Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu. Hari ini Fandi telat masuk sekolah. Matanya yang terjaga sampai dini hari membuat ia bangun kesiangan. Bola matanya yang bulat kini dihiasi kelopak mata yang menghitam akibat kurang tidur. Gairah bersekolah hari ini lenyap seiring rasa kantuk yang menggelayut di pelupuk matanya.
Fandi tiba di sekolah sesaat sebelum gerbang sekolah ditutup. Beruntung ia masih kuat berlari mengejar waktu. Bila tidak, bisa-bisa ia disuruh pulang kembali oleh satpam. Peraturan sekolah tidak selonggar dulu, kini siswa yang datang terlambat lebih dari lima belas menit tak lagi memiliki harapan untuk mengikuti kegiatan belajar. Kalau kau telat, silakan pulang. Demikian yang disampaikan satpam sekolah yang berasal dari Ambon ini.
"Loh, kamu telat juga? Haha, habis ngeronda ya, Jihan?" ucap Fandi kepada perempuan yang sedang sibuk membetulkan letak kaos kakinya yang turun akibat berlari.
"Ih, enak aja. Semalam banyak nyamuk. Aku digigitin, tuh sampai merah-merah. Jadinya nggak bisa tidur," jawab Jihan sambil menunjukkan tangannya yang merah-merah akibat gigitan nyamuk.
"Nyamuknya centil juga, ya. Semalaman gigitin kamu. Kayak nggak ada kerjaan lain lagi aja," lanjut Fandi mengajak bercanda.
"Hahaha terserah! Udah ah, aku mau masuk kelas, gurunya galak," ucap Jihan sambil tertawa. Giginya yang putih berseri dan pipinya yang memerah menambah cantik paras wajahnya.
"Engh.. Iya. Selamat belajar, ya." jawab Fandi gugup seketika.
Jihan meneruskan langkah menuju ruang kelas. Sementara Fandi masih terpaku di depan gerbang, memerhatikan punggung Jihan yang menjauh. Perlahan, ia tersadar dari lamunan. Lalu kembali bergegas menuju ruang kelas.
******
"Woy, Fan! Bengong aja lo. Lagi sakit?" sapa Rendi sambil menepuk pundak Fandi di kantin sekolah.
"Ah, sialan lo! Nggak. Gue sehat. Masih ganteng gini. Apanya yang sakit?" jawab Fandi sekenanya.
"Dih, pede banget lo! Terus ngapain bengong? Mikirin si Jihan, lo ya? Hahaha," goda Rendi.
"Iya nih, bro. Tadi pagi pas di gerbang gue lihat dia. Senyumnya itu loh, ya ampun, lutut gue sampai lemes ngelihatnya," ucap Fandi cengengesan menimpali pertanyaan Rendi.
"Ah, giliran sama gue aja lo pede. Sama Jihan malah takut-takut. Udah empat tahun lo suka sama dia, tapi cuma didiemin aja. Utarain dong perasaan lo!"
"Nggak berani gue, Ren. Gue takut dia nolak gue. Lebih baik kayak gini, deh. Jatuh cinta diem-diem. Jadi gue nggak perlu takut-takut dia nolak gue," jawab Fandi.
"Yaelah, bro. Cinta itu butuh pengungkapan. Itu baru namanya laki. Seenggaknya kalau lo tembak, lo kan jadi tahu dia suka sama lo juga apa nggak. Ya minimal lo jadi nggak perlu nebak-nebak gimana perasaan dia sama lo," lanjut Rendi.
"Ah, tua banget lo, Ren. Pakai segala nasihatin gue. Cari pacar dulu lo, baru deh nasihatin gue," jawab Fandi sambil menepuk pundak Rendi.
"Hahaha, ya minimal gue nggak mendem perasaan sampai empat tahun kayak lo! Cemen lo!"
"Ah, sialan lo. Udah yuk, masuk kelas lagi. Udah bel lagi tuh."
"Ayo!" ucap Rendi sambil beranjak menuju kelas lagi.
*****
"Hai, Jihan, hari Minggu besok kamu ada acara nggak?" sapa Fandi saat menemui Jihan ketika pulang sekolah.
"Hah? Kosong kayaknya Fan. Kenapa?" jawab Jihan dengan memasang wajah bingungnya yang terlihat lucu.
"Nonton, yuk. Katanya lagi banyak film bagus."
"Oh, ayo deh. Berdua aja?"
"Iya, berdua aja."
"Yaudah, aku mau."
"Oke, besok sore aku jemput kamu, ya."
"Iya."
******
Aku udah di depan rumah kamu, nih.
Sebuah pesan terkirim ke ponsel Jihan.
Iya, tunggu sebentar, ya.
Tak lama kemudian Jihan muncul dari pintu rumahnya. Badannya yang ramping dibalut dengan cardigan berwarna hitam dan celana jeans. Tampilan yang terlalu sederhana bagi seorang perempuan, tapi paras Jihan yang jelita terlihat pantas-pantas saja mengenakannya.
"Udah siap? Yuk berangkat. Ini helmnya." ucap Fandi sambil menyerahkan helm kepada Jihan.
"Sudah, yuk."
Jarak menuju teater bioskop dari rumah Jihan tidak cukup jauh. Mereka hanya perlu melewati komplek perumahan Jihan lalu kemudian melintasi jalan raya menuju arah kota. Jika sudah bertemu dua kali lampu lalu lintas, maka mereka hanya perlu belok ke kanan untuk masuk ke pelataran parkir teater bioskop.
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Hanya sesekali Fandi mencoba mengajak bercanda Jihan meski terlihat sedikit kikuk.
"Aku nih, ya, kalau nonton bioskop nggak pernah bawa tikar dari rumah. Keren 'kan?" ucap Fandi memecah keheningan.
"Ya iyalah, Fandi. Emang kamu mau piknik? Hahaha," terdengar sayup-sayup suara Jihan di antara riuh suara kendaraan yang berlalu-lalang.
"Oh, iya, ya. Yang bikin aku senang nonton di bioskop itu soalnya filmnya nggak pernah dipotong iklan. Jadinya bisa nonton serius dari awal sampai akhir," lanjut Fandi.
"Ih, kamu garing banget sih, Fan. Hahaha, bodo amat ah terserah kamu aja,"
"Eh, udah mau sampai nih,"
"Iya, kamu hati-hati bawa motornya,"
"Iya, bawel."
Selepas turun dari motor, mereka bergegas masuk ke dalam teater bioskop.
*****
"Gimana tadi filmnya? Seru nggak?" ucap Fandi saat berada di taman dekat pelataran parkir teater bioskop. Ia senang bukan kepalang bisa berduaan dengan Jihan dalam waktu yang cukup lama.
"Seru banget! Ceritanya juga haru. Tadi ada beberapa adegan aku malah nangis. Hehehe," ucap Jihan malu-malu.
"Ah, itu mah karena kamu aja yang cengeng."
"Ye, nggak cengeng kali. Emang ceritanya aja yang sedih."
"Hahaha, iya deh. Eh, Jihan, ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Yaudah ngomong aja."
"Mmm.. Makasih udah nemenin hari ini."
"Iya, Fandi. Harusnya aku yang bilang makasih, karena udah diajak nonton hari ini."
"Emm, Jihan. Aku suka kamu. Sejak empat tahun lalu."
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Angin malam berdesir meniup rambut Jihan yang tergerai bebas. Menunjukkan anting kecil yang menggantung di telinganya.
"Hai, Fan! Udah selesai nontonnya?" tiba-tiba Rendi muncul di hadapan mereka.
"Heu? Rendi? Udah Ren. Lagi ngapain lo?" jawab Fandi dengan wajah bingung.
"Ini, mau jemput cewek gue. Yuk, han, pulang. Tadi mamah kamu nelepon aku, nyuruh jemput kamu ke sini," ucap Rendi ke arah Jihan.
"Yuk Ren. Emm, Fandi. Maaf ya, aku pulang duluan. Makasih hari ini." ucap Jihan kepada Fandi.
"Oh, iya Jihan. Sama-sama, hati-hati di jalan, ya."
"Mmm, Jihan. Sebentar ya," ucap Rendi kepada Jihan sebelum beranjak pulang.
Rendi menghampiri Fandi yang duduk bersandar di bangku taman, kemudian berbisik pelan,
"Sorry, Fan. Gue udah jadian sama Jihan sejak 3 bulan lalu. Kemarin gue bilang lo suruh ngutarain perasaan lo, biar lo tahu, lo jangan nunggu lagi. Waktu lo udah habis cuma buat nunggu. Lo harus sadar, kalau cinta itu dijemput. Bukan cuma ditunggu. Gue cabut dulu ya, Fan. Lo baik-baik ya."
"Haha, Iya Ren. Sorry gue nggak tahu kalau ternyata lo juga suka sama dia. Hati-hati, lo." ucap Fandi dengan wajah yang mencoba disenyumkan.
Rendi dan Jihan berjalan bergenggaman meninggalkan Fandi di bangku taman. Sementara Fandi duduk menunduk dengan dada yang bergemuruh oleh perasaan entah bernama apa. Ingin marah, kepada siapa? Merasakan kecewa, tapi kepada siapa? Ingin menangis, tapi untuk apa? Penyesalan merambat ke dalam dadanya. Andai ia berani mengutarakan perasaannya sejak dulu, mungkin cerita akan berbeda di bandingkan dengan malam ini.
Tapi cinta..
Tak pernah mengenal kata andai..
Depok, 24 September 2013
Jahat ih Rendi :/
BalasHapusEtapi kalo kalo jodoh mah ntar juga ada jalan yaa :)) <<<mikirnya dalem, padahal kan fiksi
Nanti Fandi jadiannya sama mbak-mbak bioskop.
HapusKlimaksnya. keren. nggak kepikiran. aku kira sih bakal di terima aja sama jihan :|
BalasHapusLu jago banget ye mas bikin ending kaya begini, anjir. :)))
BalasHapus