“Sejauh—jauh aku tersesat, bayang wajahmu menjelma bintang menuju pulang.”
Ada satu bintang paling terang di ujung utara lautan, — aku lupa nama bintangnya apa, nahkoda sempat menyebutnya tapi aku luput untuk mencatat, mungkin setelah ini akan ku-googling— yang menjadi kompas dan pemandu para pelaut menuju pulang. Tak peduli seberapa buruk cuaca, tak masalah seberapa besar ombak, tak acuh seberapa gelap langit pekat, bintang itu selalu berdiri di sana dengan gagah. Seolah mengisyaratkan dengan segala keteduhan dan kebijaksanaannya untuk berkata pada para pelaut yang linglung dan kelimpungan, “Kemarilah. Tak perlu cemas dan takut. Ada aku di sini. Ikutilah cahaya, maka kau akan menemukan jalan menuju pulang.”
Lalu seperti laut yang tunduk pada angin dan menjadikannya ombak, atau seperti kemudi yang taat pada putaran roda dan menjadikannya perubahan arah, para pelaut yang tersesat itu akan berduyun-duyun patuh mengikuti cahaya. Agar dapat pulang tanpa tenggelam.
Dalam hidup, aku bukanlah pelaut ulung yang paham mana arah utara dan selatan. Pejalan yang kerap tersesat dan kebingungan. Namun, di balik itu semua, aku telah punya satu bintang sendiri. Sinarnya terang tapi tak menyilaukan. Memesona dengan segala kesederhanaan dan ketabahannya.
Kali ini, aku tak perlu repot-repot mencari namanya di internet dengan berselancar di google untuk sekadar mengetahui nama bintang itu. Sebab, aku telah teramat tahu, kenal, dan paham. Bintang paling memesona yang selalu ada. Menjadi arah yang kutuju untuk pulang.
Bintang itu kamu.
Padangbai — Lembar
6 Agustus 2015
Artikel Acak
Followers