Aduh, Dek!

Dari dulu, gue seneng banget ngeliat muka bayi. Apalagi yang lucu-lucu. Bawaannya pengin bikin aja. Buat gue, muka bayi itu jujur banget. Mau senyum, ketawa, sedih, manyun, nangis, mereka santai aja nunjukin betapa lugunya wajah mereka. Nggak ada yang ditutup-tutupin. Mun ceuk sunda mah, sabodo teuing. Ah.. Persis banget sama muka gue yang baby face ini. *bismillah* *nyebur kali*

Pernah, suatu kali gue ketemu sama bayi yang pipinya gembil banget, kayak bakpao cokelat. Karena nggak tahan gemes, gue cubit aja pipinya sampai merah. Terus gua gigit sampai berdarah-darah. Akhirnya, gue dicuekin sama emaknya. Masih mending, sih. Untung kagak digamparin. Abis gimana, ya? Itu kan lucu banget, bibir merah, pipi gembil, mata kerjap-kerjap. Anjis, itu tuh lucu banget. Asli!

Nah.. Pagi, tadi. Entah motivasinya apaan, ada salah satu followers di twitter gue yang mention ngirim foto bayi.

Entah karena motivasi apa lagi, banyak yang ikut-ikutan ngirim foto bayi yang mereka punya ke gue. Berikut ini, bakal gue tunjukin betapa lucunya wajah-wajah mereka.








Ampun dek... Lemes saya ngeliatnya. Pada ngegemesin banget, sih? Kayak bayi jenglot.

Saat ngeliat foto-foto itu, naluri gue sebagai anggota sindikat penjualan bayi tiba-tiba mendidih. Hampir aja gue berniat untuk segera bikin katalog bayi-bayi lucu plus kisaran harganya. Tapi gue buru-buru istighfar. Karena itu nggak boleh, dosa.

Entahlah, tiba-tiba gue jadi kepikiran buat cepet-cepet nikah aja. Biar segera bisa memproduksi bayi-bayi lucu secara halal dan berkah kayak gitu. Masya Allah. Semoga Tuhan memercayakan gue untuk punya anak-anak yang lucu dan menggemaskan setelah menikah nanti, hingga bisa tumbuh menjadi anak-anak cerdas yang kehadirannya dinantikan ummat dan bangsa untuk memperbaiki negara. Merdeka!!

Terima kasih buat teman-teman yang sudah berbagi foto wajah adik-adik manis yang menggemaskan ini. Semoga mereka tumbuh menjadi anak yang baik, sebagaimana lucunya mereka saat ini.

“Robbiy habli minash sholihiin...”
Aamiin

Ps: Anyway, dari pada sibuk memikirkan kapan bisa punya anak, bagaimana kalau kita saling memperjuangkan cinta yang kita miliki sekarang? Hingga bisa terjaga sampai ke altar pernikahan.
Selengkapnya

Aku, Kau, dan Perdebatan Tentang Jika

"Bagaimana jika kita tidak bisa terus bersama?"
"Tak perlu membicarakan hal yang tak ada."
"Iya. Tapi seandainya?"
"Jangan terlalu banyak berandai, bee. Tak baik untuk kewarasanmu."
"Aku serius, Rey."
"Aku pun."
"Jika hal itu benar terjadi, apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah. Berhentilah berjika-jika. Aku mencintaimu. Sesederhana itu."
"Aku takut kita berpisah, Rey."
"Kau menciptakan rasa takutmu sendiri."
"Aku tak ingin kita saling membenci pada akhirnya."
"Begini, bee. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok, lusa, dan seterusnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga apa yang kita miliki sekarang. Hingga apapun yang kita lakukan adalah bentuk upaya untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Baik-baiklah dengan perasaanmu. Semoga kita tidak sedang berjudi saat mencoba peruntungan tentang permasalahan hati."
"Aku selalu memikirkan pertanyaan ini, setiap kali aku merasa bahagia saat bersamamu."
"Ya sudah, berhentilah memikirkan hal yang membuatmu takut. Fokus saja pada hal yang membahagiakanmu."
"Aku takut tak siap menghadapi kehilangan."
"Bee.. Kau bicara apa, sih? Bahkan saat ini kau sedang bersamaku. Menikmati waktu berdua. Bersama-sama."
"Sebab itulah aku takut. Aku bahagia bila terus bersamamu. Aku tak ingin kehilanganmu."
"Aku tak bisa menjanjikan akan selalu ada. Tapi ini yang bisa aku sampaikan, aku mencintaimu dengan sungguh. Maka aku akan selalu berupaya untuk menjaga cinta yang ada di antara kita. Mengemasnya dengan baik setiap hari, agar aku bisa mencintaimu lagi dan lagi. Sebab aku tak selalu bisa membuatmu bahagia, perkenankan aku untuk selalu menemanimu bagaimanapun keadaannya."
"Reyhan."
"Ya?"
"Jangan pergi, ya."
"Hei.. Bee.. Look at me.. Aku tak pergi ke mana-mana. Aku di sini. Di sampingmu. Menjaga kamu."
"Tapi, Rey."
"Berhentilah bertapi-tapi. Jalani semuanya dengan sederhana. Enyahkan keraguanmu. Nikmati apa yang kita jalani kini. Tak perlu mempermasalahkan apa yang akan terjadi nanti. Ketakutanmu justru akan menghancurkan dirimu sendiri. Mulailah untuk mencintaiku tanpa berjika-jika. Dan aku akan selalu mencintaimu tanpa tapi. Sebab yang kita lakukan adalah di waktu sekarang. Bukan nanti."
"Entahlah, Rey. Hanya saja..."
"Shut up."

Aku meletakkan ciuman di bibir perempuanku. Melumatnya dengan perlahan hingga lidahku berpilin menyentuh langit-langit mulutnya. Membiarkan ia memejam merasakan sentuhan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Sungguh, membuatnya diam jauh lebih baik dibandingkan harus berdebat dengan perasaan. Terlebih pada sesuatu yang tak perlu ditakutkan.
Selengkapnya

Lelah Itu

  • Lelah itu mungkin seperti membesar-besarkan hati dengan harapan-harapan hampa. Hanya agar angan tetap terjaga. Meski sebenarnya tiada juga.

  • Lelah itu mungkin seperti mengemas rintik hujan di pelupuk mata berkali-kali. Sementara ia tak pernah peduli.

  • Lelah itu mungkin seperti menaruh kepercayaan penuh, sementara ia mengecewakanmu tak pernah jenuh.

  • Lelah itu mungkin seperti bertahan pada setiap pelukaan. Berharap yang dicinta kembali memuliakan. Meski sebenarnya tak bisa dijanjikan.

  • Lelah itu mungkin seperti menahan debar rindu sendiri. Sementara ia yang begitu amat dirindukan sama sekali tak menyadari.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar menjaga kesetiaan. Berusaha bertahan dalam kenangan, meski sebenarnya ia telah jauh meninggalkan.

  • Lelah itu mungkin seperti membela ia yang membuat luka. Hanya agar kau tak mau ia dianggap buruk, meski hatimu sebenarnya mengiyakannya.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar dalam mempertahankan perasaan. Sementara ia masih begitu setia melakukan pelukaan.

  • Lelah itu mungkin seperti berbesar sabar untuk menunggu. Berusaha menahan perasaan saat mencintai diam-diam.

  • Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang menggigil kedinginan. Menghadapi pengabaian dalam cinta diam-diam.

  • Lelah itu mungkin seperti menunggu seseorang yang begitu dirindukan. Sementara ia tak pernah tahu ada kau yang diam-diam memperhatikan.

  • Lelah itu mungkin seperti merawat rindu yang sudah pekat dan membiru. Sementara waktu tak berbaik hati dalam memberi kesempatan untuk temu.

Lelah itu mungkin seperti…. memperjuangkan cinta sendirian.
Selengkapnya

Sore di Stasiun Lempuyangan

Aku menghela napas. Menjejakkan kaki, masuk ke stasiun.

Aku masih ingat betul, bagaimana rupa wajahmu saat aku menjejakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Kau tak bisa menyembunyikan rona merah di pipimu saat aku merentangkan pelukan seraya berkata, "Selamat pagi, sayang. Akhirnya aku tiba di kotamu." Lalu tanpa lagi memiliki rasa malu, menafikan tatapan sinis penumpang kereta yang memerhatikan kita berdua, aku dan kamu saling berpelukan seperti sepasang perindu yang dimanjakan perjumpaan. Dadaku berdebar cepat saat itu.

Sore ini, tepat lima hari setelah momen itu, kita kembali berdiri mematung di stasiun yang sama. Dengan kepala yang disesaki alasan-alasan pembenaran agar tidak menyegerakan pulang.

Lucu sekali. Waktu berhenti saat menanti. Lantas berlari saat sua menghampiri.

Lima hari menjadi sedemikian cepat bagi kita yang ingin menuntaskan rindu. Ingin rasanya kubunuh waktu dari perputaran jam, agar bisa membingkai setiap kenangan dengan sebaik-baiknya ingatan. Padahal untuk bisa sampai ke kotamu, butuh waktu yang cukup lama untuk menentukan jadwal keberangkatan.

"Sedih?" tanyaku saat kita duduk di deretan tangga dekat pintu stasiun.
"Tidak."
"Sedih?" kuulang pertanyaanku, demi melihat matamu yang sudah berkaca-kaca.
"Tidak," kau tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Bohong. Sedih?" cecarku tak mau kalah.
Akhirnya kau menyerah. Mengganggukan kepala.
"Tentu saja aku sedih. Tapi bila aku menangis di hadapanmu, aku takut membuatmu luka," katamu melanjutkan.
"Tak apa. Tunjukkan saja kesedihanmu. Jangan berpura-pura. Aku ingin melihat sejauh mana keinginanmu untuk tetap berada di sisiku."

Kau menunduk. Memainkan jemariku dalam genggamanmu.

Duhai perempuan, kalaulah kau tahu betapa aku ingin memelukmu saat itu. Menenangkan setiap geliat resah yang berkecamuk di dalam dadamu. Menciptakan lagi satu simpul senyum dengan keyakinan bahwa aku pasti kembali. Membawakan lagi rindu yang merintih, menuntaskan keinginan untuk mengutuhkan perasaan. Tapi waktu tak pernah setia untuk menanti. Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah. Menampar kenyataan bahwa dalam setiap kedatangan akan selalu ada kepulangan.

Maka, saat itu, entah dengan entah keberanian apa, aku merapatkan posisi duduk. Lalu berbisik pelan di telingamu, "Rindu pada akhirnya akan membawaku ke sini, atau menunjukkan jalan bagimu untuk ke sana. Agar kita, aku dan kau, selalu bersama. Dalam cinta."

Kau tersenyum. Satu lengkung yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta.

"Untuk setiap depa per depa jarak yang membuat kita jauh. Percayalah, aku adalah doa yang mendekapmu saat kau hampir jatuh. Jaga rindumu baik-baik, aku pasti kembali. Aku mencintaimu."
Kau merunduk. Ada kesedihan mengekor di kedua pelupuk matamu. Tak lama berselang, air mata menitik pelan dari ujung matamu.

"I'm waiting,"
Kau diam.
"I'm waiting..." ucapku lagi sambil menunjukkan telinga.
Kali ini kau tertawa, lalu berujar lirih, "Aku cinta kamu."
Sesederhana itu.

“Terima kasih telah menjenguk rindu-rinduku yang pesakitan. Terima kasih telah berbesar sabar dan berjuang. Terima kasih untuk setiap tawa dan bahagia yang kau berikan,” ucapmu sambil memainkan jemariku dalam genggamanmu.

Aku diam. Kau diam.
Membiarkan rindu mematikan kegelisahan diam-diam. Mengizinkan jemari menceritakan keresahan dengan saling menggenggam.

"Aku selalu menyukai saat tidur di pangkuanmu, dengan kamu yang tak pernah lupa memainkan anak rambutku," kataku memecah keheningan.
"Sebab itulah aku tak memotong rambutku. Agar kau bisa merapikannya tiap kali aku merebah lelah di pangkuanmu. Coba deh, kamu lihat, berantakan banget kan rambutku?" aku melanjutkan sambil mengacak-acak anak rambutku.

"Astaga.. capernya kamu.."
Lalu dengan belai manja, kau rapikan lagi rambutku.

Kau tahu? Itu hanya caraku membuatmu tertawa. Sendumu terlalu kentara saat itu. Berat rasanya meninggalkanmu dengan kesedihan yang masih menyisa. Seperti ada beban yang menimpaku di balik punggung, seolah menyuruhku agar tetap berada di situ. Menenangkanmu.

"Sudah pukul 16.20, keretaku berangkat pukul 16.30. Aku harus masuk," kataku.

Lalu kau mengangguk. Beranjak dari duduk dan menggenggam tanganku, kali ini terasa lebih erat. Mungkin karena kau tahu waktu kita untuk bersama tidak lama lagi.

"Kapan kita akan berhenti berhubungan jarak jauh?" katamu sambil menangis. Pelupuk matamu tak kuat membendung air mata yang sudah sedari tadi kau tahan.

"Nanti, setelah aku lulus kuliah. Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Kau tenanglah. Tunggu aku," kataku sambil memeluk dan mengusap pelan punggungmu.

Dan kita saling melepaskan pelukan. Melambai mengucap salam perpisahan.

Aku melangkahkan kaki. Pelan-pelan mendekati kereta yang sudah menunggu. Menoleh sekali lagi untuk melihatmu lalu tersenyum. Meninggalkanmu dengan rindu yang belum tuntas sepenuhnya. Mempersilakan lagi jarak untuk memperdaya cinta yang kita perjuangkan bersama.

Kita harus saling belajar memendam rindu. Menimbun setiap resah yang mengikis mimpi. Hingga kita sama-sama membenci kesepian.

Teruntuk perempuan yang membuatku betah merebah lelah di pangkuannya. Ajari aku kesetiaan senja untuk kembali datang, meski malam kerap menyuruhnya pulang.
Aku sayang kamu.
Jogjakarta-Jakarta
4 Desember 2013
Selengkapnya

Berujar Tentang Proses

Suatu hari, ibu pernah memarahi saya karena tak sabar saat belajar sepeda. Jatuh sekali, menangis. Jatuh dua kali, mengeluh. Jatuh tiga kali, tak ingin belajar lagi. Sampai akhirnya ibu saya gemas, lantas mencubit pelan pipi saya sambil berkata,“Ala bisa karena biasa. Ayo belajar lagi. Kalau sebelumnya kamu mengayuh sepeda cuma sampai tiga meter, setelahnya kamu bisa mencapai lima meter, nak. Jangan nyerah. Kalau nyerah, kamu bisa diledekin teman-teman karena nggak bisa naik sepeda. Emangnya mau?”

Setelah itu saya belajar lagi. Lalu jatuh lagi, kali ini lebih parah, sampai terjerembab. Tapi saya tak menangis, saya berpikir bahwa saya pasti bisa. Saya betulkan lagi letak sepeda yang jatuh, lantas menaikinya. Kemudian mengayuh pedal sepeda dengan lebih semangat, hingga akhirnya sepeda mulai berjalan lebih seimbang. Dan saya berhasil naik sepeda dengan lancar tanpa terjatuh lagi. Akan selalu ada harga yang dibayar untuk sebuah keberhasilan. Tak ada yang sia-sia, besar kecil semua berarti. Hari ini kau terjatuh, terluka, terperosok hingga sulit untuk bangkit. Tapi esok-lusa-atau hari nanti, kau akan berbahagia, memasang simpul senyum atas keberhasilan yang kau upayakan.

Berujar tentang proses, maka membicarakan tentang nikmatnya sebuah perjalanan. Dari sana bermula pembelajaran makna. Tentang jatuh bangun dalam melangkah, tentang keindahan di kanan kiri jalan, tentang kenangan-kenangan, tentang terjal batu yang mampu kau terjang, tentang peluh dan air mata yang menitik. Tentang senyum seringai yang tercipta saat pelan-pelan kau menjemput keberhasilan dan meninggalkan luka tepat di belakang. Lantas dengan bangga menepuk dada seraya berkata, “Ya, sudah saya bilang, saya pasti bisa!”

Menjalani hidup bukan perkara mudah, tapi bukan berarti kita tak mampu untuk menjadikannya indah. Nikmati saja setiap pijak jejak langkahmu. Fokusmu pada tujuan, jangan sampai membuatmu lupa pada indahnya perjalanan. Sebab pembelajaran makna dari sanalah asalnya. Jadilah mutu manikam memukau yang terasah sempurna. Hingga suatu saat kelak, —ketika kau mampu membuktikan kepada dirimu sendiri— kau dapat berteriak bangga, kepada siapa saja, “Perkenalkan, inilah saya!”
Selengkapnya

Kau Datang Saat Aku Sedang Merasa Teramat Kesepian

Mungkin kau pernah merasakan, betapa hidup tak pernah berpihak kepadamu. Saat segala keinginan tak mewujud kenyataan. Ketika banyak hal yang diharapkan berujung kekecewaan. Saat semua yang kamu miliki pergi meninggalkan. Ketika segala yang terjaga perlahan berlalu dan menghilang. Seperti sedang berdiri di sebuah padang tandus yang terik dan kemarau. Kau merasa dahaga, sementara tak ada air untuk diminum dan kawan untuk berbagi penderitaan. Atau seperti berlarian di sepanjang tepian pantai, kau begitu bahagia tapi tak ada teman untuk berbagi keindahan. Apalah artinya sedih dan bahagia, bila tak ada seseorang yang menemani untuk melewatinya.

Mungkin kau pernah mengalami. Merasa begitu sepi di dalam kepala sendiri. Membuatmu lupa bagaimana cara tersenyum. Membiarkan wajahmu memasang seringai-seringai murung. Meluruhkan tangis hingga menganaksungai membasahi pipi. Membuat luka menganga begitu lama. Begitu hampa memeluk kesedihan sendirian. Terpekur mendekap lutut dengan kepala yang disesaki haru dan kesunyian.

Lalu di saat genting —yang mungkin saja membuat seseorang menjadi begitu rapuh dan lusuh— seperti itu, hadir sosok yang mengenyahkan semua kesedihan. Membuatmu lupa bagaimana cara menangis. Memberi warna-warna pada hari-hari kelabu. Menopang sendi, saat langkahmu tak lagi berpijak dengan benar. Menggenggam tanganmu, memberikan ketenangan saat keraguan menelusup dada pelan-pelan. Menegakkan lagi kepalamu, setelah sendu memaksamu untuk merunduk dan memasang wajah-wajah murung. Malaikat tanpa sayap yang bertugas untuk menciptakan tawa dan kebahagiaan. Harapan-harapan yang menyalakan asa untuk kebaikan dan kebahagiaan di masa depan. Kedamaian yang menyembuhkan luka duka masa silam.

Aku pernah merasa sepi.
Lalu kau datang saat aku sedang merasa teramat kesepian.
Selengkapnya

Sejarah Pergerakan Move On

Sejarah pergerakan move on di Indonesia, diawali dari kisah pewayangan melalui tokoh Dewi Shinta yang ingin berpaling dari Rahwana agar bisa kembali ke pelukan Rama.

Pergerakan move on berlanjut pada masa penjajahan. Di mana saat itu Belanda berhasil membuat Jepang menyerah tanpa syarat, menyusul jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Maka, pada masa transisi itu, yang dikenal dengan istilah vacum of power, akhirnya Indonesia terlepas dari keposesifan Belanda dan Jepang. Indonesia memproklamirkan kemerdekaan atas dirinya sendiri.

Hegemoni kekuasaan yang menggurita, membuat rakyat memberontak. Pada tahun 1960-an, pergerakan move on di Indonesia berlanjut. Saat itu rakyat menggugat move on dari orde lama ke orde baru. Seperti banyak diketahui, move on tak selalu baik. Maka, begitu pula yang dirasakan banyak orang. Gugat move on kedua digulirkan. Rakyat Indonesia menuntut pemerintah segera menggalakan move on II yang dikenal dengan Tritura. Akhirnya, muncullah reformasi.

Dewasa ini, pergerakan move on masih digalakan. Salah satunya, adalah keteguhan dan kesabaran seorang pemuda yang begitu berhasrat berpaling dari bayang-bayang cinta masa lalu. -pemuda itu saya, by the way.
Selengkapnya

Lelaki, Perempuan, dan Perbincangan Tentang Memperjuangkan

"Seberapa besar usaha seseorang dalam memperjuangkan cinta yang dimilikinya?"

Tanya sebuah suara perempuan di dalam kamar lengang berukuran 4x3 meter. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kasur seukuran queen sized beds dan lemari kecil untuk sekadar menaruh pakaian 3 sampai 4 stel. Di sudut kamar ada meja rias lengkap dengan cermin. Perempuan itu sedang mematut diri di depan cermin sambil memainkan anak rambutnya yang tergerai menutupi buah dada. Pakaiannya sudah tanggal, tubuhnya yang tinggi dan sintal hanya ditutupi dengan kain tipis bermotif bunga.

"Sebesar cinta yang dia miliki," jawab suara seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kasur sambil memerhatikan setiap lekuk tubuh perempuan yang ada di hadapannya.

"Apakah kau mencintaiku?" perempuan itu berkata lagi, kali ini suaranya terdengar lebih getir.

"Aku mencintaimu," jawab si lelaki dengan tegas. Ada keseriusan dalam nada suaranya.

"Aku lelah melakukan permainan ini. Sembunyi-sembunyi dalam mereguk nikmat. Mencuri-curi kesempatan pergi sendirian agar dapat menemuimu. Lalu menghabiskan waktu berdua dengan tergesa untuk bercinta, hingga aku dapat mencapai puncak orgasme. Setelah itu pulang dengan perasaan cemas karena takut ketahuan. Selalu seperti itu." 

"Lalu kau ingin aku bagaimana?" tanya si lelaki.

"Aku ingin kau memperjuangkan aku. Membuatku bebas bercinta denganmu. Jika benar kau mencintaiku."

"Aku ingin, Re. Sungguh."

"Lantas mengapa kau tak segera memperjuangkan aku, agar dapat kau miliki secara penuh?"

"Bagaimana caranya?"

"Ayo kita rencakan pembunuhan suamiku. Buat ia mati seolah-olah karena kecelakaan. Aku tak kuat lagi merasakan tekanan yang selalu dia berikan. Hatiku hancur menerima perlakuan buruknya. Seolah aku hanya sekadar boneka mainan. Ketika butuh ia dekati, lantas membuangnya saat merasakan bosan. Aku ingin dimuliakan, sebagaimana kau memperlakukanku sebagai perempuan. Ayo, Bob, kita bunuh saja dia," perempuan itu melanjutkan pembicaraannya sambil terisak. Dadanya sesak oleh perasaan amarah yang bergemuruh.

"Tak mungkin, Re. Aku tak mungkin membunuh kakakku sendiri."

"........."

Tik tok jarum jam terdengar dengan lantang. Seisi kamar dipenuhi sunyi dan lengang.
Selengkapnya

Kategori Utama