Kepada Reza; Kopi dan Pahit yang Tertinggal

Mungkin kau sedang berlarian di antara langit penuh gemintang malam ini. Atau meminum segelas kopi dibubuhi setengah sendok gula di depan pelataran surga. Apa kau masih suka minum kopi pahit, Za? Aku masih saja mengernyitkan dahi acapkali mencoba meminum segelas kopi seperti yang kau minum. Bagaimana mungkin kau bisa menyukai segelas cairan hitam kental dan pekat tanpa mencecap rasa manis di dalamnya? 

Kau pernah bilang bahwa segelas kopi pahit menyegarkan isi kepalamu. Membangkitkan lagi gairah semangat setelah seharian menjalani rutinitas yang menyibukkan. Tapi buatku, alih-alih menyegarkan isi kepala, mulutku tak henti menyepah karena rasa yang saking pahitnya. Mungkin aku tak bisa akrab dengan rasa pahit, sebagaimana rasa yang tertinggal selepas aku kehilangan kamu untuk selamanya.

Bagaimana rasanya berada di antara sekumpulan kapas-kapas putih di taman surga, Za?
Kuharap kebahagiaan selalu memelukmu. Mencipta simpul senyum riang di setiap waktumu. Jangan menganggap aku tak sebahagia kamu di sana. Di sini aku berbahagia —tentu saja. Hanya saja tak seistimewa bila kau ada di sini. Menemani. Duduk berdua sambil bercengkerama, berbagi cerita dan rahasia-rahasia. Lalu tertawa dan saling menyeka air mata.

Betapa membahagiakan membayangkan kita selalu bersama. Tapi cinta adalah soal pergi atau ditinggal pergi, kan? Maka biarlah bila pada akhirnya aku yang harus memeluk cinta sendirian. Merapihkan repih-repih kenangan di antara pahit getir kehilangan. Aku tak berkata bahwa aku sudah lepas dari segala tentang kamu. Hanya saja aku mulai terbiasa tanpa kamu. Meningkahi gelap malam sendiri, bersama doa-doa bersayap sepi yang kubiarkan melayang terbang menujumu. Seringkali aku cemburu pada doa-doaku, sebab mereka dapat lebih lama memelukmu dibanding diriku sendiri.

Za, maafkan aku yang tak henti memikirkan segala tentangmu. Aku hanya ingin mengenangmu lebih banyak, hingga tak ada lagi yang tersisa saat aku benar-benar rela melepaskanmu. Aku hanya ingin mengingatmu lebih sering, hingga aku kehabisan cerita saat aku benar-benar merelakanmu. Menelan kenangan bersamamu bulat-bulat tanpa peduli lagi pahit getir di ujung kerongkongan.

Maka malam ini, perkenankan aku menghabiskan segelas kopi kental pahit hingga tetes akhir. Sebab merelakan tak ubahnya mengizinkan diriku sendiri untuk mengakrabkan diri pada rasa getir. Menelannya bulat-bulat hingga tak ada lagi pahit yang tersisa. Membiasakan diri agar merasa nyaman pada akhirnya.

Terima kasih telah hadir. Meski sejenak dan sementara tapi bermakna lebih lama.
Izinkan aku merelakan kepergianmu, seiring kopi yang kuteguk habis di dalam kerongkonganku.

Perempuan yang mendoakan kebahagiaanmu kekal abadi,

Namira Lana

17 komentar:

Kategori Utama