[Puisi Esai] Bangun Peradaban

Bacalah!1

___________________________________________________________________________________________

1. Term iqra’ merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang berarti “bacalah”, yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)

Artinya: “1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah”.

Sungguh mengherankan, karena perintah membaca ini ditujukan kepada orang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ankabut: 48,
Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.

Bahkan Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi, tidak mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis, diterangkan dalam QS. Al-A’raf: 158,
Artinya: “Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Namun, keheranan ini akan sirna jika diketahui arti kata iqra’ yang sebenarnya dan diketahui pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Kata iqra’ atau perintah membaca memiliki makna yang sangat mendalam dan strategis dalam ilmu pengetahuan. Dan realisasinya merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Mengapa demikian? Dalam makalah ini akan dijelaskan menganai makna iqra’ dan juga falsafahnya. Terutama makna iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.

Makna Kata Iqra’
Menurut Quraish Shihab, kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a (قرأ) yang pada mulanya berarti “menghimpun”. Apabila kita merangkai huruf atau kata kemudian kita mengucapkan rangkaian kata tersebut, maka kita telah menghimpunnya. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra’, yang diterjemahkan dengan “bacalah”, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh prang lain. Karenanya, kita dapat menemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa, antara lain, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang semuanya bisa dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.
Menurut Yusuf Qardhawi, kata iqra’ secara etimologi berarti membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku. Sedangkan secara terminologi, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam semesta (ayat al-kaun).
Sedangkan menurut Al-Maraghi sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul “tafsir ayat-ayat pendidikan”, bahwa kata iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dapat diartikan “jadilah engkau (Muhammad) seorang yang pandai membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya”.
Menurutnya pula, pengulangan kata iqra’ pada QS. ‘Alaq ayat 3 didasarkan pada alasan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa kecuali dengan diulang-ulang dan membiasakannya sebagaimana dalam tradisi. Perintah Tuhan untuk mengulang membaca berarti pula mengulangi apa yang dibaca. Dengan cara demikian bacaan tersebut menjadi milik orang membacanya. Kata iqra’ mengandung arti yang amat luas, seperti mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, dan membuktikan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna iqra’adalah membaca segala sesuatu yang ada dihadapan kita, baik itu berupa tulisan atau bacaan, ayat-ayat suci al-Qur’an, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, fenomena alam, maupun dunia seisinya (alam semesta). Dan bahwa membaca tidak cukup jika dilakukan hanya sekali saja, membaca harus dilakukan secara berulang-ulang agar bisa sampai pada tingkat pemahaman yang mendalam serta membekas dalam jiwa.

Ayat-ayat Tentang Iqra’
Dalam Al-Qur’an, kata iqra’ terulang sebanyak tiga kali. Sedangkan ayat-ayat lainnya yang mengandung arti “membaca” hanyalah kata jadian dari akar kata qara’a, dan juga dari akar kata lain, seperti kata tala. Berikut ayat-ayatnya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”. (QS. Al-‘Alaq: 1).

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ 

“Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah”. (QS. Al-‘Alaq: 3).
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (QS. Al-Isro’: 14).

“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204).
  
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu”.(QS. Al-Yunus: 94).
 “Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus”. (QS. Al-Baqarah: 252).

“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakanlembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)”. (QS. Al-Bayyinah: 2).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’adan tala. Seperti pada QS. Al-Muzzammil: 20, QS. Al-Kahfi: 106, QS. Ali Imran: 58, QS. Al-Isro’: 45, QS. Al-Haqqah: 19, QS. Al-Ankabut: 45, dan lain-lain.

Ayat-ayat di atas meneragkan bahwa yang dimaksud iqra’ atau membaca adalah membaca lembaran-lembaran suci yaitu al-Qur’an, kecuali pada QS. al-‘Alaq ayat 1 dan 3, karena di dalamnya tidak dijelaskan maupun dispesifikkan  objek bacaan yang dimaksudkan, sehingga dapat dikatakan bahwa kata iqra’tersebut memilliki objek yang bersifat umum, yaitu tidak hanya membaca bacaan, tulisan atau pun al-Qur’an, tetapi juga membaca yang lainnya, seperti membaca fenomena alam, peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar, dan sebagainya.

Pentingnya Membaca
Jika diamati, objek mambaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a, terkadang berupa bacaan yang bersumber dari Allah, seperti Al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya, misalnya QS. Al-A’raf: 204, dan QS. Yunus: 94. Terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah, misalnya QS. Al-Isro’: 14.
Di sini juga terdapat perbedaan antara “membaca” yang menggunakan akar kata qara’a dengan “membaca” yang menggunakan akar kata tala, di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar, misalnya QS. Al-Baqarah: 252, dan QS. Al-Bayyinah: 2.
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata kerja dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena dalam QS. Al-‘Alaq kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebutkan sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik itu ayat suci Al-Qur’an, alam raya, masyarakat, diri sendiri, majalah, koran, dan sebagainya.
Menurut Iskandar AG Soemabrata, dengan kata lain iqra’ juga dapat dipersamakan dengan melihat, sekaligus mengamati dan memperhatikan, serta merekam dalam ingatan objek apa saja yang ada dihadapan kita, sehingga nantinya dapat mengambil manfaat dari apa yang kita perhatikan itu. Karenaiqra’ (membaca) sebenarnya tidak terbatas pada ayat-ayat yang tertulis saja (ayat-ayat qauliyah), tetapi juga membaca ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam ini (ayat-ayat kauniyah).
Dalam QS. Al-‘Alaq, perintah membaca, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan “bi ismi Rabbika” (dengan nama Tuhanmu). Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut si pembaca bukan saja agar membaca dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan “nama Allah” itu. Karena yang memerintah membaca adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.
Demikianlah, Al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.

2. Bacalah! Bacalah!
Surat ini adalah yang pertama kali turun pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu. Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- enggan. Beliau berkata,

مَا أَنَا بِقَارِئٍ

“Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan“. Yang dimaksud menciptakan di sini adalah menciptakan makhluk secara umum. Tetapi yang dimaksudkan secara khusus di sini adalah manusia. Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana disebut dalam ayat selanjutnya,

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Manusia bukan hanya dicipta, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk menjelaskan perintah dan larangan ini diutuslah Rasul dan diturunkanlah Al Kitab (Al Qur’an). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.

Bentuk Kasih Sayang Allah: Diajarkan Ilmu
Setelah itu, Allah memerintahkan,

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ

“Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.” Disebutkan bahwa Allah memiliki sifat pemurah yang luas dan karunianya yang besar pada makhluk-Nya. Di antara bentuk karunia Allah pada manusia -kata Syaikh As Sa’di rahimahullah- adalah Dia mengajarkan ilmu pada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Manusia dikeluarkan dari perut ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu.” (Taisiri Al Karimir Rahman, hal. 930).

Allah mengajarkan pada manusia Al Qur’an dan mengajarkan padanya hikmah, yaitu ilmu. Allah mengajarkannya dengan qolam (pena) yang bisa membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan pada mereka. Alhamdulillah, atas berbagai nikmat ini yang sulit dibalas dan disyukuri.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Al Qur’an yang pertama kali turun adalah ayat-ayat ini. Inilah rahmat dan nikmat pertama yang Allah berikan pada para hamba. Dalam awal surat tersebut terdapat pelajaran bahwa manusia pertama tercipta dari ‘alaqoh (segumpal darah). Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah ia mengajarkan pada manusia apa yang tidak mereka ketahui.”

Keutamaan Ilmu

Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata, “Seseorang itu akan semakin mulia dengan ilmu diin yang ia miliki. Ilmu itulah yang membedakan bapak manusia, yaitu Adam dengan para malaikat. Ilmu ini terkadang di pikiran. Ilmu juga kadang di lisan. Ilmu juga terkadang di dalam tulisan tangan untuk menyalurkan apa yang dalam pikiran, lisan, maupun yang tergambarkan di pikiran.”

Keutamaan Selalu Mengikat Ilmu dengan Tulisan
Dalam atsar disebutkan,

قيدوا العلم بالكتابة

“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 106. Dihasankan oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2026).

Dalam atsar lainnya juga disebutkan,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ

“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan dia ilmu yang ia tidak ketahui.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’, 10: 15. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini maudhu’ atau palsu. Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 422)

Arti Kata Akram dan Dorongan Al-Qur’an untuk Meningkatkan Minat Baca
Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan “wa Rabbuka al-akram”. Ayat ini antara lain merupakan dorongan untuk meningkatkan minat baca.
Dalam Al-Qur’an hanya dua kali ditemukan kata “al-akram”, yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 3 dan pada QS. Al-Hujarat ayat 13:

 “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.

Kata “akram” yang berasal dari kata “karama”, biasanya diterjemahkan dengan “Maha Pemurah” atau “Semulia-mulia”. Akan tetapi kata ini digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya. Seperti lafal قولاكريما (QS. Al-Isro’: 23) dan lafal كريم رزق (QS. Al-Anfal: 4). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, enak didengar dan mudah dipahami. Sedangkan katakarim pada rezeki, yang dimaksud adalah rezeki yang banyak, bermanfaat serta halal.
Lafal “wa Rabbuka al-akram”, yang disifati di sini adalah Rabb(Tuhan Pemelihara). Ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan kata akram yang tidak dibatasi pengertiannya dalam suatu hal tertentu. Lafal tersebut mengandung pegertian bahwa Tuhan dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi hamba-Nya yang membaca.

Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besarkaram Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini bisa menjangkau sifat Tuhan Yang Maha Mutlak dan tidak terbatas itu? Meskipun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan oleh Quraish Shihab sebagai berikut:

“Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam-Nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui”.

“Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan atau pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut”.

“Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia akram (memiliki segala macam kesempurnaan)”.
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.

Peradaban yang Dibangun Oleh “Makhluk Membaca”
Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama guna membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, begitu juga sebaliknya, maka tidak mustahil jika suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai “makhluk membaca”, suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari deinisi-definisi lainnya, seperti “makhluk sosial” atau “makhluk berpikir”.
Manusia bertugas sebagai “abd lillah” dan juga sebagai “khalifah fi al-ardh”. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia yang merupakan persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Kekhalifahan menuntut hubungan antara manusia dengan manusia, hubungan dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan juga menuntut kearifan. Karena, agar manusia mampu mencapai tujuan diciptakannya sebagai khalifah, maka dibutuhkan adanya pengenalan terhadap alam raya, yaitu dengan usahaqira’at (membaca, menelaah, mengkaji, meneliti, dan lain-lain).
Demikianlah, iqra’ merupakan isyarat utama dan pertama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan oleh Allah swt. Kepada manusia.

Iqra’ yang merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu pada QS. Al-‘Alaq berarti “bacalah” (perintah membaca). Iqra’ di sini tidak disebutkan objeknya secara khusus, oleh karena itu objeknya bersifat umum. Membaca tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis atau ayat-ayat yang tertulis saja (ayat al-qauliyah), tetapi juga membaca alam semesta atau ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam ini (ayat al-kauniyah).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, merupakan perintah membaca yang mengharuskan pembaca ikhlas melakukannya hanya karena Allah semata. Sebab yang memerintah adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah”. Menggambarkan manfaat yang akan diperoleh pembaca dari apa yang dibaca. Allah menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, dan wawasan-wawasan baru, walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Demikianlah, iqra’ merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dan disinilah letak mengapa membaca memiliki makna yang mendalam dan strategis dalam lmu pengetahuan. Karena seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan tanpa membaca dan membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya, sehingga manusia memiliki peradaban yang tinggi.

Referensi

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Semarang; Toha Putra, 1985.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta; Ponpes al-Munawwir, 1984.
Nata, Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 2002.
Qardhawi, Yusuf, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gema Insani, 1998.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997.
Soemabrata, Iskandar AG, Pesan-pesan Numerik Al-Qur’an, Jakarta, Republika, 2007.
Watt, W. Wontgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan Atas Karya Bell,terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta; Rajawali Pers, 1995.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.


3 komentar:

  1. Kalau ke-esai-an sebuah puisi didasarkan pada catatan kaki yang dimiliki, kasihan sekali genre puisi ini. Saya hanya bingung, kenapa kemewahan makna puisi menjadi sedemikian sempit dengan adanya genre baru ini. Saya bukan orang yang pandai dalam memahami sastra dan segala tetek bengek lainnya, tapi yang saya pahami dari sebuah puisi adalah kekayaan makna yang dimilikinya. Bila sebuah puisi dimaknai dengan catatan-catatan kaki, apalah arti intrepetasi dan penafsiran sebuah puisi. Sekali lagi, saya hanya bingung dan kasihan sekali dengan genre puisi ini.

    BalasHapus

Kategori Utama