Lelaki Tua Berpayung Hitam

Aku sedang duduk di sebuah kedai kopi saat melihat seorang lelaki tua berjalan tergopoh-gopoh dengan payung hitam untuk melindunginya dari hujan di seberang jalan. Lelaki tua itu mengenakan topi berwarna merah, terlalu besar untuk menutupi kepalanya yang tak lagi ditumbuhi rambut. Kedua belah kakinya membentuk huruf O, berjalan pelan dengan punggung membungkuk, tak peduli pada genangan air yang membasahi sepatu hitam yang dikenakannya. Lalu berdiri di samping tiang lampu lalu lintas yang sedang menunjukkan warna hijau.

Aku sudah meminum espresso tegukan terakhir saat melihat lelaki itu masih berdiri di sana, -di samping tiang lampu lalu lintas-, meski lampu sudah menunjukkan warna merah berkali-kali, tanda untuk menyeberang bagi pejalan kaki. Berdiri diam dengan payung hitam yang terbuka. Pandangannya hanya lurus ke depan, tak memperhatikan lalu lalang pejalan kaki yang hilir mudik menyeberang. Sesekali melihat pergelangan tangan untuk melirik jam. Selain itu, hanya ada ia yang begitu fokus melihat jalan raya, entah apa yang diperhatikannya.

Selesai meminum segelas espresso tanpa sisa, aku melangkah keluar kedai kopi, memutuskan untuk pulang. Mencoba tak mempermasalahkan lelaki tua berpayung hitam yang hampir satu jam hanya berdiri diam di samping tiang lampu lalu lintas di ujung jalan.

Keesokan harinya, aku kembali ke kedai kopi. Betapa menyenangkan duduk berlama-lama meminum kopi sambil mengisap berbatang-batang rokok selepas seharian bekerja. Menyegarkan kembali kepala yang penat disibukkan dengan berbagai rutinitas yang menguras banyak stamina.

Kemudian aku melihat orang itu lagi, lelaki tua berpayung hitam berjalan tercepuk-cepuk menuju tiang lampu lalu lintas di ujung jalan. Berdiri diam dengan payung terbuka dengan pandangan mata yang hanya lurus ke jalan raya.

"Apa yang dilakukan bapak itu?" tanya sebuah suara pada orang di sampingnya. Aku menyimak pembicaraan mereka sambil menyeruput kopi pelan-pelan.
"Ia menjemput istrinya," jawab suara yang lain.
"Istrinya yang mana? Kemarin gue lihat dia diam aja di sana. Istrinya nggak ada, tuh, sampai dia akhirnya pulang."
"Istrinya sudah meninggal dua tahun lalu."
"Ha?"
"Iya, istrinya udah meninggal. Kecelakaan dua tahun lalu. Tertabrak mobil saat ingin menyeberang. Sejak saat itu, ia selalu kembali ke sana. Banyak orang bilang, harusnya lelaki itu datang menjemput istrinya pada saat kecelakaan itu terjadi. Tapi ia sedang sibuk bekerja. Mungkin ia menyesal tak memprioritaskan istrinya yang meminta jemput pada saat itu. Hingga akhirnya sampai sekarang ia habiskan waktu untuk berdiri diam di sana. Menunggu istrinya datang."
"Astaga."

Kedua lelaki itu menyudahi perbincangannya. Hari sudah semakin sore saat aku melihat lelaki tua berpayung hitam masih berdiri di samping tiang lampu lalu lintas di ujung jalan. Celananya sudah basah terkena tempias hujan yang jatuh di genangan air. Hujan turun dengan sangat deras. Tiba-tiba lelaki tua itu menjatuhkan payungnya, terlihat tubuhnya mulai tak seimbang. Sejurus kemudian, ia jatuh terjerembab. Aku keluar kedai kopi, berlari menuju lelaki tua berpayung hitam yang jatuh. Menyeberang dengan asal, tak peduli pada bunyi klakson mobil dan motor yang hampir menabrakku.

"Bangunlah...," aku mendekap tubuh lelaki tua yang jatuh.
"Ayah.. bangunlah.. ayo kita pulang. Ibu tak akan kembali lagi."

3 komentar:

Kategori Utama