Untuk Navilla,
Suatu kali aku pernah bermimpi, ada cahaya warna-warni dan aku ikuti. Nila, merah muda, jingga, biru juga ada. Semakin aku dekati, cahaya itu meredup dan perlahan pudar. Hanya meninggalkan pekat legam merupa lorong hitam paling kelam. Dan aku tersesat. Tak bisa mencari jalan keluar. Lalu dengan tangan gemetar, aku meraba jalan yang gelap. Melangkah pelan-pelan sampai akhirnya aku terjatuh. Seketika dingin merambat, sepi dan sendirian mengantarkan perasaan takut yang berkecamuk. Kemudian aku meringkuk mendekap lutut, membiarkan gelap melahapku bulat-bulat. Tak lama setelahnya, aku terjaga dengan tubuh berkeringat. Terbangun dengan tangis sesenggukan mengingat mimpi yang baru aku alami. Dan saat itu, kau berada di sampingku. Ikut terbangun karena mendengar aku yang menangis. Mengusap punggungku sambil mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Hanya mimpi, katamu dengan senyum menenangkan. Kau tahu? Saat itu, aku ingin selalu berada di sampingmu.
Navilla,
Tak mudah buatku menahan debar perasaan sementara kita selalu berdekatan. Dalam beberapa malam, kita kerap duduk di serambi menikmati dua gelas cokelat panas sambil berbincang dan bercerita. Apa kau ingat kita pernah tertawa sampai terbatuk-batuk saat mengejek Bapak Adril, dosen paling sadis di kampus kita? Katamu, kacamata yang dia pakai tak pantas, hidungnya terlalu pesek untuk wajahnya yang besar. Belum lagi suara melengkingnya, seperti tikus kejepit. Bagaimana mungkin orang seperti itu kita takuti, ya? Ah, tapi seandainya dia tahu kita mengejeknya, habislah sudah kita dimaki-maki olehnya.
Navilla,
Pada suatu temaram keremangan petang, aku pernah menemukanmu menangis. Aku tak berani untuk langsung bertanya kenapa, padahal aku sangat cemas perihal apa atau siapa yang begitu tega membuatmu menangis. Karena seingatku, dalam kebersamaan kita, kau tak pernah melarung air mata. Lalu aku hanya duduk di sampingmu. Mengelus punggungmu agar kau lebih tenang. Mendekap kepalamu agar rebah dalam pelukanku. Membiarkanmu sejenak tenggelam dalam perasaan haru. Hingga akhirnya kau buka suara, katamu —dengan suara bergetar— kau menyaksikan lagi lelakimu berselingkuh untuk kedua kalinya, kali ini dengan perempuan yang berbeda dari sebelumnya. Lalu kau bercerita. Tentang kesempatan kedua yang kau berikan kepada lelakimu sesaat setelah kedapatan selingkuh. Engkau marah, tentu saja, tapi demi melihat mata lelakimu menangis meminta maaf, kau tak kuasa menahan diri untuk tidak melunak. Kau peluk ia. Dan memaafkannya. Tapi entah setan apa yang ada di dalam jiwa lelakimu, ia ingkari janjinya, lalu kembali ke lubang yang sama.
Aku tak bisa menahan geram kepada lelakimu karena begitu tega mengecewakan dan menghancurkan sekeping hatimu. Ingin rasanya kutampar atau bahkan meludahi wajahnya karena telah seenaknya mempermainkanmu. Kau tak pantas menerima pelukaan, sebab hatimu yang merah muda sepatutnya dimuliakan dengan sebaik-baik perasaan. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku terlalu pecundang untuk berdiri di depan untuk membelamu. Maka, selanjutnya hanya ada aku yang memeluk kesedihanmu. Menjadi teman bagi malam-malam panjangmu saat berusaha bangkit dari kenangan. Menyemangatimu agar mampu move on dan tersenyum kembali menyambut cinta yang baru. Bila ada kesempatan, sebenarnya aku ingin sekali memberitahumu, bahwa aku selalu siap menjadi teman bagi hatimu. Ruang tempatmu berpulang saat kau begitu letih menapak perjalanan sendirian. Tapi, —sekali lagi, aku terlalu pecundang. Aku takut kau justru menghindar dan menjauh bila kau tahu sedalam apa perasaanku padamu.
Maka, kubiarkan semuanya mengalir sebagaimana adanya. Mencintai diam-diam jauh lebih baik dari pada harus kehilangan. Tak apa jika aku tak bisa memilikimu secara utuh, kenyataan bahwa kita selalu berdua melewati waktu sudah lebih dari cukup. Terlalu naif jika aku berkata bahwa itu adalah kebahagiaan yang paling benar, tapi aku bisa apa? Aku terlampau takut mimpiku di waktu lalu menjadi nyata. Berusaha berlari menangkap cahaya, yang justru malah membuatku tersesat dalam gelap dan sendirian. Aku tak pernah siap kehilanganmu.
Navilla,
Tahu bagaimana rasanya menemani rasa sepi seseorang tapi kau tak pernah menjadi pilihan bagi hatinya yang sendirian?
Tak perlu kau jawab.
Aku sudah merasakannya.
Maaf untuk segenap jiwaku yang luruh di hatimu.
Cintaku kepadamu sebesar dosa yang harus kutanggung.
Aku mencintaimu,
Dari seorang perempuan yang pernah kau sebut sebagai sahabat terbaik,
Karin.
nice.
BalasHapusaha, selalu, keren bingitsz lah mas aih mah :D
BalasHapushahaha. terima kasih, septi eka lestari.
Hapusselalu menyentuh mas aih
BalasHapussyukurlah :)
Hapusseperti biasa, mengagumkan.
BalasHapustak perlu berlebihan, ini masih banyak kekurangan di sana-sini.
HapusHmmmm karinnnn
BalasHapussalam untuk karin, mas. sesungguhnya karin tak sendiri.
BalasHapusterima kasih karena telah mewakili karin-karin menyuarakan hatinya.
tujuan saya menulis ini, memang agar kita lebih memanusiakan siapa saja.
HapusBerkali-kali membaca tulisan ini, mata saya masih saja berkaca. Terlepas dari siapa Navilla dan Karin, saya terpukau pada kalimat penutupnya :
BalasHapus" Maaf untuk segenap jiwaku yang luruh di hatimu.
Cintaku kepadamu sebesar dosa yang harus kutanggung. "
Nice post, Mas Aih .. :')
Salam kenal ..
terima kasih sudah sempat membaca, Nur Azizah Eka Wardhani.
Hapus