— keyla
/1/
sore itu, kau datang sebagai senandung pengiring hujan selepas kemarau. sementara aku petani renta yang tak berhenti mengucap alhamdulillah karena ladang—ladang kering kembali basah. kau masuk lalu duduk bersila, bertanya; ‘bolehkah aku menyanyikan lagu lain?’ aku menjawab dengan tanya; ‘bolehkah aku mendengarkan semua lagumu sampai suara kau berubah sengau?’
lalu kau tersenyum. lengkungan yang meluruskan. sesuatu yang membuat duri—duri meranggas di dalam dadaku. sebab terkadang cuaca begitu tega mempersilakan onak tumbuh melesak. ‘kalau begitu, dengarkanlah dengan saksama. jangan perhatikan hal lain, karena lagu ini tak pernah kuperdengarkan pada siapapun.’
kemudian dari bibirmu yang merah jambu mengalun lagu—lagu pateneras. nada melankolia yang mengiringi hujan dengan deras. penggalan larik kisah lampau yang membuatmu hampir mati lemas.
‘berhentilah menyanyikan kidung luka. aku adalah kecup yang diutus untuk melumat aduh di bibirmu.’ —kataku
/2/
sore itu, hujan turun deras sekali
andai kenanganmu badai
aku adalah benteng kokoh anti roboh
/3/
sore itu, cuaca berganti terlalu dini
hujan yang menghunjam deras dadamu
perlahan surut
ada binar mentari pagi dari matamu yang selalu malam
berhentilah menanak air mata
akan kuajari kau kesetiaan daun untuk tetap tumbuh
meski kerap digugurkan musim
___________________
*ps: tentu, dengan senang hati aku akan datang. kau tunggulah aku di sana. jangan lupa membawa buku yang kau ceritakan kemarin.
puisi balasan untuk Pertemuan di Musim Penghujan oleh Tiara Rismala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar