Maaf.
Maafkan aku harus mengawali surat ini dengan kata-kata maaf. Padahal aku ingin sekali memulainya dengan sesuatu yang lebih menarik untuk dibaca, mungkin sajak-sajak atau quote-quote memorable dari tokoh-tokoh dunia yang hanya aku kenal nama dan kata-katanya saja. Kamu pernah bilang bahwa waktu adalah sesuatu yang amat berharga. Ketika sudah kehilangan, tak ada siapapun yang bisa mengembalikannya. Aku ingat sekali kapan kau mengucapkan kalimat itu kepadaku. Saat itu hujan turun dengan amat derasnya, aku dan kamu membuat sebuah rencana untuk menonton konser Iwan Fals, penyanyi yang amat kau puja sejak masa kecil itu. Aku berjanji akan menjemputmu pukul tiga sore lalu kita sama-sama berangkat ke Stadion Kridosono. Kamu bilang jangan sampai terlambat sebab itu adalah konser yang kamu tunggu-tunggu, karena jarang sekali Iwan Fals berkunjung ke kota kita. Aku mengiyakan dengan mantap.
Namun rupanya kesialan datang menimpa. Motor yang kubawa bannya bocor, terpaksa aku harus menepi untuk mencari tukang tambal ban. Kukira masalah akan selesai sampai di situ, belum sampai sepuluh menit aku memacu roda dengan kecepatan 60km/jam tiba-tiba kesialan berikutnya datang, ada sebuah tabrakan beruntun yang menyebabkan aku tak bisa bergerak ke mana-mana karena jalan yang kulalui macet total. Tanpa bisa menghindari, akhirnya aku menunggu pihak polisi lalu lintas menderek mobil-mobil tersebut. Setengah jam kemudian lalu lintas kembali normal, segera kutancap gas dengan kecepatan maksimal agar aku bisa sampai di tempatmu menunggu. Lalu hujan turun dengan deras, aku membayangkan kamu sedang harap-harap cemas menunggu di sana. Maka, tanpa peduli pada hujan yang sudah membuatku kuyup, kulanjutkan lagi perjalanan.
Sesampainya di sana, kulihat kau sedang kedinginan. Dengan perasaan amat bersalah karena membuat kau menunggu, aku meminta maaf. Aku mendengar kau marah-marah. Tak banyak kalimat yang terdengar jelas, sebab hujan berisik sekali. Satu-satunya hal yang aku ingat adalah kalimat di atas dan wajahmu yang menangis kesal sambil melambaikan tangan memberhentikan taksi. Kau memilih pulang dan kita batal nonton konser. Sejak saat itu aku tahu, bahwa kau sama sekali tak suka keterlambatan.
Butuh waktu satu bulan agar bisa membuat marahmu mereda lalu kita bisa berteman kembali. Entah sudah berapa kali aku membujukmu supaya kita bisa bersenang-senang lagi, seperti menonton serial Sherlock Holmes dari BBC TV, karaoke hingga suara kita berdua serak, atau sekadar duduk di rooftop rumahmu sambil sesekali iseng melempari orang yang berada di bawah dengan kulit kacang. Tapi kau tetap enggan menemuiku. Hingga suatu sore kau datang ke rumahku membawa dua kotak es krim sambil berkata,
“Maaf, kemarin aku benar-benar marah. Aku sama sekali tak suka menunggu, terlebih itu konser yang selama ini aku tunggu-tunggu. Belakangan ini aku kesepian, tak ada teman yang seasik kamu. Kamu satu-satunya teman yang aku miliki.” Sejak saat itu, kita berbaikan kembali.
Menunggu memang menyebalkan, Key. Aku tahu bagaimana rasanya cemas melirik jam tangan bolak-balik melihat waktu yang terus berpacu. Tentang bagaimana rasa kesal yang memuncak di dalam kepala karena janji tak tertepati. Juga tentang bagaimana marahnya saat menyadari waktu yang kita miliki habis hanya untuk menanti sesuatu yang tak pasti.
Maka, kutulislah surat ini. Karena aku sudah teramat lelah menunggu. Dan waktu sudah terlalu jauh berpacu. Sungguh, kali ini aku tak ingin terlambat lebih banyak lagi.
Aku mencintaimu.
Al.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
aaaaakuuu sukaaa iniiii, aaawww sweett sekaliiiiiii
BalasHapus-ikavuje