Tak Ada Ketaatan, Tanpa Pengorbanan

Di suatu pagi, seorang ayah datang merundukan kepalanya menemui anak lelaki tercinta. Buah hati terkasih yang amat disayangi. "Anakku, ada hal yang ingin kusampaikan kepadamu. Malam tadi, aku bermimpi melihat aku menyembelih lehermu. Bagaimana pendapatmu, nak?" Sang anak, dengan ketegaran hati sekeras baja kemudian menjawab, "Lakukanlah ayah. Itu adalah perintah Tuhan. Aku ikhlas. Sembelihlah aku sebagaimana engkau bermimpi malam tadi." Langit jadi saksi. Bagaimana dua orang yang memiliki ikatan begitu kuat, dengan penuh kerelaan melakukan hal yang sebelumnya tak sempat atau mungkin tak pernah terbayangkan. Mengorbankan sesuatu yang begitu dicintai harus disembelih dengan tangan sendiri. Mengorbankan diri, sebagai bentuk ketundukkan kepada ilahi.

Boleh jadi kita tahu bagaimana akhir dari kisah ini. Cerita kenabian yang kerapkali kita dengar setiap tahun. Kisah epic yang siapapun bergidik ngeri ketika membayangkan bagaimana itu terjadi.

"Dengan menyebut nama Allah, kukorbankan harta yang kucintai ini untukMu, Allah. Lapangkan ikhlasku, tuluskan ibadahku." Seketika semesta bertasbih. Mengagungkan asma Allah. Pisau yang digunakan menyembelih seketika tumpul. Tak mempan untuk memutus urat leher Ismail. Segera Allah memerintahkan kepada Jibril untuk menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga. "Sembelihlah domba ini, Ibrahim. Aku ridho atas pengorbananMu.."

Begitulah akhir kisah dari nabiyullah Ibrahim dengan putra kesayangannya Ismail. Buah cinta ketaatan kepada Allah akan selalu berakhir dengan manis. Boleh jadi Ibrahim pada awalnya gentar, bagaimana mungkin ia mampu menyembelih buah hati kesayangannya dengan tangan sendiri. Bagaimana mungkin ia rela, melihat darah mengucur dari anak yang begitu ia cintainya. Tapi siapa sangka? Ismail yang masih lugu dengan tegar menguatkan hati sang Ayah. "Lakukanlah ayah, aku ikhlas."


Kini, masa telah terlewat begitu lama. Tapi pelajaran akan ketaatan dan kecintaan masih begitu kuat melekat di dalam pikiran. "Bahwa tak ada ketaatan tanpa adanya pengorbanan."
Semestinya kita malu. Menikmati setiap detik hidup dengan kepongahan. Keangkuhan hati untuk menyenangkan diri sendiri. Tak ada pengorbanan. Yang ada hanya kesombongan diri, melangkah dengan kepala mendongakan ke atas. "Cih, peduli apa dengan apa pengorbanan? Aku hidup dengan caraku sendiri. Hasil jerih atas kepayahan usahaku selama ini. Maka biarkan aku menikmati sendiri." Melupakan, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah pemberian Tuhan.

Cerita telah usai di waktu silam. Dan kini kita semakin melupakan. Bukan ingatan tentang cerita. Melainkan pembelajaran yang terkandung di dalamnya. Semakin jauh melangkah, semakin giat berpura-pura lupa. Kesetiaan untuk berbagi, tergantikan dengan ketidakpedulian diri.

Bahwa tak ada cinta tanpa pengorbanan. Tak ada ketaatan tanpa adanya kerelaan untuk menuntaskan ibadah kepada Tuhan.

Tuhanku.
Terimalah hatiku yang bersyukur.
Jika sepenuhnya hidupku hanya untukmu, maka apalagi matiku?
Ingin kusempurnakah ibadahku.
Terimalah taubatku.

"Selamat Hari Raya Idul Adha.
Selamat merayakan hidup dengan kepedulian terhadap sesama..." 
 
Source



Depok, 10 Dzulhijjah 1433 H.

1 komentar:

  1. Nice post mas aih, dari mulai tweet2nya bijak sampe ke posting2an blognya haha.

    BalasHapus

Kategori Utama