir kopi hitam yang baru saja disediakan oleh pelayan kafe.
"Iya, apa lagi? Aku kesel deh sama dia. Nggak bisa ngertiin aku banget. Dia pikir nggak capek apa ngerasain cemburu terus? Sementara dia masih asyik-asyik aja tuh bercengkerama dan tertawa-tawa dengan wanita selain aku." katamu sembari menyeka air mata yang sudah sedari tadi mengambang.
"Udah jangan nangis, kan aku bilang, mungkin aja itu teman-temannya. Kamunya aja kali yang terlalu curiga. Santai saja. Kepercayaan jauh lebih baik untuk dijaga. Bukan diobral cuma-cuma dengan prasangka."
"Tapi, ini udah kesekian kali. Masa iya kalau cuma teman bisa semesra itu. Foto-fotolah, makan-makanlah, jalan-jalanlah. Emang dia nggak ngehargain aku banget ya? Sampai segitunya banget bikin aku sakit."
"Sssst.. Sudah pelan-pelan bicaranya. Jangan nangis terus. Kamu nggak berubah ya? Dari zaman kita dekat dari kuliah, tetap saja cengeng. Dasar manja."
"Ih! Kamu kok malah ngeledek aku sih. Aku serius! Mamahku sudah sering bertanya kapan aku akan menikah dengan ia. Tapi kalau begini caranya, boro-boro mikir buat nikah. Saling ngejaga perasaan aja masih belum bisa."
"Hehehe.. Ya maaf, lagian kamu kayak orang kesurupan. Siang-siang nyuruh aku datang, cuma buat ngelihat kamu nangis dan marah-marah sendiri. Begini saja, cobalah kamu bicara baik-baik lagi dengan dia. Jangan kauturuti egomu dulu. Biarkan ia bercerita yang sebenarnya. Anyway, seka tuh air matanya, kamu jelek banget kalau lagi nangis."

"Iya. Nanti aku akan ajak dia bicara lagi."

"Baguslah. Sudah jangan terlalu kaupikirkan. Santai saja dulu. Minum tuh cokelatmu. Kasihan cuma diaduk-aduk. Kamu pikir itu segelas cokelat dipesan untuk sekadar latihan thowaf." kataku mencoba menghangatkan lagi suasana.

"Oh iya, sampai lupa." katamu terkekeh sambil menyeruput segelas cokelat panas, minuman kesukaanmu sejak dulu.
"Maaf ya, aku jadi ganggu kamu kerja. Aku cuma nggak tahu sama siapa lagi cerita selain kamu." katamu meneruskan percakapan.
"Iya, nggak apa-apa santai aja."
"Eh, kamu nggak ada niat buat cari pacar apa? Sendirian terus kayak penjaga gawang."
"Eh? Hehehe ada kok. Gebetan maksudnya. Tapi belum sampai pacaran. Anyway, pekerjaanmu gimana? Siang-siang kok malah keluyuran ke kafe?"
"Aku tinggal. Hehehe abisnya aku lagi nggak mood banget buat kerja." katamu sambil mengaduk-aduk cokelat pesananmu. Tanganmu masih begitu lentik seperti dulu. Dengan kuku yang terpotong rapi.

Nada dering ponselmu berbunyi. Entah siapa yang menelepon.

"Iya. Halo?
"Di mana? Dicari bos tuh." terdengar samar-samar suara di balik telepon.
"Di kafe, oke baik-baik, langsung berangkat ke sana."

"Maaf ya, aku harus balik lagi ke kantor. Atasanku nyariin. Sepertinya ada hal penting." katamu tergesa-gesa sambil merapikan tas kecil yang kaubawa.
"Ah, iya, nggak apa-apa. Santai saja. Jangan sedih lagi ya. Semoga hubunganmu baik-baik saja."
"Siap komandan! Terima kasih ya, sudah mau mendengar ceritaku. Bye."
"Oke, bye."

Punggungmu menjauh. Meninggalkan kursi-kursi dan meja-meja yang sedari tadi geming. Meninggalkan aku bersama gelas-gelas yang berdenting bersentuhan dengan sendok. Hening menyelimuti kafe, padahal pengunjung boleh dibilang memenuhi hampir seluruh kursi. Tapi aku hanya merasa sendiri.

Melihat punggungmu yang menjauh. Ada sebagian jiwa yang berontak ingin menahanmu sebentar. Tapi sebagian yang lain memaksaku untuk membiarkan saja dirimu pergi.

"Sungguh, di setiap waktu, aku selalu cinta padamu."

2 komentar:

  1. ini dalem bangeeeettt :')
    hampir sama seperti kisah gw. tp, gw kan cewe,,, mmng takdirnya menunggu bukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selain menunggu, mempersiapkan diri untuk yang terbaik juga penting :D

      Hapus

Kategori Utama