Jeruk Untuk Nenek

Hari sudah terlampau sore untuk kakek tua bertopi jerami datang ke kebun. Kami mengenal bapak tua itu sebagai seseorang yang gemar mendongeng. Biasanya, pada sore seperti ini ia lebih senang untuk duduk-duduk di kursi goyang kesukaannya sambil menikmati bias jingga senja yang masuk melalui kisi-kisi jendela. Setelahnya, ia akan memanggil kami, —para anak panti— untuk berkumpul dan duduk melingkar, menjadikan ia sebagai pusat perhatian.

Lalu, saat kita sudah duduk dengan saksama, ia akan membuat kami terpesona dengan cerita-cerita petualangan si kancil dan timun emas yang ia dongengkan. Sore itu, tak ada dongeng tentang petualangan si kancil atau timun emas. Hanya ada raut wajahnya yang keriput dan cemas. Berpamitan kepada kami untuk mengambil jeruk di kebun belakang rumah dengan suaranya yang bergetar dan parau. Kami serempak bertanya, “Untuk apa ke kebun, Kek? Hari sudah sore.” “Hari ini dongeng libur dahulu. Kakek mau ambil jeruk untuk nenek. Nenek ingin makan jeruk,” katanya.

Kami serempak mengikutinya berjalan dari belakang. Agar bila ia terjatuh, kami bisa segera memapahnya karena jalan menuju kebun sedang licin-licinnya. Sesampainya di kebun, kakek tua bertopi jerami memetik buah jeruk satu per satu. Memasukkannya hati-hati ke dalam keranjang yang ia cangklongkan di tangan kanan. Sesekali mendengarnya bersenandung pelan menyanyikan lagu Yesterday dari The Beatles. Salah seorang dari kami menceletuk dari belakang, “Kakek, banyak sekali memetik jeruknya. Untuk siapa?” “Kan kakek sudah bilang. Jeruk ini untuk nenek. Nenek sedang sakit, ia pengin sekali makan jeruk. Barangkali setelah makan jeruk nenek bisa sembuh.”

Hening memenuhi udara. Tak ada yang menjawab atau bertanya lagi. Hanya kemudian kami semua serempak menangis dan menyuruh kakek pulang. “Kakek, mari pulang. Nenek sudah tiada.” Setahun yang lalu, nenek meninggal pada saat musim panen jeruk seperti saat ini. Dan ia belum sempat memakan jeruk yang ia tanam di kebun belakang rumah panti.
Selengkapnya

Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

Gelap.
Itu kata pertama yang terlintas di kepala saya saat selesai membaca kumcer setebal 292 halaman karya Bernard Batubara terbitan GagasMedia ini. Buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri memuat 15 cerita, 3 di antaranya pernah dimuat di surat kabar. Dalam buku ini, Bara banyak memainkan karakter yang tak biasa (kalau tak mau menyebutnya aneh), seperti pohon, meriam, malaikat, bahkan kuntilanak sebagai metafora dan personifikasi dari realitas sosial dan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita saat ini.

Hal pertama yang ingin saya sampaikan sebelum kau membaca buku ini, hilangkan prasangka bahwa Bara adalah penulis novel picisan yang kerap gombal dalam setiap tulisannya tentang cinta, sebab dalam buku kumpulan cerpen ini kau akan menemukan warna berbeda dari novel-novelnya yang pernah kau baca. (Psst... saya bahkan sempat mengumpat bangsat berkali-kali saat selesai membaca cerita yang termuat di dalamnya).

Kedua, tekan ekspektasi bahwa kau akan berbahagia saat pelan-pelan mengeja dongeng cinta yang dituliskan Bara. Sebab, kau tak akan menemukannya. Kelima belas kisah yang dituturkan secara lembut sekaligus menghentak dalam waktu lain akan membuatmu frustasi dan mau—tidak mau, suka—tidak suka, akan membuatmu mengangguk dan menyetujui sambil menggumam, “Iya. cerita ini benar dan nyata keberadaannya. Saya pernah melihatnya sendiri."

Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri merupakan representasi dari kemalangan, getir, patah hati, dendam, kesengsaraan, keputusasaan, bahkan kematian yang disebabkan cinta. Bara, —dalam karier penulisannya telah berhasil mengubah warna dan suara dalam tulisan prosanya. Lihat saja bagaimana ia membuat penggambaran tentang fenomena pelecehan seksual anak di bawah umur dan perisakan di dalam kepala Tompel, —seorang anak penderita down syndrome pada cerita Seribu Matahari untuk Ariyani, atau cerita getir tentang pemerkosaan dalam cerita Meriam Beranak. Atau membaranya dendam masa lalu pada cerita Lukisan Nyai Ontosoroh dan Menjelang Kematian Mustafa. Atau sunyi dan heningnya kesepian, penantian, dan keputusasaan dalam cerita Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah dan Seorang Perempuan di Loftus Road. Atau jika kau suka membaca cerita yang menyelipkan kejutan, sila baca cerita Nyctophilia, kisah tentang seorang pengidap obsesi terhadap gelap yang sedang menjalin hubungan tanpa komitmen dengan seorang imigran.

Dari semua penggambaran karakter dan cerita, satu judul yang paling saya suka adalah Seribu Matahari untuk Ariyani. Dengan kalimat patah-patah yang tidak lebih dari 7 kata, repetisi, dan metafora yang lugu, Bara menciptakan suasana jatuh cinta dari seorang tokoh penderita down syndrome dengan berhasil. Seolah kita sedang bermain-main untuk melihat-lihat isi kepala tompel. Di bagian ini pula saya beberapa kali mengumpat bangsat seperti yang saya bilang di awal tadi.

Pada akhirnya, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Tidak hanya untuk menikmati kisah di dalamnya, melainkan juga untuk dipelajari bagaimana cara mengembangkan ide dan topik, penokohan, juga bagaimana cara membangun alur dan plot dalam sebuah cerita pendek.

Chiao!
Kalau sudah baca bukunya, beri komentar tentang bagian cerita yang kamu suka, ya!

“kata bara, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. kepadamu, aku ingin bereinkarnasi berkali bergenerasi.”


Selengkapnya

Kategori Utama