Aku menghela napas. Menjejakkan kaki, masuk ke stasiun.
Aku masih ingat betul, bagaimana rupa wajahmu saat aku menjejakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Kau tak bisa menyembunyikan rona merah di pipimu saat aku merentangkan pelukan seraya berkata, "Selamat pagi, sayang. Akhirnya aku tiba di kotamu." Lalu tanpa lagi memiliki rasa malu, —menafikan tatapan sinis penumpang kereta yang memerhatikan kita berdua—, aku dan kamu saling berpelukan seperti sepasang perindu yang dimanjakan perjumpaan. Dadaku berdebar cepat saat itu.
Sore ini, tepat lima hari setelah momen itu, kita kembali berdiri mematung di stasiun yang sama. Dengan kepala yang disesaki alasan-alasan pembenaran agar tidak menyegerakan pulang.
Lucu sekali. Waktu berhenti saat menanti. Lantas berlari saat sua menghampiri.
Lima hari menjadi sedemikian cepat bagi kita yang ingin menuntaskan rindu. Ingin rasanya kubunuh waktu dari perputaran jam, agar bisa membingkai setiap kenangan dengan sebaik-baiknya ingatan. Padahal untuk bisa sampai ke kotamu, butuh waktu yang cukup lama untuk menentukan jadwal keberangkatan.
"Sedih?" tanyaku saat kita duduk di deretan tangga dekat pintu stasiun.
"Tidak."
"Sedih?" kuulang pertanyaanku, demi melihat matamu yang sudah berkaca-kaca.
"Tidak," kau tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Bohong. Sedih?" cecarku tak mau kalah.
Akhirnya kau menyerah. Mengganggukan kepala.
"Tentu saja aku sedih. Tapi bila aku menangis di hadapanmu, aku takut membuatmu luka," katamu melanjutkan.
"Tak apa. Tunjukkan saja kesedihanmu. Jangan berpura-pura. Aku ingin melihat sejauh mana keinginanmu untuk tetap berada di sisiku."
Kau menunduk. Memainkan jemariku dalam genggamanmu.
Duhai perempuan, kalaulah kau tahu betapa aku ingin memelukmu saat itu. Menenangkan setiap geliat resah yang berkecamuk di dalam dadamu. Menciptakan lagi satu simpul senyum dengan keyakinan bahwa aku pasti kembali. Membawakan lagi rindu yang merintih, menuntaskan keinginan untuk mengutuhkan perasaan. Tapi waktu tak pernah setia untuk menanti. Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah. Menampar kenyataan bahwa dalam setiap kedatangan akan selalu ada kepulangan.
Maka,
—saat itu
—, entah dengan entah keberanian apa, aku merapatkan posisi duduk. Lalu berbisik pelan di telingamu,
"Rindu pada akhirnya akan membawaku ke sini, atau menunjukkan jalan bagimu untuk ke sana. Agar kita, —aku dan kau—, selalu bersama. Dalam cinta."
Kau tersenyum. Satu lengkung yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta.
"Untuk setiap depa per depa jarak yang membuat kita jauh. Percayalah, aku adalah doa yang mendekapmu saat kau hampir jatuh. Jaga rindumu baik-baik, aku pasti kembali. Aku mencintaimu."
Kau merunduk. Ada kesedihan mengekor di kedua pelupuk matamu. Tak lama berselang, air mata menitik pelan dari ujung matamu.
"I'm waiting,"
Kau diam.
"I'm waiting..." ucapku lagi sambil menunjukkan telinga.
Kali ini kau tertawa, lalu berujar lirih, "Aku cinta kamu."
Sesederhana itu.
“Terima kasih telah menjenguk rindu-rinduku yang pesakitan. Terima kasih telah berbesar sabar dan berjuang. Terima kasih untuk setiap tawa dan bahagia yang kau berikan,” ucapmu sambil memainkan jemariku dalam genggamanmu.
Aku diam. Kau diam.
Membiarkan rindu mematikan kegelisahan diam-diam. Mengizinkan jemari menceritakan keresahan dengan saling menggenggam.
"Aku selalu menyukai saat tidur di pangkuanmu, dengan kamu yang tak pernah lupa memainkan anak rambutku," kataku memecah keheningan.
"Sebab itulah aku tak memotong rambutku. Agar kau bisa merapikannya tiap kali aku merebah lelah di pangkuanmu. Coba deh, kamu lihat, berantakan banget kan rambutku?" aku melanjutkan sambil mengacak-acak anak rambutku.
"Astaga.. capernya kamu.."
Lalu dengan belai manja, kau rapikan lagi rambutku.
Kau tahu? Itu hanya caraku membuatmu tertawa. Sendumu terlalu kentara saat itu. Berat rasanya meninggalkanmu dengan kesedihan yang masih menyisa. Seperti ada beban yang menimpaku di balik punggung, seolah menyuruhku agar tetap berada di situ. Menenangkanmu.
"Sudah pukul 16.20, keretaku berangkat pukul 16.30. Aku harus masuk," kataku.
Lalu kau mengangguk. Beranjak dari duduk dan menggenggam tanganku, kali ini terasa lebih erat. Mungkin karena kau tahu waktu kita untuk bersama tidak lama lagi.
"Kapan kita akan berhenti berhubungan jarak jauh?" katamu sambil menangis. Pelupuk matamu tak kuat membendung air mata yang sudah sedari tadi kau tahan.
"Nanti, setelah aku lulus kuliah. Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Kau tenanglah. Tunggu aku," kataku sambil memeluk dan mengusap pelan punggungmu.
Dan kita saling melepaskan pelukan. Melambai mengucap salam perpisahan.
Aku melangkahkan kaki. Pelan-pelan mendekati kereta yang sudah menunggu. Menoleh sekali lagi untuk melihatmu lalu tersenyum. Meninggalkanmu dengan rindu yang belum tuntas sepenuhnya. Mempersilakan lagi jarak untuk memperdaya cinta yang kita perjuangkan bersama.
Kita harus saling belajar memendam rindu. Menimbun setiap resah yang mengikis mimpi. Hingga kita sama-sama membenci kesepian.
Teruntuk perempuan yang membuatku betah merebah lelah di pangkuannya. Ajari aku kesetiaan senja untuk kembali datang, meski malam kerap menyuruhnya pulang.
Aku sayang kamu.
Jogjakarta-Jakarta
4 Desember 2013
Artikel Acak
Followers