Pada Sepotong Malam Hujan Setelah Kehilangan


Malam datang lagi. Rindu mencekam dengan bahasa hujan yang dingin dan kesepian. Aku duduk mendekap lutut, bersama segelas kopi, abu rokok, dan repih-repih perasaan yang berceceran di setumpukan catatan rencana yang tak jadi. Kenyataan menampar sadar bahwa selepas hilang tak ada lagi yang bisa dirapikan.

Pada akhirnya, aku dipaksa menyerah menerima keadaan. Meratap diri untuk tabah menerima kekalahan-kekalahan. Beberapa orang pernah berkata, menyerah bukan berarti kalah, itu hanya menjadi semacam pengingat bahwa ada beberapa hal dalam hidup yang tak dapat dipaksakan. Mungkin memang benar, hidup adalah sekumpulan kompromi untuk menyesuaikan diri. Baik-buruk, bahagia-luka, sedih-tertawa, hanya sekeping rasa yang hanya bisa dirasakan saat mau memilih untuk menikmati yang mana.

O, tapi harus kau ingat, aku tak pernah memaksa agar kau selalu berada di sini, menenami, untuk waktu yang lama atau bahkan selamanya. Aku hanya memperjuangkan kebahagiaan yang kumiliki, kebahagiaan itu kamu, —tentu saja. Tapi nyatanya, kebahagiaanku bukanlah menjadi kebahagiaanmu. Sedihku, ternyata bukan lagi menjadi sedihmu. Aku telah menjadi asing di dalam kepalamu. Dan kau, telah menjadi sedemikian berbeda di dalam ingatanku.

Tapi, baiklah, toh sekuat apapun aku berusaha, hal yang tak mungkin bisa menjadi milikku, tetap saja tak akan bisa bersama. Sekeras apapun aku mencoba, sesuatu yang seharusnya pergi akan tetap meninggalkan juga. Maka, di sinilah aku sekarang. Menyendiri di antara kesepian tak bernama. Mengenang kau yang berlalu dan tiada. Membenahi kita yang kau abaikan dengan doa-doa; “semoga kau berbahagia, dengan sekeping hati baru yang bukan aku.”
Selengkapnya

Kategori Utama