Khazanah Islam Dalam Perbedaan Pendapat

Penetapan awal puasa menjadi momen yang dinanti masyarakat muslim di seluruh dunia. Dengannya masyarakat muslim begitu antusias mempersiapkan datangnya bulan penuh berkah. Ada yang menyambut dengan membersihkan rumah, menyiapkan sahur pertama dengan makanan lezat, berziarah, dan sebagainya. Begitu pun masyarakat muslim di Indonesia.

Sayangnya, Indonesia dengan masyarakatnya yang begitu heterogen selalu dihinggapi perasaan cemas dan bingung ketika dihadapkan pada penentuan bulan Ramadhan yang selalu berbeda. Hal ini, bagi masyarakat awam tentu menjadi hal yang mengganjal di hatinya. Maka, tak jarang, celotehan dan gonjang-ganjing perbedaan begitu bising terdengar. Termasuk keinginan masyarakat agar penentuan awal Ramadhan diserempakkan saja pada satu suara agar tak ada lagi perasaan bingung menjelang Ramadhan.

Di antara hal yang menjadi penyebab perbedaan permulaan puasa di suatu negara dengan negara lain adalah perbedaan tempat terbitnya bulan. Sedangkan perbedaan tempat munculnya bulan (mathali) termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti, baik dari sisi perasaan maupun akal.
Maka, dari hal ini saja bisa diketahui bahwa tidak mungkin mengharuskan umat Islam untuk berpuasa pada satu waktu. Karena  hal ini termasuk bentuk pemaksaan terhadap suatu kelompok di antara mereka untuk berpuasa sebelum melihat hilal. Bahkan mungkin sebelum waktunya muncul.
Pernah, suatu kali Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya terkait seruan yang menuntut penyatuan umat dalam berpuasa, agar semua pihak berpatokan dengan tempat munculnya bulan di Mekkah.

Beliau menjawab, "Dari sudut ilmu falak (astronomi) hal ini mustahil, karena tempat muncul (mathla') hilal sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah itu berbeda menurut kesepakatan pakar dalam bidang ini. Jika berbeda, maka ketentuan dalil nash dan teori membuat setiap negara memiliki hukumnya sendiri.
Adapun dalil nash yang terdapat dalam Al-Quran;
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al-Baqarah: 185)
Jika misalnya ada orang yang jauh di sana tidak melihat bulan –yakni hilal- sementara penduduk Mekkah telah melihat hilal, bagaimana perintah dalam ayat ini berlaku kepada mereka yang tidak melihat  bulan, padahal Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Berpuasalah kamu semua ketika melihat (bulan sabit) dan berbukalah ketika melihat (bulan sabit)."  (HR. Muttafq alaihi)*

Adapun metode yang digunakan dalam penentuan awal ramadhan, di antaranya adalah:




  • Terlihatrnya hilal (bulan sabit awal bulan) Ramadhan. Dalam sebuah hadits Rasullah bersabda, "Puasalah mulai hilal (Ramadhan) terlihat, dan berbukalah mulai hilal (Syawal) terlihat" (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Daruquthni, dll.).
  • Apabila bulan Sya'ban telah genap 30 hari.
  • Apabila hilal tidak mungkin terlihat, karena mendung atau kabut. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i dan Maliki, tidak boleh puasa pada tanggal 30 Sya'ban dengan berlandaskan hadits, "Apabila tidak dimungkinkan melihat hilal, maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari" (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari yang diragukan, tanggal 30 Sya'ban merupakan hari yang diragukan apabila tidak dimungkinkan melihat hilal. Kondisi ini juga termasuk pada saat penanggalan/tarikh (ahli hisab) telah menyatakan bahwa hilal muncul dan terbenam sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban, sehingga tidak mungkin dilakukan rukyah. Maka awal puasa adalah ketika bulan Sya'ban telah genap 30 hari.


  • Perbedaan adalah keniscayaan. Akan selalu ada alasan dalil yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ulama. Maka mudahnya adalah sami'na wa athona. Dengarkan, lalu taati. Menjalani setiap keputusan yang diyakini dengan baik dan hati-hati. Tak perlu lagi mendebati perbedaan, salah-salah, belum mulai Ramadhan justru kita telah lebih dulu menodai keberkahannya. Jangan lagi membesar-besarkan perbedaan pendapat dalam penetapan, setiap keputusan telah diawali dengan niat yang baik dan penuh kehati-hatian.

    Tak ada yang lebih mulia, selain memurnikan niat. Menjalani sepenuh hati. Dengan senyum tulus berharap keridhoan saja.

    Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Selamat menuai keberkahan dari bulan yang mulia. Selamat berbahagia dalam berlomba mencari pahala.

    Begitu khazanah Islam dalam balutan perbedaan.
    Allahlah sebaik-baiknya penilai dan pengambil keputusan.
    Waalahu 'alam bish shawab.


    *(Dikutip dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/102)

    1 komentar:

    Kategori Utama