"Maaf ya, kalau nanti aku gak bisa ngobrol banyak sama kamu.
Semalam suaraku pergi. Dan pagi ini, dia belum juga kembali. Semoga
hanya sebentar pergi. Agar lusa aku bisa cerewet lagi..."
Kepada kamu, sebuah pesan pendek kukirimkan. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan penilaianmu yang satu itu. Justru menjadi lucu, ketika suatu saat dalam perbincangan kita, kau tiba-tiba diam, lantas tersenyum simpul sesambil menutup mulutku dengan jari telunjuk. "Pelan-pelan ngomongnya tuan, nanti keseleo lidahnya.." Kita saling diam, bertatapan, lantas kita berdua, aku dan kamu luruh dalam tawa menggema.
Aku menyukai caramu memperlakukanku. Menjadi seseorang yang begitu setia mendengar setiap kisah. Tersenyum dan tertawa ketika terselip hal lucu, alis bertautan ketika sampai pada ucapanku yang membingungkan. Tak jarang engkau ikut menangis ketika aku mulai menceritakan kegetiran-kegetiran aroma kehidupan. Pendengar yang baik ketika hidup terlalu sering menawarkan pengabaian dan kesepian.
Aku menyukai caramu setelah itu. Tanpa banyak kata, kau tatap mataku lekat-lekat. Aku melihat bulir air mata yang kau tahan disitu. Kemudian kau raih tubuh tegapku. Menyeka air mataku yang tumpah. Dengan suara lirih kau berkata, "Jangan cemas, tuan. Kita hadapi ini berdua. Kamu tak pernah sendirian."
Aku menyukaimu sejak itu.
Aku tak pernah berlebihan memaknai hadirmu. Yang kutahu, aku selalu mencintaimu dalam setiap kesederhanaanmu.
Kepada kamu, sebuah pesan pendek kukirimkan. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan penilaianmu yang satu itu. Justru menjadi lucu, ketika suatu saat dalam perbincangan kita, kau tiba-tiba diam, lantas tersenyum simpul sesambil menutup mulutku dengan jari telunjuk. "Pelan-pelan ngomongnya tuan, nanti keseleo lidahnya.." Kita saling diam, bertatapan, lantas kita berdua, aku dan kamu luruh dalam tawa menggema.
Aku menyukai caramu memperlakukanku. Menjadi seseorang yang begitu setia mendengar setiap kisah. Tersenyum dan tertawa ketika terselip hal lucu, alis bertautan ketika sampai pada ucapanku yang membingungkan. Tak jarang engkau ikut menangis ketika aku mulai menceritakan kegetiran-kegetiran aroma kehidupan. Pendengar yang baik ketika hidup terlalu sering menawarkan pengabaian dan kesepian.
Aku menyukai caramu setelah itu. Tanpa banyak kata, kau tatap mataku lekat-lekat. Aku melihat bulir air mata yang kau tahan disitu. Kemudian kau raih tubuh tegapku. Menyeka air mataku yang tumpah. Dengan suara lirih kau berkata, "Jangan cemas, tuan. Kita hadapi ini berdua. Kamu tak pernah sendirian."
Aku menyukaimu sejak itu.
Aku tak pernah berlebihan memaknai hadirmu. Yang kutahu, aku selalu mencintaimu dalam setiap kesederhanaanmu.
ini beneran nggak sih mas? apa fiksi?
BalasHapuskalo bener, ya semoga lekas sembuh aja, terus bisa cerewet lagih :)