Alisa duduk terdiam di sebuah bangku panjang di tepian pantai. Dengan kaki yang tak bosan menendang-nendang pasir putih. Pandangan matanya terfokus pada satu titik di ujung lautan. Entah apa yang terlihat. Mungkin perahu-perahu nelayan yang berpulangan selepas semalam melaut, atau garis-garis temali yang dipasang pengelola pantai agar pengunjung tidak berenang melewati batas, atau burung-burung yang berterbangan membelah cakrawala, atau sekadar tatapan kosong dengan pikiran melayang ke mana-mana. Entahlah.
Sudah tiga puluh menit Haikal berada di sisi kanannya. Ikut memerhatikan apa yang tengah Alisa lihat. Namun tak ada apa-apa. Tampak langit biru dengan air laut yang berlomba-lomba memeluk langit melalui debur ombak yang berlarian -sebenarnya, namun sisanya tak ada apa-apa. Hampa.
"Kamu belum mau melepasku? Kamu kenapa?" tanya Haikal.
"Tidak apa-apa," Alisa menoleh sebentar dengan senyum getir, lalu melanjutkan lagi aktivitas yang selama tiga puluh menit ini Alisa lakukan.
"Maaf aku mengecewakanmu. Aku hanya tak ingin kamu merasakan sakit lebih dari ini. Seperti kataku kemarin, sebaiknya kita sudahi saja semuanya. Aku sudah tak memiliki perasaan apapun kepadamu. Aku sudah menemukan sosok perempuan yang benar-benar mengerti tentangku. Tentang perasaanku."
"Setelah apa yang kita jalani selama dua tahun ini, kamu masih bisa berkata sudah tidak memiliki perasaan apapun, Kal?" Alisa tak kuat menahan gemuruh di dadanya. Alisa menangis dengan isak tertahan.
"Dengar Haikal, aku sudah berusaha menjaga kesetiaan. Mencoba bertahan dalam menjaga perasaan. Tapi apa yang kudapat? Berita perselingkuhanmu?"
"Maafkan aku, Alisa. Pun bila aku boleh meminta, aku tak ingin bertemu dengan ia. Perasaan ini menelusup begitu saja. Lalu pelan-pelan menggantikan posisimu dengan ia."
"Maafkan aku, Kal. Ternyata aku belum bisa menjadi satu-satunya yang terbaik di matamu."
"Bukan begitu, Alisa. Bagiku, kau tetap wanita yang baik. Bagaimanapun, kebahagiaanku yang dulu kaulah penciptanya. Tapi sungguh, kali ini aku tak mengerti apa yang dibicarakan kata hatiku. Angan dan inginku lebih kuat memilih ia dibanding kamu. Maaf atas keegoisanku. Bukankah sungguh menyakitkan, bila kita terus berusaha bertahan, sementara aku tak lagi memiliki perasaan. Maafkan aku, Alisa. Aku harus pergi. Engkau baik-baiklah dengan perasaanmu. Jaga dirimu sebagaimana ketulusanmu untuk terus berbahagia." Haikal beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berlalu meninggalkan Alisa sendirian.
************
Alisa masih duduk terdiam di sebuah bangku panjang di tepian pantai. Dengan kaki yang tak bosan menendang-nendang pasir putih. Ombak-ombak lautan terasa tenang menyentuh karang-karang. Angin-angin berdesir lirih mengembuskan rambut Alisa yang tergerai. Pandangan mata Alisa terfokus pada satu titik di ujung lautan. Ada titik air yang menganaksungai membasahi pipinya yang merah. Hancur sudah hatinya. Karam oleh amuk tsunami yang menghantam dinding hatinya. Bukankah menyakitkan, juga perih mengikis hati, ketika seseorang yang pernah begitu dicinta mengatakan, "Aku pergi. Siapa yang butuh kamu lagi?"
mas aih, ini ceritanya mirip2 dikit sama pengalaman aku, sedih ya :'(
BalasHapusAnggap aja curhat, tapi saya yang ceritain ya :p
Hapuskasian ya bang si alisa, gw nyesel pernah di posisi haikal :'(
BalasHapusSemoga tak ada lagi penyesalan hanya karena telah menyia-nyiakan.
Hapusijin share
BalasHapusnice :')
BalasHapusaku banget. bedanya aku 4th huahaha *curhat
BalasHapus