Ia bernama Hendi Johan Saputra. Bila kau berjumpa dengannya, maka kau akan menemui seseorang dengan perawakan tegap, tatap mata tajam, garis muka tegas, dengan bentuk rahang yang kuat. Lengannya kekar, urat-urat nampak terlihat dari kulitnya yang coklat. Keadaan tubuh yang cukup sehat bagi lelaki seumurannya.
Saya menyebutnya mas Hendi. Ia adalah kakak saya yang pertama. Perbincangan saya dengannya di rumah tak begitu banyak. Hanya sekadar sapa layaknya seorang adik kepada kakak. Pernah beberapa kali saya berselisih paham dengannya, dimulai dari hal sederhana seperti saluran televisi mana yang akan ditonton, jurusan kuliah yang sesuai, atau yang lebih sensitif seperti bagaimana semestinya bersikap dalam menghadapi permasalahan keluarga. Sikapnya yang tegas dan keras lebih sering membuat saya mengalah dan akhirnya mengikuti setiap perkataannya.
Umurnya menginjak 25 tahun. Tapi ia sudah seperti kepala keluarga di rumah. Pengalamannya sebagai relawan penanggulan bencana di DMC Dompet Dhuafa, membuat ia bersikap jauh lebih dewasa dibanding usianya. Tahun 2010 menjadi hari bersejarah bagi mas Hendi. Kala itu, gunung Merapi tak kuat menahan gejolak abu vulkanik. Merapi meletus. Maka, pada suatu sore yang hujan, ia berpamitan kepada ummi.
"Mi, Hendi dapat tugas buat ke Merapi."
"Nggak ada orang yang lain, hen?" Ummi menyela.
"Hendi yang dapet tugas, masa nyuruh orang lain?"
"Tapi, kan, Merapi lagi ganas-ganasnya, hen. Ummi mah khawatir." lanjut ummi dengan cemas.
"Iya, tenang aja. Kan udah punya ilmunya. Insya Allah aman."
"Ya udah, jaga diri ya. Jangan lupa shalat."
"Iya, mi. Kalau Hendi nggak pulang, doain ya. Semoga dinilai syahid sama Allah." kata ia berkaca-kaca.
"Aamiin, mudah-mudahan selamat."
Saya mengerti sekali bagaimana perasaan cemas ummi ketika itu. Anak tertua yang menjadi harapan harus berangkat ke sebuah tempat bencana yang luar biasa. Terlebih mendengar pesan terakhir seolah akan kehilangan selamanya. Bukankah menyakitkan? Ketika orang tua harus merelakan buah hati yang dicintainya harus berjibaku dengan bahaya yang bisa saja merenggut nyawanya. Maka, tanpa bisa menahan, ummi menitipkan doa terbaik bagi mas Hendi. Semoga Yang Maha Menjaga berbaik hati melindunginya. Berangkatlah mas Hendi ke Jogjakarta.
Hari-hari berikutnya penuh kecemasan. Televisi tak henti menyiarkan berita tentang bencana letusan gunung Merapi. Korban berjatuhan. Langit Jogjakarta mengabu dipenuhi debu-debu vulkanik. Raut wajah kesedihan tergambar di koran-koran. Indonesia berkabung saat itu.
Suasana kabung juga menyelimuti langit-langit rumah kami. Sambungan telepon terputus. Praktis komunikasi kami ke mas Hendi tak bisa dilakukan. Kabar terakhir yang kami dapatkan, mas Hendi sudah sampai di lokasi bencana dan ditugaskan untuk mengevakuasi korban di lereng gunung, baik korban manusia, maupun hewan-hewan ternak yang ada di sana. Maka yang dapat kami lakukan sekeluarga di rumah hanya berdoa dan berharap semoga semua baik-baik saja.
Beberapa hari berselang, ponselku berdering. Tertera nama mas Hendi di sana. Ia menelepon.
"Halo, Assalamu'alaikum." terdengar suara lemas dari balik telepon.
"Wa'alaikumussalam. Sehat mas? Tadi aih lihat berita, wedus gembel turun lagi."
"Sehat. Iya, ini baru aja selamat. Tadi mas kejar-kejaran. Kalau kalah cepet, mungkin udah lewat."
"Astaghfirullah."
"Ummi mana?"
"Bentar, aih kasih teleponnya." ucap saya kemudian menyerahkan telepon ke ummi.
"Sehat, hen? Gimana keadaan di sana?" ummi buru-buru bertanya.
"Alhamdulillah, mi. Tadi Hendi hampir kena panasnya wedus gembel."
"Ya, Allah. Terus sekarang lagi di mana?"
"Ini udah di basecamp. Orang-orang rumah sehat, mi?"
"Alhamdulillah, sehat. Ya udah, jaga diri ya. Jangan lupa makan, jangan lupa shalat."
"Iya, mi. Doain Hendi ya."
"Ummi doain setiap hari, Hen."
"Aamiin, ya udah, Hendi mau lanjutin kerjanya ya."
"Iya, hen, hati-hati ya."
Sambungan telepon ditutup. Waktu-waktu selanjutnya masih dipenuhi kecemasan, hanya saja suasana sudah mulai mereda. Merapi sudah mulai membaik. Abu vulkanik masih memenuhi langit Jogja, hanya tak sepekat beberapa waktu kemarin. Seminggu kemudian, mas Hendi mengabarkan bahwa ia sudah boleh pulang kembali ke rumah. Keluarga suka cita mendengar kabar tersebut.
Di suatu Minggu pagi, mas Hendi pulang ke rumah. Kulitnya jauh lebih legam dari pada yang terakhir saya lihat. Badannya terlihat kurus dan lemah. Bencana Merapi menggerogoti fisiknya. Tatap haru terlihat dari wajah ummi, maka dipeluknya mas Hendi. Dan mengucap syukur kepada Allah karena masih menjaga dan melindungi buah hati tercintanya. Hari itu dipenuhi cerita-cerita tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Merapi. Jauh lebih mengerikan dari apa yang kami lihat di televisi.
Tak banyak yang dapat saya gambarkan tentang semangat juang mas Hendi. Saya menghormatinya lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Ia mengajarkan ketulusan dan kegigihan. Sikapnya yang keras kepala menjadi bukti bahwa ia kukuh dalam mempertahankan prinsip. Meski seringkali berbuah selisih paham, pada akhirnya saya mengerti bahwa semuanya adalah untuk kebaikan. Satu hal yang selalu saya ingat dari perkataannya. "Menjadi manusia harus kuat. Sebab bagaimana kau dapat menolong orang lain, jika untuk menolong diri sendiri saja kau tak mampu."
Hari ini ia kembali bertugas. Musibah gempa di Aceh Tengah. Kali ini keluarga sudah lebih memahami kondisi pekerjaannya. Maka tak ada hal yang lebih baik yang dapat dilakukan, selain mendukung dan mendoakan.
Selamat berjuang, kakak.
Tangan kita mungkin terlalu kecil untuk dapat mengubah semua.
Namun melalui TanganNya, semoga Tuhan dapat membantu meringankan semua.
terharu, apalagi yang pas mas Hendinya pamit. mas nya orang baik, semoga selalu dilingkupi kebaikan ya mas :"
BalasHapusNanti saya sampaikan ke mas saya :D
Hapusmas aih ceritanya bagus banget :) blognya juga kerennnnn menginspirasi sekaliiiii
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung :D
Hapus