Jam Dinding

Tik. Tak. Tik. Tak. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh kamar. Dinding-dinding kusam lapuk di makan usia. Lampu masih dinyalakan, hanya saja redup, tak cukup menerangi pandangan mata yang sudah kadung lelah oleh sebab terlalu lama terjaga. Di sudut kamar, bertumpuk abu dari tiga belas batang rokok yang kuisap sejak petang menyambut malam.


Ini malam keempat sejak keputusanmu untuk mengakhiri hubungan kita. “Kita sudah tak sejalan. Prinsipku tidak lagi sama denganmu. Maka lebih baik kita berpisah, agar tak ada lagi kita yang saling melukai antara satu dengan yang lainnya,” katamu dalam sebuah perbincangan singkat saat senja empat hari lalu.


Maka, beginilah aku sekarang. Duduk merokok mendekap lutut, sambil memperhatikan detak-detik waktu yang berpacu. Ditemani segelas kopi dan degup irama jantung yang tak lagi teratur. Tak ada air mata. Kehampaan jauh lebih terasa miris dibanding remang tangis. Bukan tak bersedih, aku hanya tak lagi tahu bagaimana caranya menyikapi kehilangan dengan senyuman. Sungguh menyakitkan bukan? Saat di mana hati dan perasaan begitu gagah untuk mempertahankan, sementara yang dicinta begitu gigih untuk melepaskan.


Tik. Tak. Tik. Tak.

Detak-detik masa semakin terasa menyebalkan.

Dan aku.

Kembali melarut bersama malam.


8 komentar:

Kategori Utama