Saya Rindu Kamu

“Kita pernah, —di jalanan kota yang padat ini— menjadi sepasang lengan yang bergenggaman membelah senja membenam di lahap malam...”

Saya sedang tidak bergurau jika mengatakan bahwa saya merindukanmu. Saya pernah bilang bahwa kau mudah sekali dirindukan, bukan? Akhir-akhir ini, kau datang lebih sering ke dalam kepala saya. Terkadang menjelma cerita, lagu-lagu, film, atau bahkan gambar-gambar yang memunculkan kelakuan-kelakuan konyol tentang kita dahulu. Apa kau ingat? Di suatu sore yang basah, kita pernah masuk ke sebuah restoran yang menjual mie ramen, saat itu kita basah kuyup akibat mengendarai motor di tengah hujan. Tanpa rasa bersalah, kita lantas duduk di bangku paling pojok. Memesan mie ramen lalu memakannya dengan sangat lahap. Tak mempedulikan mata-mata yang sinis melihat kita yang mengotori lantai restoran. Sampai pada suapan terakhir, kita didatangi manajemen restoran, ia meminta kita untuk tidak berlama-lama di sana. Mengganggu pengunjung lain, —katanya. Lalu dengan tak kalah sengit, kau membalas permintaan itu dengan matamu yang melotot, lalu mengomel dengan kalimat yang tak jelas terdengar apa karena adanya mie yang masih kau kunyah di dalam mulutmu. Lalu, saya menengahi dengan segera membayar mie ramen itu, dan mengajakmu untuk segera keluar restoran dengan sebelumnya meminta maaf kepada ia karena telah mengotori restorannya. Di luar restoran kamu masih mengomel-ngomel sendiri karena tak terima diperlakukan berbeda. Ada mie yang menyangkut di hidungmu saat itu. Setelahnya hanya ada kita yang tertawa menceritakan kembali hal itu semua.

Apa kau ingat?

Rindu begitu mudah mengundang kenangan. Suatu kali tertawa mengingatnya, setelahnya hanya ada dada yang getir mengetahui bahwa hal itu tak dapat terulang kembali. Lalu kemudian, —tanpa bisa menahan— rindu menjelma awan yang mengantarkan hujan ke dalam mataku. Mencipta bulir-bulir bening yang jatuh satu per satu. Membentuk dua aliran sungai yang membasahi pipi. Menguarkan aroma cemas yang menyesaki pernapasan. Hingga tersengal dalam resah tak berkesudahan.

Saya sedang berada di sini sekarang. Di satu sudut jalan di mana kita pernah membelah sore dalam kecepatan 70km/jam. Menikmati sisa sore membenam sendirian. Pada waktu dan tempat yang sama di hari wafatmu setahun yang lalu.


Tenanglah di sana.
Maafkan saya yang lalai mengantarmu pulang dengan selamat.
Saya merindukanmu. —lagi
Selengkapnya

Naira

Pernahkah kamu? Merasa asing di dalam kepalamu sendiri? Saat begitu banyak orang yang di hadapanmu, tapi kau tak merasakan dirimu berada di sana. Hanya ada kekosongan, seperti berlari di labirin tak berujung. Kau memacu kakimu hingga letih, tapi kau tak pernah tahu akan sampai di mana ketika kau berhenti.

Adalah Naira. Perempuan yang duduk di bangku ketiga baris keempat sebuah peron stasiun kereta api. Sudah sejak 15 menit lalu ia duduk di sana. Memerhatikan lalu lalang orang yang pergi dan pulang. Menunggu kereta api yang akan membawanya pergi. Kepalanya lengang oleh kesepian tak bernama. Mulutnya sedari tadi menggigit kukunya yang sudah pendek. Dua kali saja ia mencoba menggigit kukunya lagi, mungkin tangannya akan berdarah. Mata bulat menghiasi wajahnya, berkeliling ke sana ke mari. Tak ada hal yang benar-benar ia lihat, memang. Hanya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Di pikirannya hanya ada satu hal. "Saya harus pergi dari sini."

Adalah Khadijah, Ibunda Naira. 2 jam lalu ia membuat sebuah keputusan besar. Menyampaikan rahasia besar tentang Naira di atas dipan rumah sakit yang tipis.

"Bu, saat ibu kecelakaan kemarin, kenapa hanya aku yang tak bisa mendonorkan darah? Aku hampir bertengkar dengan dokter yang bertugas. Mereka bilang, darahku tak cocok dengan ibu. Bagaimana mungkin? Aku adalah anakmu, bagaimana bisa darahku tak cocok denganmu? Ada apa sebenarnya?" tanya Naira di samping tempat tidur ibu.

Khadijah tersenyum getir. Ada kesedihan menari di sudut matanya.
"Naira. Ada hal yang ingin ibu sampaikan kepadamu. 18 tahun lalu, ibu pergi ke sebuah panti asuhan di Jogjakarta. Setiap hari dalam satu minggu itu, ibu tak pernah absen untuk datang menengok anak-anak yang diasuh di sana. Hingga di suatu pagi pada hari ketujuh, ada seorang bayi perempuan yang diantar oleh petugas rumah sakit. Mereka bilang ibunya meninggal saat melahirkan. Sanak keluarganya tak ada yang bisa dihubungi. Suami yang mengantar pun, pergi entah ke mana. Maka diputuskanlah untuk menyerahkan bayi itu di panti asuhan. Agar dapat dirawat hingga bisa tumbuh seperti anak-anak lainnya. Hari ini, anak itu telah tumbuh mendewasa. Menjadi perempuan anggun yang baik budinya. Anak itu adalah kamu, Naira. Ibu mengadopsimu dari panti asuhan itu agar bisa merawatmu dengan kasih sayangku."

Demi mendengar petir di siang hari. Naira menangis sesenggukan. Tak ada hal yang bisa ia sampaikan. Ia lantas pamit kepada ibunya. Lalu berlari ke luar dari rumah sakit. Pulang ke rumah untuk berkemas pergi.

Maka di sanalah ia sekarang. Duduk di bangku ketiga baris keempat sebuah peron stasiun kereta api. Untuk pergi bersama kesepian yang terlanjur lebam dihantam kenyataan. Menuju Panti Asuhan tempat ia ditemukan.
Selengkapnya

Kategori Utama