Kepada pagi.
Kepada embun.
Kepada rintik yang menitik ujung daun.
Ingin kunikmati hari dengan teduh.
Dengan hangat peluk bersauh.
Aku masih duduk di sudut itu. Duduk menggigil mendekap lutut. Hening telah sempurna memenuhi udara. Tak ada suara. Sepi. Tak ada apa-apa. Kecuali kenangan yang perlahan tercetak jelas dalam pikiran. Menyublim bersama bulir kerinduan yang menetes perih tak berkesudahan.
Mungkin alismu bertautan sesaat setelah membaca suratku. Lalu tanganmu menggaruk kepala yang tak gatal. Pikiran mengawang jauh, mempertanyakan apa pula maksud dari surat ini. Biarlah... Bingung yang kau rasa belum lebih hebat dibanding kerinduanku yang telah jauh menusuk dada. Anggap saja deretan aksara yang kau baca adalah isyarat kerinduan yang sudah lama ingin bersua.
Apa kabar, kamu?
Masihkah dingin melingkupi semestamu?
Atau hangatnya mentari membuat rona merah di wajahmu?
Di sini, langit menurunkan gerimis dengan melodi ritmis. Bila kau memelukku tepat di belakang, mungkin akan terasa lebih manis.
Dulu, kita kerapkali menikmati hujan berdua. Melawan dingin yang ditawarkan semesta dengan meminum dua gelas cokelat panas. Sesambil ditingkahi hangatnya canda tawa kita. Saat itu, hatiku bersorak dalam gempita paling mesra. Adakah kau merindukan juga?
Rasanya aku semakin tak tahan dengan perasaan dan pikiranku sendiri. Pernah aku mencoba melawan kenangan dengan berusaha sekuat mungkin untuk mengabaikan. Tapi kemudian, magis senyum wajahmu malah semakin jelas menggantung dalam ingatan. Aku menyerah saat itu juga. Membiarkan kerinduan masuk dengan caranya.
Maka, inilah yang aku lakukan sekarang. Menuliskan surat untukmu. Berharap kerinduan ikut terbawa pada setiap aksara yang tertera.
Jaga dirimu baik-baik.
Lindungi pesonamu dengan apik.
Aku berdoa dengan lafadz paling baik.
Peluk hangat,
Lelakimu.
bagus banget mas aih :)
BalasHapusIni top, mas :)
BalasHapusBlogwalking yuk ke givitani.blogspot.com :)
mantap mas!
BalasHapus