Aku masih duduk di sudut itu. Duduk menggigil mendekap lutut. Hening telah sempurna memenuhi udara. Tak ada suara. Sepi. Tak ada apa-apa. Kecuali kenangan yang perlahan tercetak jelas di dalam pikiran. Menyublim bersama bulir kerinduan yang menetes perih tak berkesudahan.
Kepadamu, rindu bisa sedemikian bengisnya. Aku kerapkali terjatuh karenanya. Tersungkur dalam ruang kosong penuh kehampaan bernama kenangan masa silam. Sesaat mengenangmu, aku larut dalam ketiadaan. Hati perlahan merintih menginginkan kebersamaan. Kepergian adalah skenario menjemukan.
Aku masih duduk di sudut itu. Menikmati desau angin yang berdesir lirih. Seketika hanyut dalam magisnya keheningan. Pelan-pelan kerinduan mengetuk sukma dalam-dalam. Menghadirkan perih pedih rasa yang telah lama ditinggalkan. Usang dalam damba yang kau lupakan.
Kepadamu, rindu bisa sedemikian jahatnya. Aku pernah tertikam olehnya. Jatuh bersimbah air mata yang menganak sungai. Membuat kesetiaan yang telah lama kujaga seketika memuai. Meninggalkanku yang sangsi menyaksikan pengabaian dan kepergianmu tanpa salam yang melambai. Kehilangan ada kesepian paling bosan.
Aku masih duduk di sudut itu. Bersama rindu yang perlahan menyusut dan mulai diratapi. Ditemani repih mimpi yang tersisa. Dinaungi nyala asa yang mulai pudar. Dengan rentang harapan yang tak lagi lebar. Tersudut dalam luka-luka yang kau torehkan dalam-dalam.
"Maka biarkanlah aku kini pergi jauh. Pada sebuah tempat di mana aku bisa menaruh kenangan rapat-rapat. Hingga aku tak kuasa untuk membukanya lagi."
Bahagiamu, inginku.
Pergilah sebebas yang kau mau, tak perlu lagi menoleh untuk sekadar menyaksikan kerapuhanku.
Merelakan,hal tersulit ketika rasa ikhlas masih jauh diangan
BalasHapusIzin share ya.
BalasHapus