Pesan itu datang ketika senja, melalui sebuah sms singkat seorang teman yang tiba-tiba masuk ke inbox ponselku.
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Telah meninggal Yunita Eka, siswi SMA Negeri 1 Parung Angkatan 23..”
Begitu kubaca kabar duka itu, saat itu pula aku terdiam cukup lama.
Hal ini membuatku berpikir.
Ketika salah satu teman sebaya kita meninggal, di saat itu pula kita berpikir bahwa di dunia kita hanya sementara, kita tak abadi dunia.
Sebelum ini, aku selalu berpikir bahwa kematian sebagai sesuatu yang sangat jauh dariku.
Sebagai sesuatu yang tidak akan terjadi pada diriku.
Aku selalu berpikir, “Tenang, gua masih 18 tahun, gak mungkin terjadi apa-apa. Orang jarang meninggal pada usia 18 tahun. gua bakal mati karena tua..!”
Aku lupa bahwa,
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan kematian”
Saat ini, kematian temanku itu seolah menjadi sebuah note kecil yang dikirimkan Tuhan untukku. Bahwa tak akan ada yang kekal di dunia, selain Dia, Dzat Yang Maha Kekal.
Keesokan harinya, aku datang ke kediamannya. Di antara teman-teman yang datang, ada yang tidak terlalu kenal dengannya. Ada yang sudah begitu kenal dekat dengannya. Ada yang dulu teman sekelas. Ada yang memang baru dekat setelah lulus. Bermacam-macam teman datang ke sana, bahkan teman mendiang ketika sekolah TK dulu. Tapi mereka memiliki satu kesamaan: “mereka ingin menunjukkan rasa sayang mereka terhadapnya untuk yang terakhir kalinya.” Mereka sayang dengannya. Mereka menyayangkan mengapa hidupnya harus selesai secepat itu.
Aku duduk diantara para pelayat. Samar-samar aku mendengar seseorang berkata. “Sayang banget ya.. Orangnya baik..”
Dalam hati, aku mengiyakan ucapan orang tersebut. “Iya, dia memang orang baik..”
Kalian tahu?
Duduk diantara para pelayat, membuatku berpikir.
“Gimana ya pemakaman gua nanti?”
Terkadang aku berpikir, seperti apa pemakamanku nanti. Apakah banyak yang akan datang? Apakah ada yang datang? Apakah yang akan mereka katakan tentang diri ini? Apa kenangan mereka tentang diri ini? Apakah ada yang akan rela datang, hanya untuk melihat diri ini untuk terakhir kalinya? Apakah ada?
Terkadang aku merasa, kematian adalah topik yang sensitif untuk kita.
Sesuatu yang ada, tetapi kita selalu menafikan keberadaannya.
Kita hidup di dunia ini seakan-akan kematian itu tak pernah ada.
Kita telah melupakan kematian.
Kita terlalu sibuk dengan segala bentuk aktivitas yang penuh kerangka kemajemukan dan kesia-siaan.
Sepulang dari kediamannya.
Aku merasa kecil.
Aku merasa harus berbuat sesuatu untuk kehidupanku. Tubuh ini dipinjamkan. Setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi menuju kematian.
Kita harus lebih banyak berkarya.
Kita harus lebih menikmati dan mensyukuri hidup.
Memanfaatkan setiap kesempatan.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin dalam persahabatan.
Berteman dengan penuh kehangatan.
Menambah porsi kasih sayang.
Dan yang terpenting, tak pernah letih menebar bibit kebaikan di setiap jejak langkah kehidupan yang kita jalani.
Karena kita hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan.
Suatu saat aku akan mati. Tetapi aku ingin membuat sesuatu yang tidak akan mati. Suatu hal yang menjadi pengingat bahwa aku pernah hidup. Suatu hal yang menjadi kenangan manis tentangku bagi setiap orang yang pernah mengenalku.
Hal ini tak ingin kulupakan.
Karena aku pun tak ingin dilupakan.
Aku tak ingin hanya menjadi semacam nama yang hilang tak berbekas.
Nama yang hanya dipasang di atas sebuah nisan usang, yang mungkin pada awalnya akan sering dikunjungi namun lama kelamaan semakin dilupakan.
Hingga pada akhirnya dikunjungi hanya menjelang bulan puasa dan hari raya.
Nama di sebuah nisan berlumut. Usang. Kotor. Bau. Dan berdebu.
Kini, semasa hidupku. Aku pun tak ingin menjadi semacam jiwa yang hanya memenuhi bumi ini, menyesaki kota ini.
Hanya untuk makan. Minum. Bicara. Bergurau. Bercanda. Tertawa. Menangis. Untuk apa?
Aku mau menjadi spesial.
Or I want to die special.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Tuhan, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur...”
(Q.S. 3 : 145)
“Semua akan tiba pada suatu masa.
Ketika segalanya harus berakhir.
Entah kau mau menerima atau tidak.
Itu adalah sebuah ketetapan dari kuasa langit.
Hukum alam bagi siapa saja yang pernah merasakan kehidupan.
Tak ada keabadian.
Selain naungan terindah di sisi Tuhan..."
Selengkapnya
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Telah meninggal Yunita Eka, siswi SMA Negeri 1 Parung Angkatan 23..”
Begitu kubaca kabar duka itu, saat itu pula aku terdiam cukup lama.
Hal ini membuatku berpikir.
Ketika salah satu teman sebaya kita meninggal, di saat itu pula kita berpikir bahwa di dunia kita hanya sementara, kita tak abadi dunia.
Sebelum ini, aku selalu berpikir bahwa kematian sebagai sesuatu yang sangat jauh dariku.
Sebagai sesuatu yang tidak akan terjadi pada diriku.
Aku selalu berpikir, “Tenang, gua masih 18 tahun, gak mungkin terjadi apa-apa. Orang jarang meninggal pada usia 18 tahun. gua bakal mati karena tua..!”
Aku lupa bahwa,
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan kematian”
Saat ini, kematian temanku itu seolah menjadi sebuah note kecil yang dikirimkan Tuhan untukku. Bahwa tak akan ada yang kekal di dunia, selain Dia, Dzat Yang Maha Kekal.
Keesokan harinya, aku datang ke kediamannya. Di antara teman-teman yang datang, ada yang tidak terlalu kenal dengannya. Ada yang sudah begitu kenal dekat dengannya. Ada yang dulu teman sekelas. Ada yang memang baru dekat setelah lulus. Bermacam-macam teman datang ke sana, bahkan teman mendiang ketika sekolah TK dulu. Tapi mereka memiliki satu kesamaan: “mereka ingin menunjukkan rasa sayang mereka terhadapnya untuk yang terakhir kalinya.” Mereka sayang dengannya. Mereka menyayangkan mengapa hidupnya harus selesai secepat itu.
Aku duduk diantara para pelayat. Samar-samar aku mendengar seseorang berkata. “Sayang banget ya.. Orangnya baik..”
Dalam hati, aku mengiyakan ucapan orang tersebut. “Iya, dia memang orang baik..”
Kalian tahu?
Duduk diantara para pelayat, membuatku berpikir.
“Gimana ya pemakaman gua nanti?”
Terkadang aku berpikir, seperti apa pemakamanku nanti. Apakah banyak yang akan datang? Apakah ada yang datang? Apakah yang akan mereka katakan tentang diri ini? Apa kenangan mereka tentang diri ini? Apakah ada yang akan rela datang, hanya untuk melihat diri ini untuk terakhir kalinya? Apakah ada?
Terkadang aku merasa, kematian adalah topik yang sensitif untuk kita.
Sesuatu yang ada, tetapi kita selalu menafikan keberadaannya.
Kita hidup di dunia ini seakan-akan kematian itu tak pernah ada.
Kita telah melupakan kematian.
Kita terlalu sibuk dengan segala bentuk aktivitas yang penuh kerangka kemajemukan dan kesia-siaan.
Sepulang dari kediamannya.
Aku merasa kecil.
Aku merasa harus berbuat sesuatu untuk kehidupanku. Tubuh ini dipinjamkan. Setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi menuju kematian.
Kita harus lebih banyak berkarya.
Kita harus lebih menikmati dan mensyukuri hidup.
Memanfaatkan setiap kesempatan.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin dalam persahabatan.
Berteman dengan penuh kehangatan.
Menambah porsi kasih sayang.
Dan yang terpenting, tak pernah letih menebar bibit kebaikan di setiap jejak langkah kehidupan yang kita jalani.
Karena kita hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan.
Suatu saat aku akan mati. Tetapi aku ingin membuat sesuatu yang tidak akan mati. Suatu hal yang menjadi pengingat bahwa aku pernah hidup. Suatu hal yang menjadi kenangan manis tentangku bagi setiap orang yang pernah mengenalku.
Hal ini tak ingin kulupakan.
Karena aku pun tak ingin dilupakan.
Aku tak ingin hanya menjadi semacam nama yang hilang tak berbekas.
Nama yang hanya dipasang di atas sebuah nisan usang, yang mungkin pada awalnya akan sering dikunjungi namun lama kelamaan semakin dilupakan.
Hingga pada akhirnya dikunjungi hanya menjelang bulan puasa dan hari raya.
Nama di sebuah nisan berlumut. Usang. Kotor. Bau. Dan berdebu.
Kini, semasa hidupku. Aku pun tak ingin menjadi semacam jiwa yang hanya memenuhi bumi ini, menyesaki kota ini.
Hanya untuk makan. Minum. Bicara. Bergurau. Bercanda. Tertawa. Menangis. Untuk apa?
Aku mau menjadi spesial.
Or I want to die special.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Tuhan, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur...”
(Q.S. 3 : 145)
“Semua akan tiba pada suatu masa.
Ketika segalanya harus berakhir.
Entah kau mau menerima atau tidak.
Itu adalah sebuah ketetapan dari kuasa langit.
Hukum alam bagi siapa saja yang pernah merasakan kehidupan.
Tak ada keabadian.
Selain naungan terindah di sisi Tuhan..."
Artikel Acak
Followers