Perempuan Jendela Senja

Kereta melaju dengan kecepatan penuh. Bangku-bangku berjejer dengan penumpang yang hanya terisi setengah dari jumlah yang tersedia. Hari ini Senin, mungkin bukan waktu yang tepat untuk berpergian jauh melintasi provinsi. Atau bisa jadi, minimnya tingkat kenyamanan kereta menjadi salah satu alasan penumpang lebih memilih berpergian dengan moda transportasi lain. Kecuali aku.

Aku memutuskan untuk pergi Malang. Bukan untuk bersenang-senang. Atau sekadar plesir menikmati keindahan panorama yang ditawarkan. Hanya sebuah usaha yang dilakukan agar aku dapat melupakan kenangan dan kehilangan. Beberapa waktu lalu, hubunganku dengan kekasihku kandas. Ah, bukan putus dalam harfiah salah satu dari pasangan selingkuh, atau kehilangan perasaan, atau dilamar orang lain, atau ditinggalkan oleh kematian. Bukan. Kandas dalam artian memutuskan komitmen untuk bersama dalam sebuah alasan prinsip yang berlandaskan agama.

Ah, mungkin kau akan mengerutkan kening. Tunggu sebentar, izinkan aku bercerita sedikit tentang hubunganku dengan kekasihku itu. Aku dan kekasihku memutuskan untuk menjalani sebuah komitmen sederhana. Saling menjaga, saling menyayangi, saling mencintai, namun tak saling memiliki. Hubungan cinta yang saling memiliki hanya terjadi ketika kau mau memutuskan untuk saling menikah. Titik. Begitulah prinsip yang ia hafal betul sejak masuk usia remaja. Sayangnya, aku belum berniat untuk meminangnya menjadi istri. Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa pengangguran dengan biaya hidup seadanya lantas memutuskan untuk menjadikan perempuan yang dicintainya sebagai istri? Bah! Mau makan apa istriku nanti?

Maka, suatu saat, —tepatnya seminggu lalu—, ia memutuskan untuk menyudahi semua komitmen itu. Bukan tak mencintai. Hanya agar aku dan ia bisa sama-sama mengerti, bahwa perihal rezeki, jodoh, pun kematian, tak akan salah dalam menentukan pilihannya. Hubunganku karam setelah itu.

Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk menyendiri di bangku deretan kesembilan di tepi jendela. Dengan kepala yang sesak oleh kelebat kenangan cinta masa silam. Di temani bising suara laju roda yang bergesekan dengan rel kereta. Ada kehampaan menelusup, juga perih yang menyayat dada pelan-pelan, saat kubiarkan semua luka menceritakan kesedihannya. Bukankah menyakitkan? Ketika kau dipaksa untuk melepaskan, sementara engkau tahu bahwa ia belum mau kehilangan? Bukankah menyebalkan? Ketika kau dipaksa menafikan rindu, sementara kau tahu bahwa yang dirindukan masih teramat merindukanmu.

***********

Aku terbangun dari tidur. Mengingat luka ternyata mudah membuat kantuk. Atau mungkin pikiranku yang terlalu lelah mengenang dan memikirkan. Entahlah.

Mataku berkeliling melihat suasana di dalam gerbong pada sore hari. Ada bapak tua yang bersandar di pundak istrinya. Di sampingnya kulihat ada anak yang menangis, mungkin tak sabar ingin segera sampai di stasiun tujuan, sementara orang tuanya sedang enak tertidur pulas. Di sudut lain kulihat seorang kakek tua yang sedang tersenyum memerhatikan sebuah lembar foto, mungkin foto sanak keluarga, atau kerabat yang baru saja ditemuinya. Tiba-tiba mataku tertambat pada satu perempuan yang duduk seorang diri di seberang kursi milik kakek tua tadi. Perempuan dengan rambut sebahu yang tergerai bebas dengan warna hitam kemilau. Bibir merah mudanya berkilau dengan memesona. Mata bulatnya sedang asyik memerhatikan sawah-sawah terhampar yang menjingga terpercik sinar mentari senja. Pipinya menjadi semu memerah tersengat sinar matahari sore yang menelusup melalui kisi-kisi jendela. Ah, cantik benar. Dadaku berdesir memerhatikannya dari jauh.

Kuberanikan diri untuk mendekatinya.
"Hai, sendirian? Hendak ke mana?" sapaku, sok akrab.
Ia menoleh pelan. Mungkin terkejut melihat seseorang tiba-tiba saja berada di sampingya.
"Heu? Iya.. Sendiri.. Mau ke Batu, Malang."
"Wah, berarti sama dong sama saya."
"Oh, mas mau ke Batu juga? Asal sana atau berkunjung?"
"Bukan, saya dari Jakarta. Mau berkunjung saja. Mbak sendiri?"
"Sama, saya juga dari Jakarta."
"Perkenalkan, nama saya Ranggi." kuulurkan tangan sebagai tanda perkenalan.
"Saya Jingga."

Jingga asli Jakarta, tepatnya Pondok Indah. Ini kutahu dari obrolan sepanjang perjalanan menuju Malang. Aku memutuskan untuk berpindah tempat duduk. Sungguh menyenangkan mendapat teman dalam perjalanan. Entah apa yang ia rasakan, kulihat ia baik-baik saja ditemani olehku. Itu terbukti dari tawanya yang renyah ketika aku mulai mengajak ia bercanda.

***********

"Kamu ngapain ke Malang, Nggi?", tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan.
"Main saja.", jawabku sekenanya.
"Main atau pelarian?", dia mulai menggoda.
"Hmm."
"Kok nggak jawab? Benar yah pelarian?"
"Kan aku udah jawab, aku mau main ke Malang."
"Oh, yaudah kalau nggak mau jujur." Jingga memalingkan wajahnya ke jendela.
"Dih, itu jujur kali. Kamu sendiri ngapain ke Malang? Jangan-jangan kamu ya yang pelarian?", aku balik bertanya.
Dia diam. Wajahnya masih menoleh ke arah jendela. Tiba-tiba aku melihat air yang menitik dari sudut matanya.
"Loh? Kok malah nangis? Kenapa?", aku buru-buru bertanya.
Anggi menyeka air mata dengan punggung tangannya.
"Hehehe, nggak apa-apa. Silau ngelihat matahari." 
"Ye, udah jelas-jelas itu nangis."
"Nggak kok, ini karena silau. Nggak percaya banget."
"Oh, iya deh, silau. Mau berapa lama kau di Malang, Jingga?"
"Entahlah, mungkin beberapa lama."

Kubiarkan ia menyendiri dalam pikirannya sendiri. Sementara mataku berkeliling melihat pemandangan sawah yang terhampar. Mungkin sebentar lagi sampai, batinku.

***********

Penumpang mempersiapkan bawaannya. Petugas kereta berkata sebentar lagi sampai. Aku mengemasi barang bawaan, memastikan tak ada satu pun yang tertinggal. Begitu pula Jingga, sudah sedari tadi ia mempersiapkan barang bawaannya.

Kereta berhenti. Penumpang mulai turun satu persatu. Aku memerhatikan Jingga. Sepertinya ia mulai melupakan tangisnya sore tadi. Senyumnya mengembang setelah tahu daerah tujuannya sudah berada di depan mata.

Langit Malang terlihat gelap. Bintang gemintang berkerlap-kerlip menghiasi pekatnya. Angin berdesir, menghadirkan dingin yang menusuk kulit.

"Kau hendak kemana dulu, Nggi?"
"Entahlah, aku belum pernah ke sini. Mungkin akan mencari penginapan dulu, baru esoknya mencari bus ke Batu. Kau sendiri?"
"Serupa. Aku sama sekali buta daerah Malang. Yang aku tahu, di sini banyak tempat pariwisata. Itu saja. Hehehe." jawab ia dengan memamerkan gigi putih berserinya.
"Ya sudah, ikut denganku saja."
"Ha?"
"Yaudah kalau nggak mau." aku berbalik badan, berjalan perlahan memunggungi ia.
"Hei, tunggu. Sensitif sekali kau jadi lelaki." ia menyusul langkahku, lalu tiba-tiba jemarinya pelan-pelan menggenggam tanganku.
"Heu?" aku meliriknya.
"Temani aku di sini. Aku ingin berdamai dengan kenangan." bisiknya pelan.

2 komentar:

Kategori Utama