Kita Pernah Berjanji

Kita pernah berjanji akan menjejakkan kaki sejauh yang kita bisa. Membaui aroma laut yang bersemilir mesra. Mengelilingi jalanan kota di atas kecepatan 50 km/jam. Atau bahkan memetik mentari di puncak gunung, sebab tak ada gunung yang lebih tinggi dari mata kaki kita selama kita mampu mendaki puncaknya.

Kita pernah berjanji untuk tak pernah melepaskan genggaman tangan saat mewujudkan mimpi. Karena seperti katamu, “Meski sendiri itu baik, berdua jauh lebih indah.”

Kita pernah berjanji akan saling menemani bagaimana pun keadaannya. Menjadi peluk yang selalu mendekap saat sendu dan sembab. Penghangat dari setiap kesedihan yang kerap kali membuat gigil. Karena seperti yang kita pernah pahami, tak ada yang paling menenteramkan selain memiliki teman untuk berbagi penderitaan.

Kita pernah berjanji untuk selalu bersama. Saling mengisi kekurangan untuk menyempurkan. Sampai akhirnya kau pergi tanpa pamit dan permisi. Menyisakan repih mimpi menjadi setumpukan abu dari catatan rencana yang tak jadi. Yang manakala tersapu angin berlalu. Dan berembus hilang; terbang.
Selengkapnya

Perempuan yang Memeluk Bayangannya Sendiri

“Dion menamparku lagi,” katamu dengan suara serak di sudut kafe Kedai Kopi Kemang. Sepanjang yang aku lihat, lebam tercetak jelas di pipi kananmu.
“Harus berapa banyak lagi tamparan yang kau terima untuk membuatmu sadar bahwa suamimu bukan seseorang yang pantas untuk kau pertahankan?” kataku geram. Tentu aku marah dengan suamimu. Namun, tak ada yang lebih membuatku kesal selain menerima kenyataan yang berada di depan mataku saat melihatmu begitu ringkih di hadapan perasaanmu sendiri.
“Dia tak sengaja, An. Dia hanya sedang marah. Aku tahu sebenarnya dia mencintaiku."
Aku menatap matamu dengan nanar sekaligus iba.
“Cinta tahi kucing! Kalau ia benar mencintaimu, ia tak akan tega menyakitimu, Sya.”
“Iya, aku mengerti. Tapi aku juga tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri karena tak mampu menenangkannya saat ia sedang marah, An.”
“O, come on, Sya. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Jangan menjadi pandir yang tak bisa membedakan mana cinta mana ketidakwarasan.”
“Bukan begitu, An. Aku hanya...”
Kau kembali menangis. Kali ini lebih terisak. Aku membiarkanmu larut dalam kesedihanmu sendiri. Tak ingin lagi memberi sesi ceramah yang sudah kulakukan berulang kali tapi tak pernah kau terima dengan akal sehatmu.

Benar kata Bagus Netral, cinta itu memang gila. Bisa-bisanya cinta merenggut kewarasanmu.

Ah, Syakila. Perempuan idolaku sepanjang masa, yang kecantikannya saja membuatku gugup, bisa-bisanya menjadi buta untuk melihat kebahagiaannya sendiri. Kalau saja kau tahu, Sya. Di depan matamu, nih, ada seseorang yang sedari dulu ingin kau tatap sebagai pemilik hati yang pantas kau cintai. Seseorang yang tak pernah absen untuk datang saat kau minta, meski permasalahan yang kau sampaikan itu-itu saja. Seseorang yang hadir untuk menyeka air matamu, membantumu menghapus kesedihan teramat yang diciptakan oleh lelaki yang katanya kau cintai. Hey, andai kau mau sedikit saja membuka matamu lebar-lebar, Sya, lalu memberikanku kesempatan untuk kau tatap sebagai seseorang yang kau cintai, mungkin kau tak perlu merasakan perih pedih seperti ini. Boro-boro membuatmu lebam dan membiru, untuk melihatmu menangis saja rasanya tak akan tega. Sebab aku akan selalu membuatmu bahagia bagaimana pun keadaannya.

”Maaf, Anita. Aku kebawa emosi. Jadi aku harus bagaimana?”

Aku gelagapan demi mendapat pertanyaanmu yang tiba-tiba memecahkan lamunanku.

“SHIT!" teriakku dalam hati.
Selengkapnya

Kutulis Saat Tak Bisa Menulis

Tulis saja setiap hal yang dikehendaki hati dan pikiran untuk dituangkan. Sebab apalagi yang disisakan kematian, selain kenangan dan kata—kata.


Bersama keheningan.
Aku menulis dalam diam.
Sedikit kesulitan kueja makna dalam perputaran jam.
Sambil perhatikan detak waktu yang kian menghantam.
Kucoba untuk tetap menulis.
Dalam diam.

Ya, menulis!
Mereka bilang menulis itu sulit. Aku pun demikian. Tak mudah memaknai setiap keadaan dengan sebuah tulisan. Saat memaksa jemari menari dalam pentas susunan kata, melompat dan berputar dari setiap diksi dan rima, menggabungkannya menjadi ejaan penuh makna.
Sulit bukan?

Aku masih memikirkannya.
Memilih dan memilah kata. Mengukur dan menimbang makna. Mencocokkan antara diksi, ritme, dan rima. Ah..., kesulitan aku memikirkannya!

Menulis memang sulit.
Terlebih dalam waktu yang terus menghimpit.
Ideku pun terasa sesak karena terjepit.
Semua jadi muram dan berbelit.

Andai hidup adalah tentang logika dan hati.
Mungkin akan lebih mudah menulis dengan pena hati. Mereka bilang, hati tak akan pernah membohongi diri. Aku pun sependapat dengan ini. Maka, kini kucoba menulis dengan hati. Memikirkannya sepenuh hati. Menimang-nimang kata dengan hati-hati.

Senja mulai temaram kini.
Selubung petang mulai menyelimuti.
Aku masih di sini.
Mencoba pahami dan menghayati.
Membaca diri dalam hidup yang terus berotasi. Lalu mencoba menoreh kertas dengan pena hati.

Ah...
Kertasku masih putih.
Aku masih belum bisa menulis.
Sedangkan ronta di dada kian terdengar miris.
Meneriakkan kesulitan yang tak kunjung habis.

Ingin rasanya kubunuh waktu dari perputaran dunia!
Agar aku dapat bebas bereksplorasi mencari makna dalam sebuah kata. Lalu mulai menuliskannya, menjadikannya mutu manikam yang terasah sempurna.

Baru saja aku berpikir untuk memenggal waktu.
Malam beringsut menggangguku dengan kantuk yang memburu.
Ah...
Kalau sekarang aku lelap dalam tidur lena, pasti esok aku akan terjaga dalam keadaan tanpa makna.
Kehabisan ide.
Kehilangan cerita.
Demam kata.
Bisu.
Tanpa makna.
Tak abadi.
Tak berarti apa-apa lagi.
Lalu halaman kertas kembali usang.
Kosong.
Tanpa tulisan.

"Dalam bening malam.
Kumenulis dalam diam.
Dalam hening malam.
Kuteriak dalam diam..."
Selengkapnya

Kategori Utama