Dear, diary.

Kali ini mau nulis random aja. Kumpulan cerita yang terjadi belakangan ini. Minggu ini jadi minggu yang sibuk buat gue. Pagi ngopi, siang UAS, malam nonton bola (apanya yang sibuk?). Karena kesibukan itu, hampir nggak ada waktu buat ngomongin orang. #lah
Tapi emang bagusnya sih gitu, dari pada kita ngomongin orang, lebih baik kita ngomongin ide. Ngomongin orang bisa menciptakan dosa, nah kalau ngomongin ide bisa menghasilkan karya. Betul nggak?

Hari kemarin sempet ngeluangin waktu buat browsing di internet. Bosen juga di mana-mana penuh sama berita pemilihan umum, bukan karena nggak suka cita sama pagelaran demokrasi lima tahunan sekali, sih. Tapi lebih karena munculnya berita-berita timpang miskin fakta. Orang bilang sih namanya black campaign. Inget ya, black campaign, bukan black champaign. Kalau black champaign, itu nama minuman. Sekali tenggak, dompet melarat.

Eh tapi, gaes. Black Campaign itu yang kampanyenya pakai baju hitam dan payung hitam bukan, sih? *kemudian hening* *terdengar suara jangkrik dari kejauhan*

Karena jenuh main-main di portal berita, akhirnya gue nyasar ke web Zalora. Di sana, gue lihat ada koleksi jas baru dari Zalora. Rasanya ngelihat koleksi jas di tanggal tua kayak begini itu, men, kayak elo ngelihat koleksi jas di tanggal tua. Hasil kepo di web itu, ada beberapa koleksi jas yang gue suka. Mungkin nanti bisa dipakai saat acara pernikahan, pas jadi petugas KUA.
HAHAHAHA
Gaes..
Mau ke mana gaes?
Gue belum selesai cerita, gaes.
Jangan pergi dulu, gaes.


Tampilan web Zalora

Terakhir yang mau gue omongin dalam postingan kali ini, nggak semua orang mau dengerin cerita elo. Tapi saat jadi tulisan dan disebarkan, mau nggak mau bakal ada orang yang baca. Hahaha.

Maka, menulislah. Sebab hidup teramat sayang untuk tidak dituliskan.

Salam super!
Galih Hidayatullah
Selengkapnya

Kepada Reza; Kopi dan Pahit yang Tertinggal

Mungkin kau sedang berlarian di antara langit penuh gemintang malam ini. Atau meminum segelas kopi dibubuhi setengah sendok gula di depan pelataran surga. Apa kau masih suka minum kopi pahit, Za? Aku masih saja mengernyitkan dahi acapkali mencoba meminum segelas kopi seperti yang kau minum. Bagaimana mungkin kau bisa menyukai segelas cairan hitam kental dan pekat tanpa mencecap rasa manis di dalamnya? 

Kau pernah bilang bahwa segelas kopi pahit menyegarkan isi kepalamu. Membangkitkan lagi gairah semangat setelah seharian menjalani rutinitas yang menyibukkan. Tapi buatku, alih-alih menyegarkan isi kepala, mulutku tak henti menyepah karena rasa yang saking pahitnya. Mungkin aku tak bisa akrab dengan rasa pahit, sebagaimana rasa yang tertinggal selepas aku kehilangan kamu untuk selamanya.

Bagaimana rasanya berada di antara sekumpulan kapas-kapas putih di taman surga, Za?
Kuharap kebahagiaan selalu memelukmu. Mencipta simpul senyum riang di setiap waktumu. Jangan menganggap aku tak sebahagia kamu di sana. Di sini aku berbahagia —tentu saja. Hanya saja tak seistimewa bila kau ada di sini. Menemani. Duduk berdua sambil bercengkerama, berbagi cerita dan rahasia-rahasia. Lalu tertawa dan saling menyeka air mata.

Betapa membahagiakan membayangkan kita selalu bersama. Tapi cinta adalah soal pergi atau ditinggal pergi, kan? Maka biarlah bila pada akhirnya aku yang harus memeluk cinta sendirian. Merapihkan repih-repih kenangan di antara pahit getir kehilangan. Aku tak berkata bahwa aku sudah lepas dari segala tentang kamu. Hanya saja aku mulai terbiasa tanpa kamu. Meningkahi gelap malam sendiri, bersama doa-doa bersayap sepi yang kubiarkan melayang terbang menujumu. Seringkali aku cemburu pada doa-doaku, sebab mereka dapat lebih lama memelukmu dibanding diriku sendiri.

Za, maafkan aku yang tak henti memikirkan segala tentangmu. Aku hanya ingin mengenangmu lebih banyak, hingga tak ada lagi yang tersisa saat aku benar-benar rela melepaskanmu. Aku hanya ingin mengingatmu lebih sering, hingga aku kehabisan cerita saat aku benar-benar merelakanmu. Menelan kenangan bersamamu bulat-bulat tanpa peduli lagi pahit getir di ujung kerongkongan.

Maka malam ini, perkenankan aku menghabiskan segelas kopi kental pahit hingga tetes akhir. Sebab merelakan tak ubahnya mengizinkan diriku sendiri untuk mengakrabkan diri pada rasa getir. Menelannya bulat-bulat hingga tak ada lagi pahit yang tersisa. Membiasakan diri agar merasa nyaman pada akhirnya.

Terima kasih telah hadir. Meski sejenak dan sementara tapi bermakna lebih lama.
Izinkan aku merelakan kepergianmu, seiring kopi yang kuteguk habis di dalam kerongkonganku.

Perempuan yang mendoakan kebahagiaanmu kekal abadi,

Namira Lana
Selengkapnya

Kategori Utama