Mata Kanan

Seperti embun yang menggantung di ujung daun, titik merintik meneduhkan hari. Atau seperti nuri yang berkicau bersahutan tak henti, menjelma simfoni paling puisi. Atau seperti embusan angin yang memasuki kisi-kisi jendela, bersemilir membawa aroma bahagia. Aku memaknai kamu sebagai keindahan pagi. Lugu senyummu yang merona begitu memesona. Teduh, menyegarkan, dan tentu saja menghadirkan kebahagiaan. Teduh tatap matamu yang sayu pernah membuatku betah berlama-lama tersungkur di situ. O, Key, aku tenggelam ke dalammu.

Maafkan aku yang mengawali surat ini dengan kata-kata picisan, aku hanya ingin kau tahu bahwa berada dekat denganmu adalah sebuah kebahagiaan. Mungkin kau belum begitu dalam mengenalku, tapi sungguh, Key, aku lebih tahu dari apa yang kau percaya bahwa aku tahu. Hahaha ironi bukan? Biarlah, Key. Suatu saat, kau akan mengetahui bahwa aku sesungguhnya tak pernah jauh. Begitu dekat denganmu.

Aku merasa bahagia saat membaca suratmu kemarin. Sepertinya kau memang sudah memahami apa yang harus kau lakukan. Merelakan dan melepaskan memang tak pernah mudah, Key, tapi lakukanlah. Kelak, akan tiba saat ketika kau tak akan lagi menangis meratapi kenangan, justru kau akan menertawai betapa terlambatnya kau beranjak untuk meneruskan perjalanan. Masa ketika kau sudah mampu berdamai dengan hatimu sendiri.

Membaca kisahmu dari buku Lelaki, Gadis, dan Kopi Campur Garam membuatku terenyak. Betapa indah cerita itu. Sepertinya aku akan mencari bukunya untuk membaca setiap kisah yang ada di dalamnya. Terima kasih atas ceritamu, banyak hal yang aku pelajari. Mungkin nanti aku akan menerapkannya pada permasalahan lain. Permasalahan sedih dan bahagia bukan hanya tentang cinta, kan? Hahaha

Aku akan menceritakan sedikit tentang diriku. Semoga bisa menjadi bayangan dalam imajimu, bagaimana sesungguhnya aku.

Hhm..
Di mulai dari mana, ya, Key?
Jika aku mulai menceritakan seperti apa rupaku, aku takut kau keliru mengimajinasikannya. Tapi baiklah, tak bagus membuat perempuan penasaran. Tinggiku tak seberapa, mungkin hanya lebih tinggi sejengkal dari kepalamu. Mataku bulat sempurna, seperti bulan kala purnama. O, bukan berarti indah, Key. Yang ingin aku katakan adalah mataku besar dari ukuran biasanya. Hahaha. Bentuk mukaku bulat, hanya agak tirus di bagian dagu. Hidungku tidak terlalu mancung seperti punyamu, tapi cukuplah untuk bisa menghirup udara dengan leluasa. Hahaha.

Aku pernah menceritakan, kan, bagaimana pekerjaanku? Kalau di waktu lalu aku hanya menjadi penulis lepas di sebuah website, sekarang aku diangkat menjadi staff promosi di perusahaan itu. Meski hanya pegawai freelance, tapi penghasilannya sudah lebih baik dibanding kemarin. Apa kau mau kutraktir pada gaji pertama nanti? Tapi tidak lebih dari semangkuk cireng ya, Key? Hahaha. Bercanda. Jangankan semangkuk cireng, Key, dengan gaji pertamaku nanti, aku bisa membelikanmu candi Borobudur. Apa kau mau, Key? Mungkin bisa jadi penghias untuk halaman rumahmu. Hahahaha

Aku tidak bermaksud menjadi lelaki menyebalkan dengan kesombongannya pada gaji pertama. Tapi memang begitulah adanya, Key. Ahzeg. Silakan bila kau mau melempariku dengan batu bata. Aku sudah siap menangkisnya dengan tanganku sendiri. Hahaha

Sepertinya aku terlalu banyak tertawa dalam surat ini, Key.
Ah, sudahlah. Aku ingin mengakhiri surat ini dengan kalimat sederhana dari Gloria, tokoh animasi dari film Madagascar.


“It's crazy to think I had to go half way round the world to find the guy who's perfect for me was right next door...”


Tak perlu jauh mencari, boleh jadi ada yang begitu dalam mencintaimu di sisi kiri.

Salam,
Al.

Ps: Aku menyelipkan selembar fotoku dalam surat ini. Aku memotongnya menjadi empat bagian, bagian pertama ini adalah mata kananku. Kelak, ketika sudah lengkap empat bagian, kau akan tahu siapa aku.
Selengkapnya

Cerita Dalam Cerita

Selamat siang, Key.
Aku hampir berpikir bahwa kau tak mau membalas suratku lagi. Resah paling menjemukan adalah ketika engkau tak tahu apa sebabnya, tiba-tiba menikam hati hingga terasa perih. Membuatmu kelimpungan oleh hal-hal yang tak kau tahu apa yang ingin dilakukan. Maka pada akhirnya, kau hanya akan mondar-mandir dengan kepala yang disesaki kecemasan, —yang tentu saja—, engkau pun tak tahu karena hal apa. Pernahkah kau merasakan hal itu dalam hidupmu, Key?

Lima hari kemarin, hanya hal itu yang aku lakukan. Duduk termangu sambil mendekap lutut, atau sesekali berdiri untuk mondar-mondir tidak jelas. Entahlah apa yang sebenarnya aku alami. Sampai suatu ketika aku tersadar, bahwa suratmulah penyebabnya. Aku menunggu kabarmu. Menantikan sapa yang menyampaikan bahwa kau baik-baik saja. Memberitahuku apa saja yang kau lakukan. Sebuah salam yang membawa pesan tentang dirimu. Kabarmu menenangkanku. Itu yang aku pikirkan.

Key,
Aku bersyukur bahwa kau sudah jauh lebih baik, tak lagi menangisi kehilangan. Biarlah segala kesedihanmu menguap seiring senyum yang kau tampilkan. Jangan izinkan air mata jatuh lagi dari kedua pelupuk matamu. Cukuplah kau menangis sebentar untuk sekadar menunjukkan bahwa kau memiliki perasaan. Tetaplah tersenyum, Key. Itu yang aku harapkan.

Apa kau masih ingin mendengar dongeng dariku, Key?
Suatu kali, ada seorang nenek yang membawa cucunya jalan-jalan ke sebuah pameran keramik. Nenek itu menghabiskan waktu bersama cucunya untuk mengunjungi rak demi rak keramik yang dipamerkan. Menikmati setiap keindahan-keindahan tembikar yang berada di sana. Sampai suatu ketika, sang cucu bertanya bagaimana bisa ada keramik seindah itu. Lalu sang nenek berkata sambil menatap mata si cucu, “Kau tahu, nak? Untuk bisa menjadi keramik yang indah dibutuhkan proses yang tak sebentar dan menyakitkan. Pada awalnya, seorang seniman tembikar akan mengambil tanah liat di dasar-dasar sungai yang dalam. Memilih tanah liat mana yang sesuai untuk dijadikan tembikar. Lalu kemudian membawanya ke sebuah alat pemutar untuk membentuknya menjadi sesuai yang diinginkan. Memutarnya ke kanan, memutarnya lagi ke kiri hingga bisa terbentuk. Betapa menyakitkannya itu bagi sang tanah liat. Tak hanya itu, nak. Seusai terbentuk, tanah liat itu kemudian di bakar di perapian. Betapa panasnya suhu di sana. Tanah liat yang cokelat mulai menghitam akibat kepanasan. Saat sudah mulai mengeras dan kuat, tembikar yang berasal dari tanah liat itu kemudian dihias oleh sang seniman. Menciptanya menjadi seni keramik yang indah dan bernilai. Kebanyakan orang tak pernah tahu, bahwa keindahan yang mereka lihat dari seni keramik itu sebenarnya berasal dari tanah liat yang kotor dan bau.”

Key, itulah yang Tuhan inginkan kepadamu. Sang Maha Seniman itu sedang membentuk kamu menjadi sesuatu yang indah. Setiap proses yang kau alami dengan segala kesedihan dan kenestapaan hanyalah tahapan untuk mencapai keindahan. Maka nikmati prosesnya, hingga akhirnya kau bisa menjadi perempuan yang jauh lebih memesona dari yang kau bayangkan. Tetaplah tersenyum. Karena dari sanalah ketegaranmu berasal.

Salam hangat penuh doa,
Al.


Ps: Anyway, aku sudah melihat fotomu saat tersenyum. Betapa cantiknya kamu. Foto itu sudah aku bingkai dan aku letakkan di meja kerjaku. Tak apa, ya? Hehehe.
Saka pasti pandai memotret. Ia bisa mengabadikan keindahanmu dengan sangat baik. Benar kan?



Selengkapnya

Move On

Suatu hari yang hujan, seseorang pernah mendatangi saya dengan matanya yang sembab. Saya bertanya apa sebab dia menangis. Dia hanya diam. Tak menceritakan apapun. Dengan alis yang bertautan dalam perasaan bingung, saya membiarkan saja dirinya larut dalam tangis untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia buka suara.

"Apa cinta memang diciptakan dengan kesedihan? Mengapa Tuhan tak menciptakannya dengan kebahagiaan saja? Sehingga tak lagi ada orang yang terluka hanya karena cinta."

"Saya pikir, justru cinta diciptakan untuk kesedihan dan kebahagiaan. Tuhan sepakat untuk menciptakannya sepaket. Keceriaan dan kepedihan. Toh, apalah artinya sedih dan bahagia, bila tak ada cinta untuk menemani saat menceritakannya. Ada apa?"

"Aku tak bisa melupakan. Sudah setengah tahun kepalaku selalu disesaki kenangan lalu," jawabnya dengan napas tersengal.

"Bersabarlah. Hatimu lebih luas dari yang kau sangka. Sudah saatnya untuk bangkit dan berdiri lebih tegak lagi. Kepergian jangan sampai membuatmu kehilangan diri sendiri."

"Aku sudah mencoba, tapi tak bisa."

"Kau belum mencoba apapun. Yang kau lakukan hanya berusaha melupakan. Bagaimana mungkin kau bisa lupa, padahal untuk melupakan kau harus kembali mengingatnya lagi. Sudahlah, relakan untuk melepaskan. Terimalah kenyataan bahwa hatinya bukan lagi milikmu dan hatimu masih sepenuhnya kau miliki. Jangan biarkan dirimu jatuh dalam kubang luka. Hatimu yang merah muda terlalu baik untuk dibiarkan sakit. Berdamailah dengan dirimu sendiri. Maafkanlah dirinya dan dirimu sendiri. Mari mulai lagi untuk melangkah dan membuat kenangan baru. Berjalanlah sesekali. Buka mata dari kepedihan yang sebenarnya tak seberapa."

"Entahlah, hatiku telah mati semenjak ia melangkah pergi," ia berkata dengan senyum yang dipaksakan, sarat akan kegetiran.

"Move on bukan tentang bersegera dalam mencari sekeping hati baru. Tapi seberapa mampu kau terlepas dari luka dan kenangan lalu."

"Bagaimana caranya?"

"Memaknai proses move on itu seperti mempelajari tingkah bayi yang baru lahir. Mencoba merangkak dan berjalan meski kerap terjatuh. Berletih-letih bangkit walau kau merasakan sakit. Hingga akhirnya datang masa ketika kau mampu berlari, meninggalkan kenangan tepat di belakang."

"Aku akan mencoba untuk berdiri lebih tegak lagi. Terima kasih atas waktumu. Aku pamit pulang."

"Berhati-hatilah, hari masih hujan."

"Aku suka hujan. Yang tidak aku suka adalah bagaimana mungkin seseorang yang sedang kucoba untuk lupakan, justru sekarang sedang memberi wejangan untuk merelakan. Mengapa cinta membuatmu melepaskanku?"
Selengkapnya

Jangan Menangis, Key!

Key,
Ketika cinta memilihkan orang yang tak tepat untukmu, membuatmu luka oleh cinta maha nestapa akibat ditinggalkan dengan repih perasaan sia-sia, jangan menangis, sebab itu hanyalah cara Tuhan untuk memuliakanmu. Ia —Tuhan— menunjukkan kepadamu, bahwa lelakimu bukan seseorang yang pantas kau percaya. Maka Tuhan tampilkan ia dalam wujud aslinya sehingga engkau tahu seberapa pantas ia untuk menerima pesona cinta yang berpendar indah dari hatimu. Lalu, manakala yang akhirnya terlihat olehmu adalah ia yang menduakanmu, menyia-nyiakan keping perasaan yang kau titipkan hingga jatuh dan berantakan, sudah sepantasnya engkau bersyukur dapat segera melihat ia dalam bentuk itu. Sebab jika tidak, betapa nestapa engkau jika nanti,—saat langkahmu sudah teramat jauh— baru mengetahui bagaimana cara ia memperlakukanmu saat di belakangmu.

Key,
Hidup adalah sebuah kebahagiaan. Ketika hidup menawarkan kegelapan, maka sesungguhnya itu adalah alasan mengapa engkau harus menjadi cahaya, lilin kecil penerang kehidupan. Setiap dera yang kau rasa merupakan cara yang diberikan Tuhan untuk membuatmu menjadi lebih tegar, lebih sabar, dan lebih bersyukur dalam mengarungi setiap jejak langkah kehidupan.

Key,
Hidup adalah anugerah terindah meski di hari terburuk. Kenyataan bahwa engkau mampu membuat keputusan, menjalaninya, dan pada akhirnya mampu membuat perbedaan, sesungguhnya itu jauh lebih berharga ketimbang kekecewaan dan luka nestapa yang engkau rasakan.

Key,
Hidup adalah istimewa. Karena engkau masih diberikan kesempatan lagi untuk melewati hari. Ada kesempatan baru untuk terus tumbuh dan berkembang, membuat impian beserta harapan-harapan untuk kembali berusaha dalam menggapai asa dan cita-cita.

Teruskan hidupmu dan jangan menangis lagi.


Salam dengan senyum mengembang,
Al.

Ps: Sekiranya cinta melingkupimu senja ini. Aku ingin ia setia mendampingimu. Menjagamu dari setiap luka yang mencoba mengecupmu. Semoga bahagia selalu ada untukmu. Secukupnya. Tak kurang dan tak lebih. Sehingga senyum dapat terus mekar dari kedua bibirmu. Tersenyumlah.
Selengkapnya

Bicaralah

O, Key.
Betapa nestapa cinta yang kau punya. Perasaan yang kau beri mahkota dihadiahi luka. Betapa samsara hatimu yang merona, kemuliaan kasih yang kau beri hanya dibalas perih. Jika aku diizinkan untuk berada di sisimu, ingin kupeluk sedihmu erat-erat. Lalu kita tersenyum dalam bahagia bersama-sama. Agar enyah setiap debar peresah. Biar reda luka mendera. Supaya musnah duka-duka lara.

Jangan menangis, nona. Hatimu yang merah muda terlalu memesona jika hanya dibiarkan terluka. Segera luruhkan sedihmu dengan harapan dan asa-asa. Membaca suratmu kemarin, amarahku memuncak. Padahal siapalah aku? Hanya sekadar teman berkirim surat yang boleh jadi kau tak tahu kepada siapa kau bercerita. Tapi, Key, sungguh. Aku peduli padamu. Pada kehidupanmu. Pada kebahagiaanmu. Biarlah kelak lelakimu merasa menyesal, pernah menyia-nyiakanmu.

Jadi, apa yang terjadi padamu kemarin, Key?
Mengapa pada akhirnya kau merasa cinta yang kau punya hanya sia-sia saja?

Bicaralah.
Ceritakan saja setiap hal yang membuatmu luka. Mungkin boleh jadi, kau akan merasa lega karena telah berbagi kesedihan. Tak perlu meragu. Aku, di sini. Menyediakan sepasang telinga untuk mendengar keluhmu. Mempersiapkan sepasang mata untuk membaca ceritamu. Menjadi teman bagi kesepianmu.

Ps: Aku menyelipkan buku novel komedi karangan Adhitya Mulya. Masih banyak hal di dunia ini yang bisa membuatmu tertawa. Jangan bersedih.
Selengkapnya

Kenapa Tak Bahagia Saja?

Key.
Pernahkah kau bertanya, mengapa Tuhan menciptakan cinta dengan keragaman rasa? Mungkin kau pernah merasakan, betapa cinta yang kau miliki begitu membahagiakanmu. Membuat kau mengulas senyum kala melewati hari-hari. Tapi suatu kali, hatimu yang merah muda menjadi biru lebam didera keharuan perasaan. Entah kehilangan, dendam, rindu terabaikan, dan sebagainya. Seperti yang kau alami sekarang. Apa kau pernah bertanya, pada kepalamu yang sesak oleh pertanyaan itu, kenapa Tuhan tak menciptakan kebahagiaan saja. Pernahkah, Key?

Tuhan menciptakan kebaikan dan keburukan cinta semata hanya untuk mengajarimu cara menjaga dan merelakan. Cinta itu mendewasakanmu. Membuatmu memahami hal mana yang harus kau perjuangkan dan mana yang memang sepantasnya kau relakan. Mengajarimu bagaimana cara mensyukuri hal yang kau miliki dan juga ketabahan jika suatu kali kau harus melepaskan. Hingga akhirnya, cinta menjelma sepasang sayap malaikat yang akan membawamu terbang hingga mencapai nirwana.

Aku pernah merasakannya, Key. Betapa cinta yang kuanggap mulia untuk diperjuangkan ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Hal selama ini kuupayakan untuk dipertahankan ternyata tak menjadikanku sebagai lelaki istimewa yang dianggap layak untuk diperjuangkan. Aku memperjuangkan segenap perasaanku sendirian, Key. Maka pada akhirnya, kandaslah hubungan kami, dan hancurlah hati yang kupunya. Lalu setelahnya, rusak semua fokus kehidupanku. Membuatku duduk diam di serambi asing di tepian pagi hingga malam untuk sekadar menjawab pertanyaan, 'apa yang sebenarnya aku perjuangkan?'. Lantas membuat diriku usang karena terlalu lama meratapi sendu dan kesepian. Tapi semua sudah terlewati, Key. Akhirnya aku tersadar bahwa aku terlalu lama larut dalam kesedihan. Padahal sebenarnya aku lebih pantas untuk dihormati dan diperjuangkan. Maka, berdirilah aku, membenahi keping-keping perasaan yang berantakan. Menyusunnya lagi hingga menjadi sekeping hati baru. Dengan harapan-harapan dan angan-angan baru. Coreng moreng di muka biar menjadi bukti keyakinan bahwa aku sudah lebih baik dalam memaknai perasaan.

Aku tak ingin kau merasakan hal yang kualami, Key. Maka kuperingatkan kau dari sekarang. Agar mampu menjaga diri dan perasaanmu dengan lebih baik. Sehingga kau tak akan merasakan hal yang kurasakan. Biarlah kau tetap menjadi perempuan istimewa yang selalu mengulas senyum dan keceriaan di bibir tipis merah muda miliknya. Membuat sekelilingmu ikut bahagia melihatmu bahagia. Termasuk aku.

Lalu, bagaimana kabarmu, Key?
Apakah kau sudah menyelesaikan urusan hatimu?
Apakah ada kabar baik?

Salam,
Al.

Ps: Maafkan aku yang terlalu banyak bicara dalam surat ini. Rasanya aku tak kuat menahan debar saat melihatmu bersedih. Aku ingin menjagamu, lebih baik dari ia menjagamu. Terima kasih atas cokelatnya. Aku memakannya sesaat setelah membaca suratmu.

Selengkapnya

Perubahan

Berujar tentang rindu, kesepian, damba, dan harapan hanya berkisar antara mau atau tidak untuk saling bertahan dan memperjuangkan. Sebab cinta adalah sepasang, milik berdua, bukan hanya seorang. Maka, jika pada akhirnya kau merasa memeluk cinta sendirian, tanyakan lagi pada hatimu, pantaskah engkau menerima itu?

Aku berbicara bukan sebagai orang yang pernah memujamu. Hanya seorang teman yang mengingatkan bahwa engkau lebih pantas untuk dimuliakan. Kerinduanmu pada pesona cinta masa lalu adalah kewajaran, hanya jika kamu tak mengungkit itu sebagai keharusan yang mesti dikembalikan. Waktu tak pernah setia untuk menanti dan kembali, banyak hal yang akan berubah, diubah, dan mengubah, tapi tak perlu dipermasalahkan. Toh kau memiliki hati dan perasaan yang lentur untuk dapat menyesuaikan. Sebab yang akan menang bukanlah mereka yang mampu menahan agar tak terjadi perubahan tapi siapa yang paling andal dalam menyesuaikan diri pada perubahan. Benar, kan?

Hai, Key.
Jangan terlalu larut pada sedihnya kesepian dan dinginnya kerinduanmu. Aku yakin kau lebih paham bagaimana kondisi hubunganmu dengan lelakimu itu. Komunikasikan hal yang perlu dibahas dan perbaiki. Perjuangkan apa yang harus kau perjuangkan. Jangan biarkan dirimu semakin tenggelam dalam syakwasangka yang justru membuatmu terluka. Bukankah menyakitkan, saat sesuatu yang kau sebut sebagai cinta hanyalah dianggap oleh ia sebagai teman di kala kesepian saja?

Aku pernah merasakan hal demikian, Key.
Tapi aku tak akan menceritakannya sekarang. Aku khawatir hal itu justru membuatmu semakin bersedih. Aku janji di surat berikutnya aku akan bercerita.

Salam.

Al.


*Ps: Aku menyelipkan cokelat pada surat ini. Silakan kau seduh saat merasa sedih dan kesepian. Hangatnya cokelat yang kau sesap, kata orang dapat membuat hatimu terasa lebih nyaman dan menenangkan. Jangan menangis.
Selengkapnya

Tentang Kesepian

Key, pernahkah kamu merasa asing di dalam kepala sendiri? Bertanya-tanya tentang siapa, apa, dan bagaimana kau sebenarnya? Seperti memeluk kesendirian dalam hidup yang dilingkupi keterasingan. Jantungmu yang hanya segenggam disesaki oleh kesunyian yang tak kau tahu bernama apa. Setiap langkah yang kau tapak terasa hampa, meninggalkan jejak-jejak kekosongan yang menurutmu tak berarti apa-apa. Seolah-olah hidupmu tak lagi bermakna, semacam frustasi atas ketidakberdayaan untuk menciptakan kebahagiaan sendiri. Pernahkah kamu?

Itulah kesepian, Key.
Rasa yang kau ciptakan sendiri saat kebahagiaan yang kau harapkan tak kunjung datang dan kau tak berdaya untuk menciptakannya sendiri. Sesuatu yang dibuat-buat sebagai alasan pembenaran agar dapat terus lelap dalam keterpurukan. Apa-apa yang membuatmu menjadi makhluk paling nestapa sedunia, seolah tak ada yang bisa memahami dan mengerti engkau. Kesedihan yang menguar di udara pada semestamu yang berkabung. Kelemahan, ketidakberdayaan, kesunyian, kebimbangan, putus asa, kegundahan, itu semua adalah bagian dari rasa kesepian.

Tapi hidup tak semengerikan itu, Key.
Tak ada yang benar-benar sendirian, bahkan kesepian mengakrabi dirinya sendiri dengan kenangan. Tak perlu cemas jika suatu kali dalam hidupmu nanti kau merasakan kesepian. Sebab boleh jadi, keberadaanmu adalah semesta bagi yang lain. Kau hanya perlu membuka mata dan hatimu agar orang lain di sekitarmu punya kesempatan untuk menemanimu. Mengenyahkan sendu yang tega membuat hari-harimu menjadi kelabu. Melukisi hari dengan warna-warna bahagia serupa pelangi. Mengindahkan lagi setiap lekuk hidupmu yang dihinggapi jenuh. Menciptakan satu lengkung senyuman yang dapat meluruskan banyak hal dalam kehidupanmu. Menghidupi lagi jiwamu yang kerontang saat musim-musim menua oleh kesepian yang kau cipta.

Tak ada yang benar-benar asli ciptaan sendiri, bahkan kesepian hanyalah pengulangan. Jika kau tak bisa tertawa berulang pada lelucon yang sama, mengapa kau masih menangis berulang pada permasalahan yang sama? Bila pada masa lalu kau pernah merasa kesepian dan kau mampu melewatinya, maka kau akan mampu untuk melewatinya lagi di masa kini. Begitu, kan?

Maafkan aku yang terlalu banyak bicara pada surat ini, Key. Apa yang membuatmu bertanya tentang kesepian, Key? Apa kau sedang merasa sepi? Bukankah ada lelakimu yang menemanimu setiap hari? Kau ada masalah dengan dia? Atau ada hal lain yang membuatmu bersedih? Bicara dan berceritalah bila kau mau. Jika tidak, aku tak akan memaksa. Aku selalu berdoa untuk kebaikanmu.

Selamat sore, Key.
Jaga kesehatanmu. Kemarin aku melihatmu memegang perut saat berjalan menuju kelasmu. Biasakan untuk tidak makan mie instan, ya.

Salam,

Al.
Selengkapnya

Cinta, Suatu Kali

Hai, selamat siang, Key.
Apa kabar kamu?

Apa aku masih terlalu kaku dalam memulai pembicaraan, Key? Kepadamu, aku selalu kehabisan cara untuk memulai pembicaraan dengan kalimat basa-basi. Jadi maafkan aku yang masih menggunakan kalimat tanya 'apa kabar kamu?' saat memulai berbincang di surat ini. Mungkin di surat selanjutnya, aku bisa memulainya dengan kalimat kejutan seperti, 'Hai, Key. Lihat, ada orang menari hulahop di atas genteng rumahmu dengan satu kaki.' atau kalimat puitis seperti, 'Siang ini, kulihat bintang berkilau. Di toko aksesoris tentara dan polisi. Oh, itu bintang untuk lencana deh, Key.'

...........

Hahaha. Apa aku terlalu garing dan tak lucu, Key? Maafkan aku yang menjadi gugup seperti ini. Aku belum terbiasa bisa berbincang dan bercerita kepadamu. Mungkin alismu bertautan, keningmu berkerut akibat kebingungan mencari maksud dari kalimat-kalimatku di atas. Santai saja, Key. Aku hanya gugup.

1...
2.....
3........

Huf.
Baiklah, Key. Mari sudahi tulisan tak penting dan membingungkan di atas. Anyway, aku serius bertanya tentang kabarmu. Aku selalu merasa perlu untuk menanyakan keadaanmu. Entahlah, Key, aku selalu berharap kau baik-baik saja. Baikmu, kebaikanku. Apa kabar, kamu?

Key, sungguh benarlah bila dikatakan bahwa hidup hanya berkisar antara sabar dan syukur. Bersabar dalam setiap menerima ujian, cobaan, dan setiap dera kehidupan. Lalu bersyukur dan merasa cukup untuk setiap anugerah kebaikan yang Tuhan berikan. Tapi terkadang, Tuhan meninginkan hal tersebut menjadi kebalikannya. Suatu saat, kau harus benar mampu bersyukur saat menerima ujian, cobaan, dan setiap dera kehidupan. Dan kau benar-benar perlu belajar untuk bersabar saat menerima anugerah kebaikan yang Tuhan berikan. Sebab boleh jadi, setiap kebahagiaan yang kau terima, adalah cobaan yang melenakan. Membuatmu lupa untuk bersiap siaga saat kebahagiaan itu sewaktu-waktu menghilang.

Seperti halnya, cinta.
Suatu kali cinta melenakan. Memesona dengan segala kebahagiaan yang ditawarkan. Menyuntikkan semangat ke aliran darah hingga kau merasa antusias atas setiap hal yang kau lakukan. Membuat harimu menjadi berwarna, seperti berdiri pada sebuah taman hijau maha luas di mana setiap sudutnya dihiasi bunga-bunga, kupu-kupu, da pelangi. Tapi cinta —suatu kali — menjadi sedemikian menjengkelkan. Membuat wajahmu memasang seringai murung. Mengubah harimu menjadi panjang dengan sunyi dan kesepian. Seperti masuk ke lubang pengap bernama keputusasaan, saat cinta yang kau jaga begitu saja meninggalkan dan hilang.

Aku tak mengerti mengapa cinta bisa merupa buah simalakama. Saat dimakan membuat ibu mati, bila dibiarkan membuat ayah mati. Apa yang akan kau pilih, Key? Buatku, cinta adalah sekumpulan paradoks yang membingungkan. Maka meskipun menyakitkan, cinta tetaplah membahagiakan. Biarkan saja cinta memaknai dirinya sendiri. Seorang ksatria yang tangguh pantang mundur saat panji-panji sudah dikibarkan. Tak mungkin kembali ke belakang, sebab jembatan-jembatan sudah terbakar. Pilihan terbaik adalah terus berjalan.

Maka, jika pada akhirnya cinta membuatmu merasa ditinggalkan dan kehilangan, tetaplah berdiri dengan gagah bersama ketulusan dan kerelaan. Sebab, saat kau memutuskan untuk jatuh cinta, sejatinya kau telah membuat kesepakatan kepada hati dan pikiran bahwa cinta suatu saat akan ditinggalkan atau meninggalkan. Tapi, kau tak perlu cemas, kan? Jika hanya berfokus pada cinta yang menyakitkan, bagaimana kau bisa bahagia? Fokus saja pada hal yang membahagiakan, hingga pada apapun yang kau lakukan untuk memaknai cinta, kau akan tetap merasa bahagia. Jangan lupa persiapkan sabar dan syukur saat menjaga cinta yang kau punya, agar kau memiliki kerelaan dan ketulusan untuk memaknai cinta tanpa rengekan.

Begitulah, Key. Lalu, bagaimana cara kau memaknai cinta?
Apa cinta benar-benar harus memiliki?
Jika iya, bagaimana caraku memilikimu? Sementara pada saat yang sama, kau telah dimiliki orang lain.

Salam,
Al.
Selengkapnya

Tak Apa, Namanya Juga Perjalanan Hidup

Selamat pagi, Key.
Mentari mati sepagi ini. Sebab ketika aku membuka mata, tak kutemukan siapa-siapa. Dan aku hanya sendiri. Di kekosongan yang abadi.


Bagaimana langitmu? Masihkah biru melingkupi semestamu? Meniadakan sendu yang tega membuatnya kelabu. Masihkah mentari bersinar dengan gagah? Mengenyahkan mendung dengan sinarnya yang menggugah.


Maafkan aku yang agak melankolis pagi ini. Membaca suratmu semalam, aku seperti beku dalam dinginnya kenyataan. Benar seperti katamu, kejutan tak selalu menyenangkan. Mengetahui bahwa kau sudah ada yang memiliki membuat hatiku yang kujaga baik-baik ini menggigil oleh keharuan perasaan. Seketika, sunyi mengetuk hati pelan-pelan.


Tapi, aku tak akan banyak-banyak membahas ini. Buat apa aku kecewa, karena bagiku itu biasa. Baik-baiklah dengan kekasihmu. Biarkan aku menjadi sekadar teman -yang katamu- menemani saat kau merasa kesepian, pelipur lara bagi setiap sendu sedihmu. Sebab dengan itu saja, sudah membuat aku bahagia. Tak perlulah kau meminta maaf, sebab tujuanku sejak pertama mengirimimu surat hanyalah ingin dekat denganmu. Sebagai siapapun. Cukup.


Engh.. hai, anyway, aku sudah membaca ceritamu perihal catatan perjalanan yang dituliskan ayahmu. Rasa-rasanya aku sudah tak sabar untuk membacanya dengan segera. Bolehkah aku meminjamnya? Jika kau takut catatan itu rusak, kau bisa merekamnya dalam bentuk foto. Lalu kau selipkan di suratmu berikutnya, itu pun kalau kau tak merasa kerepotan. Pssst.. tenang, aku akan menjaga kerahasiaannya, jika memang kau ingin simpan catatan itu sebagai rahasia.


Terima kasih atas sanjunganmu tentang dongeng gunung dan awan yang sempat kuceritakan, sebenarnya itu hanyalah dongeng rekaanku saja, kau tak akan menemukannya dalam buku dongeng mana pun. Kau adalah orang pertama yang mendengarnya. Jangan kau ceritakan pada siapapun, nanti cerita itu diambil oleh orang-orang yang patah hati sebagai pembenaran sikapnya untuk membenci orang yang mengabaikan rindunya. Hahaha.


Ah, iya. Sore kemarin, aku jadi ke perpustakaan daerah. Aku duduk di sudut ruang perpustakaan bagian fiksi terjemahan. Membaca buku sambil mendengarkan lagu yang mengalun dari earphone yang menempel di telingaku. Sambil beberapa kali menoleh ke pintu masuk, barangkali kau benar datang untuk menjumpaiku. Kau tahu? Aku masih di sana hingga petugas menyuruhku pulang karena perpustakaannya akan segera tutup. Aku masih berharap kau datang saat itu meski terlambat. Rasa-rasanya harapanku terlalu besar, ya? Tapi tak apa, toh sebenarnya kau ingin berjumpa, hanya saja tugas kuliah memasungmu hingga tak bisa pergi ke mana-mana, benar kan? Mungkin lain waktu, kita bisa mengatur pertemuan berikutnya.


Di perpustakaan kemarin, aku membaca buku Paulo Coelho yang berjudul Seperti Sungai yang Mengalir, Buah Pikiran dan Renungan, judul asli buku ini adalah Ser Como O Rio Que Flui. Apa kau sudah membacanya? Buku setebal 303 halaman itu berisi kisah-kisah menggugah dan perenungan atas perjalanan hidup.


Jika hidup adalah laiknya aliran sungai, bagaimana caranya mengalir? Haruskah hanyut dalam riaknya dan tenggelam hingga ke dasarnya? Atau -bisakah kita menentang arusnya- seperti yang biasa kita dengar dari pepatah lama, berakit-rakit ke hulu, -meski harus dengan sakit-, lalu berenang ke tepian. Namun, bagaimana bila kita hanyut dan tenggelam hingga ke dasarnya, dapatkah kita menemukan keindahan yang tersamar di permukaannya?


Melalui buku itu, Paulo Coelho akan menuntun kita, bagaimana cara berenang tanpa harus menjadi arus. Hidup sedang mengajak kita mengalir dengan sepenuh sadar menuju jalan cahaya. Kita pun dituntun bagaimana tabahnya seorang ksatria menemukan jiwanya. Jika kau belum membaca bukunya, aku merekomendasikan itu untuk kau baca.


Bagaimana, Key?

Apa aku sudah seperti biro iklan yang piawai dalam menawarkan buku untukmu? Hahaha


Bagiku, dalam hidup ini, kita dipersiapkan untuk menjadi perenang ulung atas arus kehidupan yang telah Tuhan persiapkan. Menelusuri setiap lekuknya dengan antusias dan sebaik-baiknya. Menaiki arus yang kita ciptakan sendiri sebagai takdir hidup yang kita pilih untuk dijalani dan ditelusuri. Hingga kemudian bisa sampai ke tepian -kematian- sebagai seseorang yang bercahaya wajahnya oleh sebab tersenyum telah mencapai titik akhir dengan selamat dan berbahagia.


Sebagaimana yang aku lakukan, terhadapmu. Menelusuri setiap lekuk perjalanan hidup dengan bahagia dan antusias. Menyapa, bertanya, bercerita, berbagi pemahaman dan makna bersamamu, -melalui surat ini, tentu saja. Meski aku tak pernah tahu, akan bagaimana kita. -pada akhirnya. Bukankah hidup adalah tentang keberanian menghadapi tanda tanya?


Lalu, bagaimana arti hidup menurutmu, Key?



Dari lelaki yang belakangan ini mengusik hari-harimu.

Al.

Selengkapnya

Gunung, Awan, dan Rindu Terabaikan

Selamat pagi, Key.
Saat menulis surat ini, aku sedang duduk di depan jendela, sambil menyeruput kopi hitam yang kuseduh dengan setengah sendok gula. Aku suka minum kopi pahit, teguk demi teguk kopi yang menelusup ke dalam kerongkongan sejenak mengingatkan bahwa masih banyak hal manis di dunia. Termasuk kamu.

Kejutan selalu menyenangkan, Key. Itu yang aku tahu sejak membaca cerita tentang hadiah ayahmu saat kau berulang tahun ketujuh belas. Kalau boleh tahu, apa isi catatan ayahmu itu? Jangan bilang kalau itu adalah catatan utang ayahmu yang akan diwariskan kepadamu. Hahaha. Tapi sepertinya sesuatu yang lain, ya? Itu terbukti dari rasa senangmu yang teramat saat menerima catatan itu. Bolehkah aku tahu ceritamu yang itu?

Kabarku baik. Senyum pun masih terjaga apik, meski sendu sesekali datang mengusik. Kesibukanku saat ini selain kuliah adalah menjadi seorang penulis lepas untuk website dan artikel berita. Mungkin pekerjaan yang bukan seberapa hasilnya, tapi cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhanku untuk kuliah, membeli buku, dan jalan-jalan. Hahaha. Selain membaca, aku juga suka sekali jalan-jalan, mengunjungi suatu tempat untuk sekadar melepas penat. Menuliskan cerita tentangnya atau mengabadikan setiap pesona yang ditawarkan alam melalui jepretan-jepretan kamera dengan teknik ala kadarnya. Nanti, akan kutunjukkan padamu ke mana saja aku sudah berkunjung.

Key,
Rasa-rasanya, kekagumanku semakin tandas untukmu. Dongengmu tentang langit dan laut membuatku berdecak, bisa-bisanya kau membuat cerita sebaik itu. Aku jadi teringat sebuah dongeng yang pernah aku dengar tentang kerinduan gunung kepada awan. Tahukah kau cerita tentang itu, Key?

Dulu, awan dan gunung selalu berdekatan. Di mana ada gunung, maka di sisinya ada awan. Sampai suatu ketika semesta berkehendak lain. Semesta memisahkan mereka hingga tercerai berai. Gunung memancangkan akarnya di bumi, sementara awan terbang menjulang ke atas langit. Akibat kedekatannya selama ini, gunung merasa jatuh cinta kepada awan. Ia merasa nestapa saat awan yang begitu dicintainya menjauh dan hanya bisa ditatap dari kejauhan. Setiap hari, gunung selalu menatap ke atas langit, berharap awan mau mendekat atau sekadar menyapa gunung yang selalu memerhatikannya. Tapi awan menjadi angkuh, ia abaikan tatapan cinta gunung kepada dirinya. Dengan pongah, awan tetap saja berarak terbang dari satu langit ke langit lain. Hingga suatu kali, kerinduan gunung kepada awan memuncak. Ia mulai bergerak. Menggetarkan bumi dengan suara gemuruh. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan ada beberapa pohon yang jatuh tumbang tak kuat menahan getaran yang disebabkan oleh pergerakan gunung. Hewan-hewan berlarian mencari perlindungan, menuruni bukit dengan kecepatan penuh. Gunung murka, rindu yang selama ini terjaga telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Sungguh benarlah, bila dikatakan bahwa jarak rindu dan benci hanya bersekat setipis air mata dan tangis. Maka menangislah gunung dengan sesenggukan, mengeluarkan air mata yang lebih merah dari darah. Kelak, orang-orang menyebut itu sebagai bencana letusan gunung berapi, mereka tak mengetahui bahwa itu adalah api kemarahan gunung akibat terabaikannya rindu yang ia jaga.

Jika kau bertanya siapa aku, mungkin aku adalah gunung, Key. Setiap saat memerhatikan pesonamu dari kejauhan. Menahan debar entah bernama apa, mungkin rindu, asa, harapan, doa, entahlah. Kau boleh menyebut itu sebagai apa saja. Tapi yang jelas, kesabaranku dalam menantimu jauh lebih kuat dibandingkan dengan akar yang menancap di bawah kaki gunung. Lebih besar dan luas dari langit. Jadi tak perlu khawatir aku akan muntab dan marah karena tak kuat menahan kerinduanku padamu.

Mungkin aku lancang, mengucap rindu kepada kau yang baru saja mengenalku. Tapi percayalah, Key, rindu ini sudah muncul sejak aku bertemu kamu pada kali pertama. Rindu ini bukan rindu milik seseorang yang memiliki pujaan hati, tapi kerinduan seseorang yang sedang mendamba hatinya tersentuh oleh seseorang sepertimu. Apa kau sudah punya kekasih, Key? Maaf, sudah bertanya terlalu dalam. Aku hanya ingin tahu, kepada siapa aku berbincang. Kepada seseorang yang juga sedang kesepiankah? Atau kepada seseorang yang sudah menasbihkan hatinya untuk memuliakan lelaki yang sudah ia cintai.

Kutunggu balasan suratmu selanjutnya. Semoga kau bisa lebih terbuka dalam menjawabnya.



Dari seseorang yang banyak bertanya,

Al.


*PS: Besok sore aku akan ke perpustakaan daerah. Aku akan mengenakan baju kemeja kotak-kotak warna biru dan celana jeans berwarna hitam. Kalau kau penasaran bagaimana rupaku, kau bisa menjumpaiku di sana.
Selengkapnya

Aku, Kau, dan Si Pungguk yang Merindukan Bulan

Aku menuliskan surat ini saat debar begitu bergemuruh di dalam dadaku. Apa kau pernah merasakan? Jantungmu yang hanya segenggaman tangan bergerak begitu cepat. Berdegup satu-satu dengan irama yang saling kejar mengejar. Seperti dibawa berlari tak henti menuju sebuah tempat yang teramat jauh. Atau seperti saat terkejut karena diberi kejutan yang menyenangkan. Atau seperti merasakan sesak saat mengetahui bahwa umurmu hanya tersisa sedikit lagi. Ah, mungkin aku berlebihan, tapi begitulah yang aku rasakan. Jantungku yang ringkih ini, merasakan kejutan teramat saat membaca surat balasanmu kemarin. Tenggorokanku tercekat akibat merasakan bahagia begitu senangnya. Terima kasih sudah membaca suratku dan entah mengapa kau mau membalas surat itu.

Adalah hal lumrah dan wajar saat kau berkata bahwa kau tak mengenaliku. Sudah kuduga. Tapi itulah yang harus kuterima, toh aku terlalu pecundang untuk menampakkan keberadaan sebagai seseorang yang mengagumimu dalam-dalam. Aku jadi teringat sebuah kisah menarik tentang pemuda yang diam-diam mengagumi wanita pujaannya. Cerita dari dongeng yang mahsyur, Si Pungguk Merindukan Bulan. Mungkin kau tahu bagaimana cerita ini bergulir. Dari seorang pemuda tampan yang secara tak sengaja melihat Putri Bulan, dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun ada sekat-sekat tebal bernama strata sosial yang pada akhirnya membuat mereka tak bisa bersatu. Hingga di akhir cerita, si pemuda tampan tadi hanya mampu memandangi Putri Bulan dari kejauhan, berharap cintanya bersambut tapi tiada jua.

Ah...
Aku cukup tahu diri untuk tidak mengganggu kehidupanmu dengan cinta gombal penuh basa-basi dan intrik-intrik murahan. Sebab dengan melihatmu tersenyum saja aku sudah bahagia. Biarlah aku tetap menjadi misteri yang memerhatikan setiap jejak langkah kehidupanmu. Seseorang yang tak perlu kau tahu rupanya, tapi begitu dalam perhatiannya atas kehidupanmu. Biarlah aku menjadi Si Pungguk yang memeluk pesonamu dari kejauhan. Toh bila akhirnya aku atau kau adalah baik bagi semesta, semesta akan selalu punya cara untuk mempertemukan kita.

Key...
Apa rupa penting buatmu? Di surat ini, aku tak menyelipkan foto lagi. Biarlah kau ingat aku sebagai orang yang lancang mengirimimu surat. Suatu saat, aku akan menunjukkan diriku yang sebenarnya. Jadi, simpanlah dulu rasa penasaranmu, jadikan itu sebagai alasan kenapa kau ingin mengenalku. Aku lancang sekali, bukan? Hahaha... Biarlah Key, aku masih malu menunjukkan diriku ini. Biar waktu bercerita akan seperti apa kisah antara aku dan kau ini.

Anyway, beberapa hari kemarin, aku tak melihat batang hidungmu. Apa kau sakit? Atau hanya sekadar sibuk kuliah atau latihan menari saman yang biasanya kamu lakukan. Apa mungkin ada kesibukan lain? Aku hanya cemas. Tak biasanya aku tak melihatmu dalam waktu yang lama. Semoga kau baik-baik saja.


Salam,
Al.
Selengkapnya

Bagaimana Kabarmu?

Selamat sore, nona.
Mungkin alismu bertautan saat membaca tulisanku ini. Seorang yang tak pernah bertegur sapa tiba-tiba mengirimkan surat kepadamu. Entah ada angin apa, aku begitu saja ingin bercerita kepadamu. Ah, tak butuh angin kan untuk sekadar merasakan ingin? Sebenarnya aku malu menuliskan ini, tapi hati begitu kuat memaksa akal, tangan, dan pikiran untuk menyampaikan segala kecamuk yang ada di dalam dada.

Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka duduk di beranda senja sambil menikmati segelas cokelat panas? Membiarkan pipimu merona seusai meminum teguk demi teguk cokelat panas yang kau seduh dengan takaran gula satu sendok makan saja. Kau pernah menyampaikan kepada temanmu, -tentu saja bukan aku, sebab aku hanya berani memerhatikanmu dari jauh- bahwa kau hanya mau minum cokelat panas yang tidak terlalu manis, dan juga tidak terlalu pahit. Secukupnya saja. Takaran satu sendok kau anggap cukup untuk mewakili itu.

Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka memandang langit malam, mencari bintang venus yang dulu pernah ditunjukkan ayahmu? Celingukan dari satu sudut langit ke sudut langit yang lain. Memicingkan matamu yang bulat memesona untuk menerka, apakah yang di sana adalah bintang venus atau bukan. Lalu dengan jemarimu yang lentik, kau menggaruk kepala yang tak gatal, hanya karena kebingungan untuk menjawabnya. (Anyway, aku baru tahu belakang ini, tentang alasan mengapa kau begitu suka memandang langit malam hari, kau pernah menuliskan cerita ini di blogmu, kan? Tentu saja aku membaca. Tak ada satu pun tulisanmu yang terlewat.) Atau justru kau sudah bosan? Sebab beberapa minggu terakhir langit begitu setia memuntahkan hujan. Jangankan gemintang, tukang nasi goreng yang biasanya lewat di depan kosanmu, lalu kau memesan nasi goreng tanpa acar pun, tak nampak batang hidungnya.

Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka membaca? Melafalkan paragraf-paragraf buku dengan mulutmu yang mungil tanpa suara. Membaca setiap alinea dengan alis bertautan lalu tersenyum setelah mendapat makna. Apa aku perlu bercerita tentang senyummu? Satu lengkung yang mampu meluruskan banyak hal dari hidupku. Mungkin kau baru tahu sekarang, bahwa aku adalah pengidola senyummu yang nomor satu. Bahkan aku punya selembar fotomu saat kau tertawa begitu cerianya. Memamerkan gigi putih berseri dengan bibir mungil berwarna merah delima yang menggantung cantik di wajahmu yang menarik. Maaf sudah mencetak fotomu tanpa izin, semoga kau berkenan.

Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa aku bisa begitu tahu keseharianmu. Tenang saja, aku tidak membuntuti. Hanya saja, orang yang mengagumi selalu punya cara untuk mengetahui segala hal tentang orang yang dikaguminya. Entah dari media sosial, teman-temanmu, atau sesuatu yang kusimpulkan sendiri berdasarkan hal yang kulihat dari jauh. Tak perlu merasa terancam, aku tak akan berbuat yang tidak-tidak. Kau cukuplah jalani kegiatanmu seperti biasa, dan aku akan tetap memerhatikanmu dari jauh. Tak peduli perasaanku akan berbalas ataupun tidak.

Sebenarnya kita pernah bertemu tatap beberapa kali. Hanya saja lidahku selalu lebih dulu tercekat untuk sekadar menyuarakan sapa. Maka biasanya, aku hanya memalingkan wajah, lalu diam tanpa kata. Seperti itu saja. Berkali-kali, berlama-lama. Maka, izinkan aku memperkenalkan diri saat ini. Namaku Al. Seseorang yang mengagumi pesonamu dari jauh.


*ps: Aku menyelipkan satu fotomu di surat ini, sebagai permintaan izin untuk membiarkan aku menyimpan foto yang sama di rumah.
Selengkapnya

Kategori Utama