Jaga Rindumu Baik-baik

Untuk kamu yang sedang menunggu temu.

Saat membaca tulisan ini, mungkin kau sedang gusar menahan rindu berdebar. Atau mungkin sedang kalang kabut mengusir kalut. Atau bisa jadi, kau tengah sibuk membuat daftar tempat mana saja yang akan kita kunjungi nanti. Kau tahu? Saat menuliskan ini, aku sedang tersenyum membayangkan bagaimana reaksi wajahmu saat melihat sosokku nanti. Waktuku habis untuk sekadar menebak-nebak apa yang akan kau lakukan untuk pertama kali. Kau bilang, kau akan menyubit pinggangku karena sudah teramat gemas dengan sikap menyebalkanku selama kita jauh. Sementara di lain kesempatan, kau juga pernah bilang ingin segera membunuh rindu satu per satu di pelukanku.

Itu yang kupikirkan sedari tadi.
Kira-kira, hal apa yang akan kau lakukan nanti? Aku sudah siap bila memang kau ingin menyubit pinggangku dengan gemas. Beberapa hari kemarin, aku sengaja mempersiapkan diri agar pinggangku tahan cubitan. Kau tahu apa? Aku melingkarkan sabuk dari besi selebar lima inchi, agar ketika jemarimu mulai bergerak untuk menyubit, justru kaulah yang akan merasakan sakit. Hahahaha
Tidak. Bercanda. Memangnya aku Iron Man, si manusia besi yang kau idola-idolakan itu?

Honeybee...
Aku tahu bahwa jarak membuat rindu terasa sulit. Tapi tenang saja, jalani saja dengan kesetiaan yang tabah. Pada akhirnya, seberapa jauhpun jarak membentang, kita mampu melipatnya dalam saku celana. Aku rindu. Kau rindu. Jadi sama saja. Tak perlu mengkhawatirkan dengan terlalu. Toh pada akhirnya, semua rindu berdebar yang meletup-letup di dalam dada akan lenyap seiring sua. Begitulah sederhananya. Sesederhana cinta yang kita jaga bersama.

Jaga rindumu baik-baik. Rawat dengan kesetiaan apik-apik. Sebab apa lagi yang dapat mempertemukan kita, selain karena rindu yang sama-sama kita jaga.

Tunggu aku di kotamu.
Aku sedang dalam perjalanan untuk mempertemukan rindu.

Dari aku yang mencintaimu selalu.
Lelakimu.
Selengkapnya

Untuk Perempuan Kesayangan

Suatu kali dalam hidup, aku pernah merasa begitu jatuh. Hilang jejak. Tapak tak lagi dapat berharap. Hingga kemudian aku bertemu kamu. Lugu senyummu yang merona merah malu-malu. Ceria suaramu kala tertawa, begitu manja. Menggoda.

Dan aku. Kembali jatuh. Lebih dalam. Tak kuat lagi untuk bangkit. Ingin lebih lama lelap. Pada hatimu. Aku jatuh. Cinta. Dan tak bisa lagi berbuat apa-apa. Selain berjuang dengan kesabaran yang sungguh. Lalu kau mulai menoleh. Membuka hati. Mempersilakan cinta menelusup pelan-pelan. Membiarkan bunga-bunga perasaan bermekaran.

Kemudian kita saling bergenggaman. Erat. Seutuh kesetiaan yang terjaga rapat. Aku cinta kamu. Sesederhana kamu mencintaiku.

Teruntuk perempuan kesayangan.
Terima kasih telah hadir.
Memberi warna-warni dalam cerita.
Menyuguhkan kebahagiaan-kebahagiaan dalam cinta.

Terima kasih untuk selalu ada.
Memberitahukan cara bagaimana tersenyum selepas duka.

Aku sayang kamu.
Selengkapnya

Similina; Alles Komt Goed

Suatu pagi yang hangat. Mentari bersinar gagah di ufuk timur. Dedaunan bergesekan tertiup angin sayup-sayup. Nuri berkicau bersahutan tak henti. Awan-awan biru berarak menuju lautan.
Simfoni kedamaian alam paling puitis. Sekiranya, itulah gambaran suasana pagi di negeri Similina. Panorama gunung yang tegak berjajar dikelilingi pepohonan. Juga hijau rimbun daun semakin membuat suasana begitu sejuk dan damai. Tapi yang paling mengesankan di negeri Similina ini adalah rakyatnya yang selalu tersenyum.


Negeri Similina dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Rismala. Ratu Rismala memiliki rambut hitam kemilau, tergerai dari kepala hingga ke bahu. Mahkota dari zamrud semakin mempercantik dirinya. Kian jelita dengan mata cokelat bulat yang selalu terlihat ceria. Tapi semua pesona kecantikannya, tidak lebih indah dibanding senyum yang selalu menghiasi bibir merah delima miliknya.


Tiada yang lebih indah dibanding senyum milik Ratu Rismala, termasuk rakyat Negeri Similina. Pernah suatu kali Ratu Rismala ke luar istana kerajaan untuk melihat langsung kehidupan rakyatnya. Sepanjang perjalanan ia mengulas senyum. Membuat tenang siapa saja yang melihatnya. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan." kata Ratu Rismala saat ada salah satu rakyatnya yang menceritakan kesedihannya.


Sejak saat itu, semua rakyat sepakat untuk selalu tersenyum pada hal apa saja yang mereka terima. Negeri Similina dipenuhi kedamaian. Tak pernah terlihat kesedihan. Sebab dalam setiap nestapa, senyum menjadi penawar atas setiap luka.


Hingga suatu hari semua keadaan berbalik. Negeri Similina mengalami kemarau panjang. Dedaunan layu terpapar sinar mentari yang menyengat dan membakar. Pepohonan mati dimakan rayap-rayap. Ladang-ladang kekeringan. Tak ada lagi suara nuri saat pagi, burung-burung beranjak pergi sebab tak ada lagi makanan di hutan. Sendu tergambar dari setiap gurat wajah rakyat. Negeri Similina dipenuhi kecemasan.


Namun, dari semua wajah yang dihinggapi kecemasan. Tak ada yang lebih menyayat hati, selain sendu dari wajah Ratu Rismala. "Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum, sementara keadaan memaksa siapa saja untuk memasang wajah-wajah murung. Bagaimana bisa ceria, sementara rasa lapar dan dahaga begitu fasih mengajarkan derita." batin Ratu Rismala.


Tapi bagi cinta. Setiap nestapa hanya cara. Menyuruh berbenah untuk selalu tabah.


Tuhan memahami keadaan yang menimpa Negeri Similina. Dia tak akan menurunkan ujian melebihi kesanggupan. Maka, dalam suatu malam, Ia menyuruh malaikat kecilnya untuk masuk ke dalam mimpi Ratu Rismala.


Malaikat kecil mengajak Ratu Rismala bermain di sebuah taman hijau maha luas. Membiarkan Ratu Rismala berlarian menikmati desau angin yang berembus memainkan anak-anak rambutnya. Hingga saat Ratu Rismala mulai merasa letih bermain-main, malaikat kecil berkata, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."


Ratu Rismala tersontak bangun dari tidurnya dengan menangis sesenggukan. Ia menyadari ada yang salah dengan sikapnya selama ini. Maka, bergegaslah ia menuju penjuru negeri. Pada sebuah menara di sudut negeri, Ratu Rismala berseru memanggil rakyat Negeri Similina. Rakyat berduyun-duyun menuju menara. Di sana, Ratu Rismala berseru lantang. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."


Lalu tersenyumlah Ratu Rismala, senyum pertama sejak nestapa memenuhi langit Negeri Similina. Senyum yang lebih rona dan berseri dari sebelumnya. Rakyat menangis haru. Bergetar hati mereka melihat keteguhan hati Ratu Rismala. Segera mereka seka air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Lalu mencoba tersenyum dengan segala keteguhan dan ketabahan hati yang mereka punya. Langit Negeri Similina benderang dengan sinar wajah tersenyum dari seluruh rakyatnya. Semesta menjadi saksi. Atas keteguhan hati. Ketulusan untuk tetap tersenyum seberapa berat pun permasalahan yang dihadapi.


Langit bergemuruh. Angin berembus dengan kencang. Awan-awan kelabu berarak menuju Negeri Similina. Langit beranjak mendung. Sedetik kemudian, bulir air jatuh satu-satu. Hujan berderai di Negeri Similina. Wajah-wajah basah dibasuh hujan. Rakyat Negeri Similina menangis sesenggukan. "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan," mereka mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam hati.


Hujan berderai sepanjang hari. Tanah-tanah basah. Dedaunan tumbuh dengan rimbun. Negeri Similina kembali hijau dengan tenang dan damai. Tak ada lagi sendu, sebab senyum selalu mampu menghapus seringai murung. Ratu Rismala memandang lazuardi, dengan senyum berujar lirih, "Tak perlu khawatir. Alles komt goed. Tersenyumlah, walau lelah. Kesabaran akan selalu berbuah keindahan."

____________

*Alles komt goed: Semua akan baik-baik saja.


Dari sebuah kisah mendadak, yang dibuat untuk membuat nona Tiara Rismala tersenyum.

Oleh Galih Hidayatullah.



Selengkapnya

Kepada Ibu Bapak yang di Hatinya Ada Surga

Teruntuk dua pasang mata, saksi atas tumbuhnya aku hingga mendewasa.
Teruntuk dua pasang lengan, penyangga saat aku kehilangan arah.
Teruntuk dua pasang kaki, penopang sendi saat jejak tak dapat berpijak. Teruntuk dua kepala, teladan saat aku tak tahu harus berbuat apa.
Kepada ibu dan bapak yang di hatinya ada surga.

Aku ingin bercerita betapa luka mengarungi hidup dalam sepi dan tiada
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatanmu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang kau bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”

Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Menyuruhku berbenah untuk selalu tabah

Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski hidupmu kian lamur
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap gelak gemetar bibirmu saat berkata, “Maaf nak, sabarlah dahulu. Minggu depan uang saku akan segera kami kirimkan. Kau pinjam dulu dengan sahabatmu, nanti akan segera kami ganti. Kami sedang berusaha di rumah.”
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh

Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia
Saat kau berteriak bangga
Kepada siapa saja
“Perkenalkan, ini anak saya.”

Galih Hidayatullah
Depok, 22 November 2013
___________________
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk Wisuda 8 STEI SEBI.

Selengkapnya

Aku Rindu Kamu

Malam meretas geming. Dan aku duduk di depan beranda rumah. Menikmati setiap teguk kopi hitam yang mendingin. Langit sempurna pekat. Mungkin awan-awan sedang berarak mendung. Atau bintang gemintang yang terlalu enggan menemani bulan yang bercahaya redup. Menjadi lebih sepi ketika hening sempurna memeluk. Ada suara-suara binatang malam, -sebenarnya. Tapi kalah riuh oleh rindu yang mengetuk setiap lekuk dinding-dinding kepala.

Saat rindu, kenangan begitu usil menggoda. Mengundang berbagai macam ingatan yang mengulas tawa. Hingga tak jarang menyisakan air mata -pada akhirnya.

Kau tahu? Malam ini, aku mengenangmu, -lagi. Menghadirkan setiap ingatan-ingatan sederhana tentang kebersamaan kita. Tentang genggam tangan yang erat bersandingan dalam setiap langkah perjalanan. Tentang pelukan-pelukan kecil dalam melewati gigil yang ditawarkan hujan. Tentang lagu-lagu yang mengalun pelan mengusir segala sendu saat tangismu sesenggukan. Tentang belai manja tanganmu yang memainkan setiap anak-anak rambutku yang berantakan. Ah, aku rindu kamu. Aku rindu kita.

Aku rindu kamu. Sepekat dedak kopi yang mengendap di dasar gelas-gelas kopi. Setebal ingatan yang mengukung kepala. Sebanyak debar yang menggema di dalam dada.

Aku rindu kamu. Sesederhana itu.
Selengkapnya

Perjumpaan dan Perbincangan Tentang Kenangan

"Seperti apa kau memaknai kenangan?"
"Seperti aku memaknai kamu."
"Maksudmu?"
"Tak ada yang benar-benar sendirian. Bahkan kesepian mengakrabi dirinya sendiri dengan kenangan."
Namira mengernyitkan kening. Tak mengerti apa yang kusampaikan. Sore ini, kami melakukan pertemuan, di sebuah cafe di bilangan Kemang. Aku mengunjungi kotanya, setelah sekian lama menanti waktu perjumpaan saat jarak memaksa kami untuk berjauhan.

"Aku tak mengerti. Bahasamu terlalu tinggi," kata Namira menyelak ucapanku.
"Begini Namira, kenangan itu mungkin seperti lembar foto yang kau simpan rapi dalam album-album galeri. Selama kau menjaga dengan baik, ia akan tetap berada di sana, bersama dengan cerita yang ada di baliknya. Semisal kau sedang sendirian, pikiranmu akan mengawang jauh, menuju cerita-cerita di balik kelebat gambar yang kau lihat. Seperti itulah."

"Lalu bagaimana caramu dalam menjaga kenangan itu?" tanya Namira melanjutkan.
"Kalau aku, ya menyimpan kenangan itu dengan rapi. Merawatnya dengan sangat baik. Mengantongi kuncinya agar sewaktu-waktu dapat membuka. Sebab karena kenangan itulah aku bisa berada di sini."
"Hmm.."
"Begini.. Contoh sederhananya, di ponsel kita masing-masing ada berbagai momen yang kita abadikan dalam galeri-galeri foto. Karena itu adalah bagian dari kenangan, maka sebisa mungkin aku akan menjaganya dengan baik. Melihatnya sesekali untuk sekadar tertawa dan tersenyum dalam menikmati cerita-cerita yang ada di sana."

"Hahaha, kau bawel sekali sore ini, Za."
"Kau banyak bertanya."
"Tapi pertanyaanku sederhana."
"Jawabannya tak sederhana, Namira."
"Iya, Reza. Jangan marah. Aku menikmatinya kok. Aku suka melihat wajah seriusmu. Memikati setiap inci dahimu yang berkerut saat berbicara. Aku suka kamu."
"Hm.."
"Duh, gitu aja ngambek."
"Ah, kau ini menyebalkan sekali, ya. Suka sekali membuat aku senyam-senyum sendiri." Aku menghela napas. Tersenyum. Mengalah.
"Eh, anyway, Ra, aku baru beli gadget terbaru. Sepertinya cocok untuk memaknai setiap momen dan kenangan." Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas.
"Ponsel apa, Za?"
"Nih, Samsung GALAXY Ace 3. Pas untuk dipakai orang-orang yang antusias dalam mengabadikan momen-momen terbaik yang terlewati."
"Iya, kah?"
"Iya, aku suka fitur yang ditawarinnya."
"Emang apa aja?" tanya Namira, mulai antusias. Aku melihat binar di matanya.
"Di ponsel ini, ada fitur Sound and Shot, kemampuan menambahkan suara pada foto, sehingga momen yang ditangkap bisa semakin kaya. Kamu bisa menceritakan ceritam menjadi lebih seru. Ada juga fitur Best Shot, kemampuan kamera untuk melakukan burst shot, lalu memilih foto yang terbaik secara otomatis," jawabku pelan-pelan, sambil menyodorkan ponselnya ke tangan Namira.

"Jadi kalau aku foto, bisa sekalian nyimpen suara di fotonya dong, ya?"
"Hahaha iya, semisal kau foto aku sekarang. Kau bisa menambahkan pesan suara di foto itu. Agar ketika kelak kamu kangen aku, bisa mengingat momen ini dengan melihat foto dan mendengar cerita yang ada di fotonya," kataku menanggapi pertanyaannya.
"Asik, ya?"
"Nah, makanya aku bilang cocok buat kamu. Termasuk buat kita yang berjauhan kayak gini. Jadi, rindu kita bisa menjadi semakin semarak dengan adanya foto-foto bersuara. Hahaha," lanjutku sambil tertawa.
"Ah, kamu. Kangen yang biasa aja udah bikin aku kelimpungan, apa lagi kalau semakin semarak." Namira menghela napas, lalu memasang wajah cemberut. Wajahnya yang merona, terlihat semakin lucu.
"Kalau kangen, ya tinggal chat, atau kepoin aku di socmed. Kan di ponsel itu social media-nya bisa diinstall secara lengkap, mulai dari twitter, path, instagram, sampai vine, semua jalan lancar karena prosesor dual core yang bikin aplikasi jadi berjalan mulus."
"Kamu kayaknya cocok jadi sales deh, Za. Paham banget kayaknya," kata Namira usil.
"Hahaha, ya kan aku ngasih tahu kamu, Ra. Biar kamu paham bagaimana cara memilih ponsel sesuai kebutuhan kamu."
"Iya, Reza. Aku juga emang lagi pengin beli ponsel baru. Tapi ya gitu, uangnya belum cukup. Pasti mahal kan ini ponselnya, Za?"
"Nggak kok. Harganya terjangkau. Buktinya tabunganku masih cukup untuk biaya ke kota kamu," kataku sambil memasang wajah seringai.
"Emang berapa harganya?"
"2.1 jutaan kok. Dengan harga segitu, kamu bisa main ponsel dengan S Voice, mesin assistance penjalan perintah berbasis suara. Suara renyahmu yang aku suka itu bisa nyuruh ponsel menjalankan perintah. Asik kan?" kataku mulai merayu Namira agar menggunakan ponsel yang baru saja kubeli.
"Hahahaha.. Iya deh.. Aku jadiin list untuk ponsel yang harus kubeli."
"Iya, Ra."

Cafe riuh oleh dengung-dengung suara perbincangan pengunjung. Dan kami, masih asik melanjutkan percakapan.

"Jadi.. Apa yang kau tahu tentang kenangan, Ra?" aku bertanya balik.
"Heu?"
"Iya, bagaimana cara kau memaknai kenangan?"
"Dengan duduk bersamamu. Membuat cerita-cerita lucu. Menciptakan momen-momen indah. Membuat ingatan-ingatan baru. Agar kelak, aku bisa menikmatinya sebagai sekelebat gambar yang mengisahkan cerita-cerita bahagia."
"Aku sayang kamu, Ra."
"Aku sayang kamu, Za."

Petang beranjak temaram. Dan kami, semakin larut dalam menuntaskan kerinduan.


Selengkapnya

Kategori Utama