"Terus kenapa kalau aku punya jerawat?"
"Ya nggak apa-apa, toh aku masih bisa menikmati wajah lucumu yang memerah malu setiap kali aku menggodamu."
"Tadi kenapa bilang aku jerawatan?"
"Ya cuma bilang aja."
"Bohong."
"Sensitif banget, baru ngomongin jerawat. Bagaimana kalau aku bilang kamu kayak monster laut?"
"Ih kamu jahat banget bilang aku kayak monster laut. Biar jerawatan kamu masih tetap suka, kan?"
"Belum tentu."
"Maksudnya?"
"Ya, tergantung. Kalau kamu bisa percaya diri dengan wajahmu yang berbintik ketika jerawatan, mungkin aku akan santai saja berjalan berdua denganmu. Tapi, kalau dengan satu bintik jerawat membuat kamu seperti buronan yang khawatir tertangkap, mungkin lebih baik aku cuekin kamu."
"Dih gitu banget. Memang apa yang salah dengan jerawat?"
"Loh, harusnya aku yang tanya itu. Kenapa kamu jadi sibuk memikirkan hal remeh seperti itu?"
"Wajah yang cantik kan penting untuk perempuan."
"Hati yang baik jauh lebih cantik."
"Tapi, wajah kan bisa jadi ukuran untuk penilaian pertama."
"Kenapa sibuk berusaha untuk selalu tampil baik? Ada hal yang lebih penting, yaitu kenyamanan dirimu sendiri."
"Aku nggak pede kalau ada jerawat."
"Ya terserah kamu."
"Ih, jutek banget sih jadi cowok. Getok juga nih kepalanya."
"Mau pede atau nggak itu kan hak kamu. Toh dua-duanya bisa bikin kamu jadi punya sikap. Jangan getok kepala, lagi nggak pakai helm. Kalau memar kamu mau tanggungjawab?"
"Hehehe, iya deh tuan. Emang kamu bakal tetap sayang kalau aku banyak jerawat?"
"Aku sayang kamu dengan dua persiapan. Pertama, pesona cantikmu. Kedua, kebaikan dan ketulusan hatimu. Jadi, kalau aku kehilangan satu alasan, aku masih bisa bertahan dengan alasan yang menyisa. Pun bila tidak, aku akan mencari-cari alasan sendiri agar tetap mencintaimu."
"Ye malah gombal."
"Hehehe, ya nggak apa-apa lah, tuh lihat wajah kamu merah. Senang kok malu. Peluk dong."
"Hehehe, sial. Kamu menang! Aku juga cinta kamu."
Aku melihat ia dan lelakinya berpelukan dari jauh. Rasanya siksa, saat memerhatikan ia dan lelakinya bercengkerama mesra. Saling mendebati hal yang tak penting lalu tertawa bersama untuk menikmati senja di depan beranda rumah. Aku masih belum mampu merelakan sepenuhnya, wanitaku yang dulu pernah kucinta, lebih memilih ia menjadi kekasihnya dibanding mempertahankan hubungan yang pernah aku dan wanitaku jaga.
Dari jauh, aku masih memerhatikannya. Dan mereka telah melakukan ciuman yang kedua.
Aku pikir percakapannya antara si penulis dengan kekasihnya. Ternyata? :'))
BalasHapusOh, anyway, ceritanya sweet :'*
Saya pikir juga begitu #lho
HapusTerima kasih sudah baca :D
Aaaaaah so sweet~~~\o/
BalasHapusKuat banget sih Lo merhatiin mantan ciuman sama pacarnya, gue gak kuat kayak gitu.
BalasHapusBtw, gue suka gaya bahasamu
Iya, nggak tahu nih kenapa bisa kuat :/
HapusThanks :D
ternyata galih bukan mas nanto
BalasHapus"Aku masih belum mampu merelakan sepenuhnya, wanitaku yang dulu pernah kucinta, lebih memilih ia menjadi kekasihnya dibanding mempertahankan hubungan yang pernah aku dan wanitaku jaga."
BalasHapusgjreeeeep..... :D
sekilas sih seperti tersurat, tapi... ini maknanya bsa saja tersurat :D
I mean.. "kekasihnya" ^_^
Aaak... Terima kasih ya
HapusManis banget, tapi endingnya bikin hati geter-geter serrrh gitu.
BalasHapusAwas hatinya copot terus jatoh ke dengkul
Hapusaaa kraataak banget :')
BalasHapusGaring ye kayak emping.
Hapus