Pertemuan

Entah pada rindu ke berapa, kita memutuskan untuk sua. Pertemuan sederhana di sebuah kedai kecil ditemani dua mangkuk zupparella dan cappuccino hangat di bawah temaram bulan purnama. Kamu mengenakan baju berwarna merah jambu dibalut dengan jaket abu-abu saat itu, sedang aku tetap setia memakai baju berwarna biru yang entah ada berapa banyak dalam koleksi pakaian berwarna biruku.

Kau tahu? Menjumpaimu. Rindu-rindu kecil meledak di dalam dada, doa-doa dari yang bersabar terjamah, sipu merekah. -kebahagiaan mewujud nyata.

Pada menit kelima, kita masih diam. Begitu asyik mencicipi zupparella di mangkuk kecil berwarna putih, semacam sup kaldu ayam, ditambahi roti canne sebagai pelengkap karbohidrat, sambil menerawang ke dalam pikiran masing-masing. Mencoba menerka apa yang tengah dirasakan. Berdebarkah? Bahagiakah?

Biar aku mengeratkan diri pada pelukmu, hingga lekat segala rindu, hingga tak ada sisa lagi yang menyesaki degupku. -itu yang kupikirkan. Sesaat setelah menyadari bahwa kau benar-benar ada di hadapanku. Tapi tak jadi kulakukan karena aku bisa dianggap orang tak tahu malu karena begitu lancang memelukmu di depan orang-orang. Mau ditaruh di mana mukaku?

Ah, iya. Aku lupa menceritakan senyummu. Bibir mungil berwarna merah muda merekah riang di segurat wajahmu. Dengan tatap mata teduh penuh kedamaian memandang lurus ke hadapanku. Aku jatuh telak dalam pesonamu. Rasanya seperti terlempar ke sebuah taman hijau paling tenang. Hingga aku sama sekali tak ingin berpulang. Aku betah berlama-lama denganmu.

Pada menit ke sepuluh dan seterusnya. Kita mulai larut dalam perbincangan. Saling menceritakan setiap pengalaman yang tak sempat dikisahkan. Aku menyukai cerita tentang keluargamu. Tentang bagaimana romantisme seorang ayah dalam membina istri dan anak-anaknya. Perihal kelembutan budi ibumu dalam menemani dan merawat anak-anak. Juga tentang cerita si bungsu, adik perempuan kecilmu yang begitu bersemangat dan ceria menikmati masa kecilnya. Semakin mengenalmu, kian tandas hatiku untukmu.

Maka di sinilah aku sekarang. Duduk diam di serambi malam. Mengenang setiap cerita yang bergulir dalam perjumpaan pertama kita dengan segurat senyum dan kebahagiaan.
"Lelaplah kamu dalam malam paling larut, saat pijar bintang menjanjikan kenyataan atas mimpi-mimpi indah yang bertamu."*


__________
terinsiprasi berdasarkan tweet @bukanadelia
Selengkapnya

Pernahkah Kamu?

Pernahkah kamu? Duduk menyendiri di sebuah tempat paling sepi. Seperti beranda rumah saat malam hari. Atau pergi ke sebuah bukit pegunungan. Atau berkunjung ke sebuah pantai yang jarang didatangi orang. Menyepi di antara bising kehidupan orang-orang yang riuh menggemakan suara-suara penderitaan.

Pernahkah kamu? Membiarkan pikiran melayang jauh. Pada kenangan-kenangan. Pada cerita-cerita masa silam. Pada lagu-lagu yang sering mengalun merobek kesunyian. Pada buku-buku yang membuat imaji mengawan terbang. Pada setiap pelajaran dari bait kisah yang pernah terlewatkan. Pada harapan-harapan yang terbentang di waktu mendatang.

Pernahkah kamu? Merasa sepi di dalam kepala sendiri. Saat begitu banyak alasan untuk berbahagia, tapi kesunyian begitu kukuh untuk menolaknya. Saat di mana alasan untuk tersenyum tak mampu menahan pikiran dalam berkonspirasi untuk mencipta wajah-wajah murung.

Pernahkah kamu? Benar-benar merasa tak lagi memiliki arti. Ketika makna-makna yang pernah tercipta tak lagi membuatmu berdaya. Ketika kesempatan atas kebahagiaan hidup tak lagi memaksa jiwa untuk berlelah-lelah mendakinya. Saat di mana kekecewaan begitu telak menelanmu bulat-bulat dalam lubang pengap bernama keputusasaan.

Aku pernah merasakan itu.
Saat di mana kesedihan tak lagi menakutkan. Suatu masa ketika langkah kaki terasa tak lagi berpijak di tempat yang sama. Satu waktu ketika setiap kisah yang tercipta sama sekali tak mewakilkan damba.

Aku tak lagi memiliki kehidupan. Kehidupan sudah lama pergi sejak engkau melangkah berlalu. Meninggalkanku yang sangsi dalam gigil sepi paling rindu.

"Sepeninggalmu, aku lupa bagaimana cara berbahagia."
Selengkapnya

Jam Dinding

Tik. Tak. Tik. Tak. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh kamar. Dinding-dinding kusam lapuk di makan usia. Lampu masih dinyalakan, hanya saja redup, tak cukup menerangi pandangan mata yang sudah kadung lelah oleh sebab terlalu lama terjaga. Di sudut kamar, bertumpuk abu dari tiga belas batang rokok yang kuisap sejak petang menyambut malam.


Ini malam keempat sejak keputusanmu untuk mengakhiri hubungan kita. “Kita sudah tak sejalan. Prinsipku tidak lagi sama denganmu. Maka lebih baik kita berpisah, agar tak ada lagi kita yang saling melukai antara satu dengan yang lainnya,” katamu dalam sebuah perbincangan singkat saat senja empat hari lalu.


Maka, beginilah aku sekarang. Duduk merokok mendekap lutut, sambil memperhatikan detak-detik waktu yang berpacu. Ditemani segelas kopi dan degup irama jantung yang tak lagi teratur. Tak ada air mata. Kehampaan jauh lebih terasa miris dibanding remang tangis. Bukan tak bersedih, aku hanya tak lagi tahu bagaimana caranya menyikapi kehilangan dengan senyuman. Sungguh menyakitkan bukan? Saat di mana hati dan perasaan begitu gagah untuk mempertahankan, sementara yang dicinta begitu gigih untuk melepaskan.


Tik. Tak. Tik. Tak.

Detak-detik masa semakin terasa menyebalkan.

Dan aku.

Kembali melarut bersama malam.


Selengkapnya

Kategori Utama