Surat Untuk Tuan Presiden

Selamat malam, Tuan Presiden.
Maaf lancang mengirimimu surat malam ini. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi mengingat kesibukanmu yang begitu padat dari pagi hingga sore, mungkin hanya malam hari Tuan punya waktu untuk membaca surat saya ini. Perkenalkan, nama saya Daffa. Salah satu rakyat Tuan dari tanah pegunungan Sinabung.

Apa kabar, Tuan?
Saya mendengar Tuan baru saja menyelesaikan buku terbaru Tuan berjudul Selalu Ada Pilihan. Ah, saya sebagai rakyat tentu sangat bangga mendengar berita ini. Presiden tercinta kami mampu meluangkan waktunya yang begitu padat untuk menulis.

Selalu ada pilihan untuk meluangkan waktu, benar 'kan Tuan?
Sebagaimana selalu ada pilihan untuk peduli atau tidak meluangkan waktu untuk memikirkan dan menyelamatkan nasib sanak keluarga, kerabat, dan tetangga saya yang saat ini sedang berkelindan antara lapar dan dingin akibat mengungsi dari letusan gunung Sinabung sejak September 2013 lalu.

Ah, tapi Tuan tak perlu khawatir. Di balik kesibukan Tuan untuk merayakan terbitnya buku baru Tuan, masih banyak yang peduli pada nasib kami. Oh, tentu bukan dari pemerintah pusat, kami cukup tahu diri untuk tidak terlalu berharap. Toh jarak antara kantor pemerintah pusat dengan posko-posko pengungsian kami bermil-mil jauhnya. Mereka adalah teman-teman kami dari daerah lain, yang kalau mereka tak menyebutkan bahwa mereka berasal dari daerah di Indonesia juga, kami tak akan mengira masih ada orang-orang baik di negeri ini.

Tuan Presiden yang saya cintai.
Terima kasih sudah membuat lagu-lagu baru dari kepadatan waktu yang Tuan punya. Kami senang sekali mendengar lagu dari album-album lagu yang Tuan ciptakan. Dengar-dengar, Tuan adalah satu-satunya petinggi negara di dunia yang mendapat rekor sebagai presiden yang memiliki album terbanyak. Sungguh prestasi yang membanggakan. Dengan lirik yang lembut dan sarat inspirasi dari lagu-lagu yang Tuan ciptakan, begitu dalam memupuk semangat kami. Salah satunya penggalan lirik dari lagu yang Tuan ciptakan berjudul Ku Yakin Sampai Di Sana.

"Seribu jalan menuju roma. 
Entahlah mana yang paling baik. 
Ada begitu banyak pilihan. 
Engkaulah yang akan menentukan."

Ke mana pun tujuannya, pada akhirnya engkaulah yang menentukan jalan mana yang akan kau pilih, benar 'kan Tuan?
Ah, mungkin inilah jalan yang Tuan pilih, mengabaikan kami yang meronta, membiarkan kami terpuruk dalam aniaya dan nestapa. Demi tujuan yang hanya Tuan tahu. Mungkin tak ingin pusing, atau masih ada kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Ah, entahlah. Hanya Tuan yang tahu. Saya tak ingin banyak berasumsi dan berspekulasi. Tapi sampai detik ini, yang saya tahu adalah Tuan belum juga mengumumkan bencana yang kami alami sebagai bencana nasional. Alih-alih mengirimkan bala bantuan dari pusat ke posko-posko kami, Tuan lebih memilih untuk mengundang kolega-kolega penting yang Tuan miliki untuk hadir ke peluncuran buku Tuan di Jakarta Convention Center (JCC). Apalah artinya nasib kami dibanding maha karya Tuan yang menggugah itu.

Tapi, Tuan Presiden yang saya hormati. Tak perlulah repot-repot mengirimkan buku-buku itu ke sini. Saya khawatir buku Tuan hanya sekadar tergeletak tak terbaca. Menjadi alas bagi tidur kami, atau bahkan kertas-kertasnya digunakan sebagai pembersih dari debu-debu yang melekat di wajah kami. Cukuplah Tuan persembahkan maha karya itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab yang kami butuhkan sekarang ini lebih dari sekadar buku setebal 824 halaman itu. Yaitu tempat yang layak, pasokan makanan, pakaian-pakaian, obat-obatan, dan selimut yang membantu menghangatkan kami saat malam menyergap kami dengan dingin yang paling gigil.

Tapi, duhai Tuan Presiden yang saya sayangi. Bila benar Tuan begitu sibuk dengan kegiatan Tuan, hingga tak sempat menengok kami, cukuplah Tuan lanjutkan setiap aktivitas Tuan itu. Saya tak ingin menambah beban Tuan untuk memikirkan kebaikan negeri Indonesia tercinta ini. Toh selain Tuan, masih banyak yang lebih peduli dengan nasib kami. Saya dan kerabat di sini sungguh terharu dengan saudara-saudara kami yang begitu setia meluangkan waktu, tenaga, dan hartanya demi untuk menyelamatkan kami. Bahkan saya menangis saat tahu rakyat Indonesia serempak berdoa untuk kebaikan kami di sini. Jadi tak perlu khawatir, tenang saja. Duduklah dengan santai sambil memegang gitar Tuan, lalu menyanyikan tembang-tembang lagu yang Tuan ciptakan sendiri. Kami bahagia melihat Tuan bahagia.

Tuan Presiden, di akhir surat ini, saya ingin menyampaikan salam dari orang tua saya untuk Tuan. Beliau titip pesan, agar Tuan selalu menjaga kesehatan dan keselamatan diri Tuan beserta keluarga. Semoga Tuan tak sampai merasakan penderitaan seperti yang kami rasakan. Karena sungguh, Tuan, betapa hidup terombang-ambing dalam ketidakjelasan nasib sangat menyengsarakan.

Salam hormat dari saya.
Daffa, seseorang yang berarti kuat dari namanya.
Selengkapnya

Perempuan Dalam Dekapan

Sore tadi seorang perempuan mendekati saya dengan mata sembab. Kesedihan menyemburat dari wajahnya yang bulat. Tanpa aba-aba ia menghambur ke dalam pelukan saya, menangis sesenggukan dengan dadanya yang sesak. Lalu saya mulai membelai punggungnya hingga ia tenang. Mempersilakan ia menumpahkan setiap kesedihan di dada saya.
“Kenapa?”

“Ia menyakiti saya lagi.”
“Bagaimana bisa?”
“Ia selingkuh.”

Saya membiarkan ia menangis. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Waktu berlalu dengan hening. Tak ada bunyi-bunyi lain selain rintih suaranya yang terisak. Ia meruncingkan kesedihan sebagai air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Menguarkan aroma bedak yang basah terbasuh air mata. Mungkin, di antara kesedihan dan kebahagiaan, satu hal yang membuatnya sama adalah air mata. Engkau bisa menangis karena begitu sedihnya, pun engkau akan menangis karena merasakan bahagia sedemikian dalamnya.

“Jangan biarkan kesedihan membunuhmu perlahan. Rasakan secukupnya. Jangan sampai kau terlalu terpuruk karenanya,” ucap saya buka suara.
“Aku tak bisa. Hatiku hancur. Padahal apa kekuranganku untuk dia? Toh selama ini aku berusaha untuk selalu ada.”
“Bila engkau benar cinta, kau tak akan mempermasalahkan untung ataupun rugi. Kau akan tetap tulus membuatnya bahagia, sebab dari sanalah kebahagiaanmu berasal.”

Ia terdiam. Tangisnya mereda. Masih ada suara sesenggukan, —sebenarnya. Tapi tak begitu pilu dibanding beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih karena selalu ada ketika aku bersedih. Memberikan waktu dan pelukan untuk menenangkan. Kau sahabat terbaikku,” ucap ia sambil menatap mata saya dalam-dalam.
“Jangan sungkan. Aku senang menjadi sahabatmu.”

Dua kalimat itu yang muncul dari bibir saya. Padahal begitu banyak kalimat yang menyesaki kepala. Tapi hati selalu kukuh menahan untuk tidak mengungkapkan. Mungkin saya pecundang. Tapi buat apa saya tergesa mengungkapkan cinta. Toh bila pada akhirnya ia benar mencintai saya, ia akan melihat saya sebagai seseorang yang pantas untuk dicintai. Saya cukup bahagia menjadi teman bagi kesedihan-kesedihannya. Tanpa perlu pedulikan akan berbalas atau tidak. Sebab yang saya lakukan adalah mencintai, bukan berdagang.

The hardest part of feeling is when no matter what you do to show that you love someone. But she never saw you as a person who deserve to be loved.
Selengkapnya

[Puisi Esai] Bangun Peradaban

Bacalah!1

___________________________________________________________________________________________

1. Term iqra’ merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang berarti “bacalah”, yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)

Artinya: “1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah”.

Sungguh mengherankan, karena perintah membaca ini ditujukan kepada orang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ankabut: 48,
Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.

Bahkan Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi, tidak mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis, diterangkan dalam QS. Al-A’raf: 158,
Artinya: “Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Namun, keheranan ini akan sirna jika diketahui arti kata iqra’ yang sebenarnya dan diketahui pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Kata iqra’ atau perintah membaca memiliki makna yang sangat mendalam dan strategis dalam ilmu pengetahuan. Dan realisasinya merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Mengapa demikian? Dalam makalah ini akan dijelaskan menganai makna iqra’ dan juga falsafahnya. Terutama makna iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.

Makna Kata Iqra’
Menurut Quraish Shihab, kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a (قرأ) yang pada mulanya berarti “menghimpun”. Apabila kita merangkai huruf atau kata kemudian kita mengucapkan rangkaian kata tersebut, maka kita telah menghimpunnya. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra’, yang diterjemahkan dengan “bacalah”, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh prang lain. Karenanya, kita dapat menemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa, antara lain, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang semuanya bisa dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.
Menurut Yusuf Qardhawi, kata iqra’ secara etimologi berarti membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku. Sedangkan secara terminologi, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam semesta (ayat al-kaun).
Sedangkan menurut Al-Maraghi sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul “tafsir ayat-ayat pendidikan”, bahwa kata iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dapat diartikan “jadilah engkau (Muhammad) seorang yang pandai membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya”.
Menurutnya pula, pengulangan kata iqra’ pada QS. ‘Alaq ayat 3 didasarkan pada alasan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa kecuali dengan diulang-ulang dan membiasakannya sebagaimana dalam tradisi. Perintah Tuhan untuk mengulang membaca berarti pula mengulangi apa yang dibaca. Dengan cara demikian bacaan tersebut menjadi milik orang membacanya. Kata iqra’ mengandung arti yang amat luas, seperti mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, dan membuktikan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna iqra’adalah membaca segala sesuatu yang ada dihadapan kita, baik itu berupa tulisan atau bacaan, ayat-ayat suci al-Qur’an, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, fenomena alam, maupun dunia seisinya (alam semesta). Dan bahwa membaca tidak cukup jika dilakukan hanya sekali saja, membaca harus dilakukan secara berulang-ulang agar bisa sampai pada tingkat pemahaman yang mendalam serta membekas dalam jiwa.

Ayat-ayat Tentang Iqra’
Dalam Al-Qur’an, kata iqra’ terulang sebanyak tiga kali. Sedangkan ayat-ayat lainnya yang mengandung arti “membaca” hanyalah kata jadian dari akar kata qara’a, dan juga dari akar kata lain, seperti kata tala. Berikut ayat-ayatnya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”. (QS. Al-‘Alaq: 1).

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ 

“Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah”. (QS. Al-‘Alaq: 3).
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (QS. Al-Isro’: 14).

“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204).
  
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu”.(QS. Al-Yunus: 94).
 “Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus”. (QS. Al-Baqarah: 252).

“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakanlembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)”. (QS. Al-Bayyinah: 2).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’adan tala. Seperti pada QS. Al-Muzzammil: 20, QS. Al-Kahfi: 106, QS. Ali Imran: 58, QS. Al-Isro’: 45, QS. Al-Haqqah: 19, QS. Al-Ankabut: 45, dan lain-lain.

Ayat-ayat di atas meneragkan bahwa yang dimaksud iqra’ atau membaca adalah membaca lembaran-lembaran suci yaitu al-Qur’an, kecuali pada QS. al-‘Alaq ayat 1 dan 3, karena di dalamnya tidak dijelaskan maupun dispesifikkan  objek bacaan yang dimaksudkan, sehingga dapat dikatakan bahwa kata iqra’tersebut memilliki objek yang bersifat umum, yaitu tidak hanya membaca bacaan, tulisan atau pun al-Qur’an, tetapi juga membaca yang lainnya, seperti membaca fenomena alam, peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar, dan sebagainya.

Pentingnya Membaca
Jika diamati, objek mambaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a, terkadang berupa bacaan yang bersumber dari Allah, seperti Al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya, misalnya QS. Al-A’raf: 204, dan QS. Yunus: 94. Terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah, misalnya QS. Al-Isro’: 14.
Di sini juga terdapat perbedaan antara “membaca” yang menggunakan akar kata qara’a dengan “membaca” yang menggunakan akar kata tala, di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar, misalnya QS. Al-Baqarah: 252, dan QS. Al-Bayyinah: 2.
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata kerja dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena dalam QS. Al-‘Alaq kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebutkan sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik itu ayat suci Al-Qur’an, alam raya, masyarakat, diri sendiri, majalah, koran, dan sebagainya.
Menurut Iskandar AG Soemabrata, dengan kata lain iqra’ juga dapat dipersamakan dengan melihat, sekaligus mengamati dan memperhatikan, serta merekam dalam ingatan objek apa saja yang ada dihadapan kita, sehingga nantinya dapat mengambil manfaat dari apa yang kita perhatikan itu. Karenaiqra’ (membaca) sebenarnya tidak terbatas pada ayat-ayat yang tertulis saja (ayat-ayat qauliyah), tetapi juga membaca ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam ini (ayat-ayat kauniyah).
Dalam QS. Al-‘Alaq, perintah membaca, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan “bi ismi Rabbika” (dengan nama Tuhanmu). Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut si pembaca bukan saja agar membaca dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan “nama Allah” itu. Karena yang memerintah membaca adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.
Demikianlah, Al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.

2. Bacalah! Bacalah!
Surat ini adalah yang pertama kali turun pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu. Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- enggan. Beliau berkata,

مَا أَنَا بِقَارِئٍ

“Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan“. Yang dimaksud menciptakan di sini adalah menciptakan makhluk secara umum. Tetapi yang dimaksudkan secara khusus di sini adalah manusia. Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana disebut dalam ayat selanjutnya,

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Manusia bukan hanya dicipta, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk menjelaskan perintah dan larangan ini diutuslah Rasul dan diturunkanlah Al Kitab (Al Qur’an). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.

Bentuk Kasih Sayang Allah: Diajarkan Ilmu
Setelah itu, Allah memerintahkan,

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ

“Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.” Disebutkan bahwa Allah memiliki sifat pemurah yang luas dan karunianya yang besar pada makhluk-Nya. Di antara bentuk karunia Allah pada manusia -kata Syaikh As Sa’di rahimahullah- adalah Dia mengajarkan ilmu pada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Manusia dikeluarkan dari perut ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu.” (Taisiri Al Karimir Rahman, hal. 930).

Allah mengajarkan pada manusia Al Qur’an dan mengajarkan padanya hikmah, yaitu ilmu. Allah mengajarkannya dengan qolam (pena) yang bisa membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan pada mereka. Alhamdulillah, atas berbagai nikmat ini yang sulit dibalas dan disyukuri.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Al Qur’an yang pertama kali turun adalah ayat-ayat ini. Inilah rahmat dan nikmat pertama yang Allah berikan pada para hamba. Dalam awal surat tersebut terdapat pelajaran bahwa manusia pertama tercipta dari ‘alaqoh (segumpal darah). Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah ia mengajarkan pada manusia apa yang tidak mereka ketahui.”

Keutamaan Ilmu

Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata, “Seseorang itu akan semakin mulia dengan ilmu diin yang ia miliki. Ilmu itulah yang membedakan bapak manusia, yaitu Adam dengan para malaikat. Ilmu ini terkadang di pikiran. Ilmu juga kadang di lisan. Ilmu juga terkadang di dalam tulisan tangan untuk menyalurkan apa yang dalam pikiran, lisan, maupun yang tergambarkan di pikiran.”

Keutamaan Selalu Mengikat Ilmu dengan Tulisan
Dalam atsar disebutkan,

قيدوا العلم بالكتابة

“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 106. Dihasankan oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2026).

Dalam atsar lainnya juga disebutkan,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ

“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan dia ilmu yang ia tidak ketahui.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’, 10: 15. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini maudhu’ atau palsu. Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 422)

Arti Kata Akram dan Dorongan Al-Qur’an untuk Meningkatkan Minat Baca
Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan “wa Rabbuka al-akram”. Ayat ini antara lain merupakan dorongan untuk meningkatkan minat baca.
Dalam Al-Qur’an hanya dua kali ditemukan kata “al-akram”, yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 3 dan pada QS. Al-Hujarat ayat 13:

 “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.

Kata “akram” yang berasal dari kata “karama”, biasanya diterjemahkan dengan “Maha Pemurah” atau “Semulia-mulia”. Akan tetapi kata ini digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya. Seperti lafal قولاكريما (QS. Al-Isro’: 23) dan lafal كريم رزق (QS. Al-Anfal: 4). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, enak didengar dan mudah dipahami. Sedangkan katakarim pada rezeki, yang dimaksud adalah rezeki yang banyak, bermanfaat serta halal.
Lafal “wa Rabbuka al-akram”, yang disifati di sini adalah Rabb(Tuhan Pemelihara). Ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan kata akram yang tidak dibatasi pengertiannya dalam suatu hal tertentu. Lafal tersebut mengandung pegertian bahwa Tuhan dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi hamba-Nya yang membaca.

Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besarkaram Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini bisa menjangkau sifat Tuhan Yang Maha Mutlak dan tidak terbatas itu? Meskipun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan oleh Quraish Shihab sebagai berikut:

“Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam-Nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui”.

“Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan atau pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut”.

“Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia akram (memiliki segala macam kesempurnaan)”.
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.

Peradaban yang Dibangun Oleh “Makhluk Membaca”
Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama guna membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, begitu juga sebaliknya, maka tidak mustahil jika suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai “makhluk membaca”, suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari deinisi-definisi lainnya, seperti “makhluk sosial” atau “makhluk berpikir”.
Manusia bertugas sebagai “abd lillah” dan juga sebagai “khalifah fi al-ardh”. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia yang merupakan persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Kekhalifahan menuntut hubungan antara manusia dengan manusia, hubungan dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan juga menuntut kearifan. Karena, agar manusia mampu mencapai tujuan diciptakannya sebagai khalifah, maka dibutuhkan adanya pengenalan terhadap alam raya, yaitu dengan usahaqira’at (membaca, menelaah, mengkaji, meneliti, dan lain-lain).
Demikianlah, iqra’ merupakan isyarat utama dan pertama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan oleh Allah swt. Kepada manusia.

Iqra’ yang merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu pada QS. Al-‘Alaq berarti “bacalah” (perintah membaca). Iqra’ di sini tidak disebutkan objeknya secara khusus, oleh karena itu objeknya bersifat umum. Membaca tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis atau ayat-ayat yang tertulis saja (ayat al-qauliyah), tetapi juga membaca alam semesta atau ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam ini (ayat al-kauniyah).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, merupakan perintah membaca yang mengharuskan pembaca ikhlas melakukannya hanya karena Allah semata. Sebab yang memerintah adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah”. Menggambarkan manfaat yang akan diperoleh pembaca dari apa yang dibaca. Allah menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, dan wawasan-wawasan baru, walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Demikianlah, iqra’ merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dan disinilah letak mengapa membaca memiliki makna yang mendalam dan strategis dalam lmu pengetahuan. Karena seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan tanpa membaca dan membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya, sehingga manusia memiliki peradaban yang tinggi.

Referensi

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Semarang; Toha Putra, 1985.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta; Ponpes al-Munawwir, 1984.
Nata, Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 2002.
Qardhawi, Yusuf, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gema Insani, 1998.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997.
Soemabrata, Iskandar AG, Pesan-pesan Numerik Al-Qur’an, Jakarta, Republika, 2007.
Watt, W. Wontgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan Atas Karya Bell,terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta; Rajawali Pers, 1995.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.


Selengkapnya

Fandi dan Jihan

Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu. Hari ini Fandi telat masuk sekolah. Matanya yang terjaga sampai dini hari membuat ia bangun kesiangan. Bola matanya yang bulat kini dihiasi kelopak mata yang menghitam akibat kurang tidur. Gairah bersekolah hari ini lenyap seiring rasa kantuk yang menggelayut di pelupuk matanya.

Fandi tiba di sekolah sesaat sebelum gerbang sekolah ditutup. Beruntung ia masih kuat berlari mengejar waktu. Bila tidak, bisa-bisa ia disuruh pulang kembali oleh satpam. Peraturan sekolah tidak selonggar dulu, kini siswa yang datang terlambat lebih dari lima belas menit tak lagi memiliki harapan untuk mengikuti kegiatan belajar. Kalau kau telat, silakan pulang. Demikian yang disampaikan satpam sekolah yang berasal dari Ambon ini.

"Loh, kamu telat juga? Haha, habis ngeronda ya, Jihan?" ucap Fandi kepada perempuan yang sedang sibuk membetulkan letak kaos kakinya yang turun akibat berlari.
"Ih, enak aja. Semalam banyak nyamuk. Aku digigitin, tuh sampai merah-merah. Jadinya nggak bisa tidur," jawab Jihan sambil menunjukkan tangannya yang merah-merah akibat gigitan nyamuk.
"Nyamuknya centil juga, ya. Semalaman gigitin kamu. Kayak nggak ada kerjaan lain lagi aja," lanjut Fandi mengajak bercanda.
"Hahaha terserah! Udah ah, aku mau masuk kelas, gurunya galak," ucap Jihan sambil tertawa. Giginya yang putih berseri dan pipinya yang memerah menambah cantik paras wajahnya.
"Engh.. Iya. Selamat belajar, ya." jawab Fandi gugup seketika.

Jihan meneruskan langkah menuju ruang kelas. Sementara Fandi masih terpaku di depan gerbang, memerhatikan punggung Jihan yang menjauh. Perlahan, ia tersadar dari lamunan. Lalu kembali bergegas menuju ruang kelas.

******
"Woy, Fan! Bengong aja lo. Lagi sakit?" sapa Rendi sambil menepuk pundak Fandi di kantin sekolah.
"Ah, sialan lo! Nggak. Gue sehat. Masih ganteng gini. Apanya yang sakit?" jawab Fandi sekenanya.
"Dih, pede banget lo! Terus ngapain bengong? Mikirin si Jihan, lo ya? Hahaha," goda Rendi.
"Iya nih, bro. Tadi pagi pas di gerbang gue lihat dia. Senyumnya itu loh, ya ampun, lutut gue sampai lemes ngelihatnya," ucap Fandi cengengesan menimpali pertanyaan Rendi.
"Ah, giliran sama gue aja lo pede. Sama Jihan malah takut-takut. Udah empat tahun lo suka sama dia, tapi cuma didiemin aja. Utarain dong perasaan lo!"
"Nggak berani gue, Ren. Gue takut dia nolak gue. Lebih baik kayak gini, deh. Jatuh cinta diem-diem. Jadi gue nggak perlu takut-takut dia nolak gue," jawab Fandi.
"Yaelah, bro. Cinta itu butuh pengungkapan. Itu baru namanya laki. Seenggaknya kalau lo tembak, lo kan jadi tahu dia suka sama lo juga apa nggak. Ya minimal lo jadi nggak perlu nebak-nebak gimana perasaan dia sama lo," lanjut Rendi.
"Ah, tua banget lo, Ren. Pakai segala nasihatin gue. Cari pacar dulu lo, baru deh nasihatin gue," jawab Fandi sambil menepuk pundak Rendi.
"Hahaha, ya minimal gue nggak mendem perasaan sampai empat tahun kayak lo! Cemen lo!"
"Ah, sialan lo. Udah yuk, masuk kelas lagi. Udah bel lagi tuh."
"Ayo!" ucap Rendi sambil beranjak menuju kelas lagi.

*****
"Hai, Jihan, hari Minggu besok kamu ada acara nggak?" sapa Fandi saat menemui Jihan ketika pulang sekolah.
"Hah? Kosong kayaknya Fan. Kenapa?" jawab Jihan dengan memasang wajah bingungnya yang terlihat lucu.
"Nonton, yuk. Katanya lagi banyak film bagus."
"Oh, ayo deh. Berdua aja?"
"Iya, berdua aja."
"Yaudah, aku mau."
"Oke, besok sore aku jemput kamu, ya."
"Iya."

******

Aku udah di depan rumah kamu, nih.

Sebuah pesan terkirim ke ponsel Jihan.

Iya, tunggu sebentar, ya.

Tak lama kemudian Jihan muncul dari pintu rumahnya. Badannya yang ramping dibalut dengan cardigan berwarna hitam dan celana jeans. Tampilan yang terlalu sederhana bagi seorang perempuan, tapi paras Jihan yang jelita terlihat pantas-pantas saja mengenakannya.

"Udah siap? Yuk berangkat. Ini helmnya." ucap Fandi sambil menyerahkan helm kepada Jihan.
"Sudah, yuk."

Jarak menuju teater bioskop dari rumah Jihan tidak cukup jauh. Mereka hanya perlu melewati komplek perumahan Jihan lalu kemudian melintasi jalan raya menuju arah kota. Jika sudah bertemu dua kali lampu lalu lintas, maka mereka hanya perlu belok ke kanan untuk masuk ke pelataran parkir teater bioskop.

Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Hanya sesekali Fandi mencoba mengajak bercanda Jihan meski terlihat sedikit kikuk.
"Aku nih, ya, kalau nonton bioskop nggak pernah bawa tikar dari rumah. Keren 'kan?" ucap Fandi memecah keheningan.
"Ya iyalah, Fandi. Emang kamu mau piknik? Hahaha," terdengar sayup-sayup suara Jihan di antara riuh suara kendaraan yang berlalu-lalang.
"Oh, iya, ya. Yang bikin aku senang nonton di bioskop itu soalnya filmnya nggak pernah dipotong iklan. Jadinya bisa nonton serius dari awal sampai akhir," lanjut Fandi.
"Ih, kamu garing banget sih, Fan. Hahaha, bodo amat ah terserah kamu aja,"
"Eh, udah mau sampai nih,"
"Iya, kamu hati-hati bawa motornya,"
"Iya, bawel."

Selepas turun dari motor, mereka bergegas masuk ke dalam teater bioskop.

*****

"Gimana tadi filmnya? Seru nggak?" ucap Fandi saat berada di taman dekat pelataran parkir teater bioskop. Ia senang bukan kepalang bisa berduaan dengan Jihan dalam waktu yang cukup lama.
"Seru banget! Ceritanya juga haru. Tadi ada beberapa adegan aku malah nangis. Hehehe," ucap Jihan malu-malu.
"Ah, itu mah karena kamu aja yang cengeng."
"Ye, nggak cengeng kali. Emang ceritanya aja yang sedih."
"Hahaha, iya deh. Eh, Jihan, ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Yaudah ngomong aja."
"Mmm.. Makasih udah nemenin hari ini."
"Iya, Fandi. Harusnya aku yang bilang makasih, karena udah diajak nonton hari ini."
"Emm, Jihan. Aku suka kamu. Sejak empat tahun lalu."

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Angin malam berdesir meniup rambut Jihan yang tergerai bebas. Menunjukkan anting kecil yang menggantung di telinganya.

"Hai, Fan! Udah selesai nontonnya?" tiba-tiba Rendi muncul di hadapan mereka.
"Heu? Rendi? Udah Ren. Lagi ngapain lo?" jawab Fandi dengan wajah bingung.
"Ini, mau jemput cewek gue. Yuk, han, pulang. Tadi mamah kamu nelepon aku, nyuruh jemput kamu ke sini," ucap Rendi ke arah Jihan.
"Yuk Ren. Emm, Fandi. Maaf ya, aku pulang duluan. Makasih hari ini." ucap Jihan kepada Fandi.
"Oh, iya Jihan. Sama-sama, hati-hati di jalan, ya."

"Mmm, Jihan. Sebentar ya," ucap Rendi kepada Jihan sebelum beranjak pulang.
Rendi menghampiri Fandi yang duduk bersandar di bangku taman, kemudian berbisik pelan,
"Sorry, Fan. Gue udah jadian sama Jihan sejak 3 bulan lalu. Kemarin gue bilang lo suruh ngutarain perasaan lo, biar lo tahu, lo jangan nunggu lagi. Waktu lo udah habis cuma buat nunggu. Lo harus sadar, kalau cinta itu dijemput. Bukan cuma ditunggu. Gue cabut dulu ya, Fan. Lo baik-baik ya."
"Haha, Iya Ren. Sorry gue nggak tahu kalau ternyata lo juga suka sama dia. Hati-hati, lo." ucap Fandi dengan wajah yang mencoba disenyumkan.

Rendi dan Jihan berjalan bergenggaman meninggalkan Fandi di bangku taman. Sementara Fandi duduk menunduk dengan dada yang bergemuruh oleh perasaan entah bernama apa. Ingin marah, kepada siapa? Merasakan kecewa, tapi kepada siapa? Ingin menangis, tapi untuk apa? Penyesalan merambat ke dalam dadanya. Andai ia berani mengutarakan perasaannya sejak dulu, mungkin cerita akan berbeda di bandingkan dengan malam ini.

Tapi cinta..
Tak pernah mengenal kata andai..

Depok, 24 September 2013
Selengkapnya

Hujan di Bulan Januari

Aku duduk di bangku dekat jendela. Memerhatikan senja yang menghilang dilalap pekat awan yang memuntahkan hujan. Diiringi suara rinai yang merintik ritmis mengikis bebatuan. Menyatu bersama gemirisik daun yang tersapu embusan angin dingin. Seketika menjadi begitu hening saat kepala yang lengang disesaki oleh kesepian tanpa nama.

"Mungkin, akan ada sajak sendu tercipta. Atau puisi-puisi keharuan mengemuka. Seiring sepi yang tersisa dari hujan yang mereda..."

Selepas punggungmu menjauh, rindu menjadi sedemikian gigilnya. Alih-alih hujan bertugas sebagai pelepas penat selepas panas, kini telah menjelma selubung murung yang mengantarkan dingin. Selain kenangan yang mengalun setelahnya, yang tersisa hanyalah kesunyian tak bernyawa. Sembilu luka menyayat hati yang ringkih.

"Aku dan kau adalah jejak tapak kaki di tanah-tanah basah. Menunggu hujan membuatnya musnah. Atau menanti terik kemarau yang menjadikannya kekal."

Aku berdiri di samping bangku dekat jendela. Melangkah berlalu memunggungi kaca yang mengembun terkena tempias hujan. Berjalan pelan menuju kamar yang digerogoti kesunyian. Berharap bisa menuliskan catatan tentang hujan di bulan Januari; perihal aku, kamu, dan kehilangan tanpa salam perpisahan.



(Source)

Selengkapnya

Lelaki dan Perempuan yang Tenggelam dalam Senja

"Ceritakan padaku kisah-kisah puitis agar aku tak lelah menanti. Dekap aku dengan pelukan-pelukan erat agar aku tahu kau tak akan pergi. Kecup aku dengan ciuman-ciuman hangat agar aku yakin bahwa aku adalah satu-satunya yang kau cintai..."

Senja memerah di ufuk barat, garis-garis magenta terbias di antara langit jingga berpadu biru. Dan kita masih duduk di sudut itu. Menikmati setiap detik waktu dalam mengantarkan matahari membenam. Ditingkahi embus angin-angin sore yang memainkan setiap anak rambut yang tergerai jatuh menutupi dahi.

"Tahukah kau apa yang disampaikan senja, puan?" katamu memecah keheningan.
"Senja, pada langit biru ia menjingga. Menjelma kereta kuda yang menjemput mimpi pada malamnya. Keindahan sesaat, sekejapan mata. Datang sekali di antara siang dan malam. Tapi ia setia. Tak pernah lupa untuk kembali keesokan lagi, meski malam kerap melahapnya dalam hitam hari. Dan aku adalah senja itu. Pengantar rindu menuju kamu."

Aku tersenyum. Merebahkan kepala pada bahumu yang tegap. Membenahi posisi duduk untuk merekatkan dekap. Membiarkan kehangatan menyesapi kisi hati lekat-lekat.

"Rindu itu kamu, tuan. Senja yang datang setelah siang kerontang, pelepas penat selepas panas," kataku berbisik sambil mengecup pipimu.

Kau tertawa. Renyah suara yang selalu kusuka, hal yang tak pernah jenuh membuatku jatuh cinta. Mencintaimu seperti menemukan bagian diriku yang sudah lama hilang. Pencipta kebahagiaan yang tak lekang, meski jarak begitu angkuh memaksa kita berjauhan.

"Kapan kita akan berhenti saling mencintai dalam jarak berjauhan?" tanyaku lirih.
"Bersabarlah, kelak jarak akan menyerah dan mengalah. Merekatkan dekap hingga erat. Membuat perasaan menjadi utuh, seluruh," lalu kau menatap mataku dalam-dalam, menyunggingkan senyum. Kemudian pelan-pelan, bibirmu jatuh di bibirku.

Burung-burung berpulangan. Lampu-lampu dinyalakan. Malam datang lagi, dan senja perlahan beranjak pergi.


Candi Ijo, Jogjakarta.
Selengkapnya

Kategori Utama