Secarik Surat Buat Ummi


Ada berita bahagia dari putera kecilmu ini, Ummi. Atas restu dan doamu, aku telah resmi bekerja. Selepas dua puluh empat tahun engkau urusi, kini tiba waktunya bagi si kecil ini memberimu sesuatu dari gaji pertamanya. Tapi, aku tak akan panjang lebar menjelaskan tentang hal itu sekarang, cukuplah itu menjadi kejutan manis ketika aku pulang menjelang hari raya nanti.

Sebab kebahagiaan itu tak hanya sampai disitu, Ummi. Tuhan telah baik dan bermurah hati dengan mempertemukanku dengan calon menantumu. Namun maaf, Ummi. Ia memang tak secantik Ummi ketika Ummi muda dahulu. Maafkan juga karena perempuan ini tak begitu pandai memasak seperti Ummi. Ia belum mampu menakar dengan baik antara garam dan gula. Tapi percayalah, ia adalah perempuan yang istimewa.

Perempuan itu pemilik mata sebening embun, Ummi. Bias kedamaian terpancar dari segurat wajah miliknya. Senyum merah mudanya yang indah merekah itu selalu mampu membuat puteramu ini tersedak dan beku sesaat. Ramah dan santun tutur sapanya kembali mengingatkanku bahwa masih banyak orang-orang baik di dunia. Lugu dan baik sikapnya membuatku tak ingin pergi beranjak menjauh dari tepinya. Ah, ia istimewa. Selain Ummi, -tentu saja-.


Mungkin Ummi bertanya-tanya siapakah sosok perempuan yang membuat si kecil ini begitu berlebihan memaknainya. Tunggu Ummi, bukan maksud puteramu ini tak mau memberitahukan dan menceritakannya padamu. Hanya saja aku bingung mau memulai dari mana.
Jika kumulai dari namanya, pasti Ummi akan langsung menanyakan ia anak siapa. Jika kumulai dari mana asal kampungnya, pasti Ummi akan langsung menanyakan bagaimana keadaan keluarganya. Aku khawatir tinta dan kertas ini habis sebelum sempat aku mengucapkan doa untuk kebaikan Ummi.



Aku mengenal ia dengan tak sengaja. Dan mungkin memang begitulah cara Tuhan untuk memberi kebahagiaan kepada hambanya. Tak tertebak dan tak terduga, tiba-tiba datang tanpa mampu kita perkirakan. Segalanya berawal karena kecintaan kami terhadap puisi, Ummi. Kelugasannya, makna tersuratnya, makna tersiratnya, diksinya, rimanya dan kejujuran dalam pengungkapannya.

Bukan, Ummi. Pertemuan kami bukan berlangsung di Sanggar Sastra milik Ws. Rendra. Terlebih di museum budaya di salah satu wilayah Indonesia. Melainkan di Perpustakaan kota. Disanalah aku ditemukan olehnya.

Tepat sekali, Ummi. Calon menantumu itu sama seperti aku. Sedang mencari buku antologi puisi untuk dinikmati. Dan kebetulan, (perencanaan Tuhan mungkin tak ada yang kebetulan, -sebenarnya-) aku sedang memegang buku yang selama ini ia cari. Antologi Daging dan Akar karya Gus TF.

Terbayangkah olehmu, Ummi, bagaimana perbincangan kami berdua? Keakraban segera muncul ketika kami membahas bagaimana proses terjadinya sebuah karya kata. Tentang kepekaan terhadap sesuatu, tebang pilih diksi, pola penentuan rima dan segala hal lain yang terkait tentang pengungkapan rasa.

Detik terus merintik, detak kian menghentak. Hari demi hari, kami mulai mengerti dan memahami satu dengan yang lain, membicarakan segala hal menarik yang dikehendaki hati dan pikiran untuk diungkapkan. Awal mulanya pertemanan ini hanya biasa saja, tanpa bujuk rayu, tanpa begini begitu dan tak ada maksud ini dan itu. Sampai suatu ketika, aku sadar akan kelebihannya : Ia menanyakan perihal engkau, Ummi !

Sulit bagiku untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok engkau, Ummi. Jika kuawali dengan caramu membesarkan dan memberiku pendidikan hidup, dia pasti akan bertanya Ummi berasal dari daerah mana, bagaimana silsilah keturunannya dan bagaimana pola pengajaran yang engkau lakukan. Kalau kuceritakan betapa hebatnya engkau memasak ayam, aku takut akan ditanya apa resepnya, padahal sampai sekarang aku belum tahu perihal bumbu apa yang engkau gunakan untuk meracik ayam menjadi selezat itu. Seringkali, kesempatan bertemu yang singkat itu dipisahkan oleh larut dan pekatnya malam sebab terlalu asyik menceritakanmu.

Namun, tak selesai disitu, Ummi. Lusa kemarin, ia bilang bahwa suatu hari ia ingin bertemu denganmu. Mulanya, aku bungkam, hanya terdiam atau sekedar memberi jawab penuh teka-teki kepadanya. Tapi, permohonannya terdengar tulus, disebabkan kekagumannya yang tandas untukmu, Ummi. Karena, aku tak mau terlalu lama membuat ia menanti, akhirnya kujawab juga pertanyaan dan permohonannya itu dengan jawaban yang sangat pahit terasa kulafalkan. Bahkan, dua tahun lebih pun nyaris tak mampu aku ucapkan :
"Ummi sudah tiada."

Entah karena rasa simpati dan empati yang besar (atau mungkin karena melihat perubahan air mukaku). Tapi, sungguh aku sangat menyukai cara ia selanjutnya. Dia beku terdiam, memandangku sesaat. Tangannya memegang bahuku, lembut. Perlahan, kulihat bening matanya berkaca-kaca, lalu bulir air pun merintik.

Ummi, putra kecilmu yang dahulu manja, kini telah dewasa. Dan ia akan segera pulang, beserta oleh-oleh dan menantu cantik untukmu.


Teriring salam dan doa.
Semoga Engkau bahagia di naungan terindah di sisiNya.

Putera kecilmu.
Galih Hidayatullah


17 komentar:

  1. Balasan
    1. semoga menjadi semacam pengingat, bahwa tak ada cinta yang lebih dekat kepadamu selain ibu dan Tuhan (tentu saja).

      Hapus
  2. hmph ending nya bikin merinding :-(
    kerasa banget bangga nya trhdp sosok seorang ibu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seribu kebaikan dalam fiksi, tetap saja fiksi. Semoga setelah baca, ada satu kebaikan nyata yang dilakukan kita. Hehe :)

      Hapus
    2. Amiiin setidaknya ada pembelajarannya kan?? meski cuma fiksi..

      Hapus
  3. a... akuuu.. terhaaarrruuu...serius!!! #tisu mana tisu!!!
    tau banget rasanya punya orang tua yang udah gag lengkap!!!
    huaaaaaaaaaaa.. #crying on the night

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh, maafkan aku telah membuatmu menangis, nona :(
      Ini fiksi kok, cuma sebagian yang nyata.
      Kalau orangtua aku masih lengkap.
      Jika ada satu bagian keluargamu yang telah tiada, semoga Tuhan telah menyiapkan tempat terindah di sisiNya.
      Surga yang mengalir sungai di bawahNya.
      Aamiin

      Hapus
  4. Balasan
    1. Ane juga jadi ikut sedih, ngedenger ente sedih. hehe

      Hapus
  5. Berusaha mengambil hikmah dari setiap cerita ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga menjadi semacam pengingat tentang bagaimana cara menyayangi ibu :)

      Hapus
  6. lih so sweet,, tapi lih ceritanya beneran ? umi lu udah ga ada ?

    BalasHapus
  7. so sweet banget galiiiihhhhh

    BalasHapus
  8. sukses bikin aku nangis. tisu mana tisu :')

    BalasHapus
  9. Aku dapat banget feel-nya pas bilang ummi sudah tiada :) Aku suka lih :D Satu pertanyaan deh, kenapa gak di justify aja biar keliatan lebih rapi? :D

    BalasHapus

Kategori Utama