Selepas Kepergian

Ini tentang malam yang terlalu dingin untuk dibicarakan. Tentang kesepian yang tak pernah bosan memeluk kesendirian. Tentang gigil gemelutuk yang memeluk kala bekunya setiap debar perasaan. Kalimat ini tercipta dari kesedihan yang terlalu. Tentang kecemasan dan haru yang mengukung. Tentang perkara hati yang membuat wajah selalu memasang seringai murung. Rima ini tergagas dari lirih tangis yang tersengal. Emosi yang meluap saat kau memutuskan untuk tanggal. Pergi meninggalkan.

Kesedihan begitu mudah mencipta dendam. Seberapa hebat pun cinta membuat bahagia, pada akhirnya cinta pula yang paling bengis dalam mengajarkan luka.

Ini tentang kamu yang menjauh. Tentang jejakmu tak lagi berpijak di tempat yang sama. Tentang langkah kaki yang berlalu memunggungi. Tentang genggam tangan yang terlepas untuk melambaikan salam perpisahan. Tentang senyum getir yang menyuruhku untuk tulus melepaskan. Tentang isak tangis tertahan yang pelan-pelan menyuruhmu untuk tetap tinggal dan bertahan. Tentang gelengan kepala yang secara tegas berkata tidak.

Kehilangan begitu fasih mengajarkan kebencian. Seberapa kuat pun berusaha menahan, pada akhirnya kesepian tak pernah kehabisan cara dalam memaksa untuk melepaskan kebersamaan.

Ini tentang kesedihan yang tertinggal. Tentang bulir tangis yang tak lagi kuat terbendung di kedua pelupuk mata. Tentang rintihan hati yang ringkih saat melepasmu pergi. Tentang kesepian yang memeluk hari-hari. Tentang sendu yang tak lagi tahu bagaimana mengajari wajah agar bisa memasang senyum. Tentang kegetiran yang menyayat saat aku mengenangmu. Tentang doa-doa mengangkasa dengan lafal semoga kau berbahagia, di sana.

Setabah-tabahnya rindu. Setulus-tulusnya kehilangan. Seikhlas-ikhlasnya merelakan. Sebisa aku memaknai kamu, cinta, dan kepergian tanpa rengekan.
Selengkapnya

Lelaki Yang Diam-diam Mencinta

Suatu hari, ada seorang pemuda yang diam-diam mencinta -lelaki itu aku, by the way. Ia habiskan waktunya untuk memerhatikan setiap lekuk perjalanan hidup sang wanita pujaannya. -wanita itu kamu, tentu saja. Tapi, ada hal yang tak bisa membuat lelaki itu menunjukkan perasaannya. Lelaki itu sedang menjalani hubungan asmara dengan wanitanya. Maka, ia pendam perasaan itu dalam-dalam. Sebab ia begitu ingin memuliakan wanitanya.
"Tuhan, tetapkan hatiku untuk setia. Sebab, tak ada yang lebih indah, selain berbahagia dalam satu perasaan yang terjalin dari dua hati yang saling mencintai."

Hingga suatu hari, semesta berkehendak lain. Kesetiaan yang lelaki itu jaga rapat-rapat dinistakan oleh sikap wanitanya. Wanita itu memutuskan berhenti menjalani hubungan dengan si lelaki. Sebab ada hal yang lebih penting dari sekadar kebersamaan, yaitu kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat dalam menjalin sebuah hubungan percintaan; pernikahan. Maka, berpisahlah mereka.

Sang lelaki gundah gulana, sebab yang dicinta pergi meninggalkannya. Keseharian si lelaki itu pun berantakan. Hatinya hancur oleh perasaan bernama entah. Tapi hidup harus terus berputar, dan langkah tak bisa bila hanya sekadar diam. Ia lanjutkan perjalanan hidupnya, dengan satu keyakinan, bahwa cara terbaik untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan jatuh cinta lagi.

Hingga datanglah masa itu. Saat di mana hati sang lelaki tengah sibuk mencari, ia mengingat seorang perempuan yang selama ini diam-diam ia cintai. Kepada langit, ia berdoa, "Duhai sang Maha Pembolak-balik Hati, perkenankan saya untuk mencintai lagi. Sebab saya begitu mendamba ia, semoga kau memberi kesempatan agar saya bisa mendekat kepadanya."

Rupanya, semesta sedang berbaik hati. Sang lelaki mendapat kesempatan untuk bisa menunjukkan perasaannya kepada sang wanita pujaannya. Dalam kesehariannya, lelaki itu mencuri perhatian sang wanita dengan berbagai macam cara. Semisal sapa, canda, bahkan puisi-puisi yang ia tulis dan dikirimkan melalui kepak sayap merpati.

Oleh sebab kegigihannya dalam berusaha, wanita itu pun luluh. Tak kuasa ia oleh pesona sang lelaki yang membuatnya jatuh. Merona pipi sang wanita, warnanya merah muda seperti cinta. Tapi ia tak ingin terburu-buru. Ia biarkan sang lelaki menunjukkan usahanya dengan lebih sungguh. Suatu hari, sang wanita berkata, "Bila sungguh dalam kau mencintaiku, rawatlah kesabaranmu hingga tumbuh mendewasa. Aku tak ingin tergesa dalam menjatuhkan cinta, aku ingin tahu seberapa kuat kau akan berusaha."

Diterimalah tantangan itu oleh sang lelaki. Ia patrikan tekadnya di dalam dada,
"O, nona... betapa cinta adalah perkara memilih hati yang tepat, sedang segala yang layak adalah patut untuk diperjuangkan. Kau duduklah diam-diam dan tenang, akan kutunjukkan pada kau bagaimana rupa kesabaran dan perjuangan."
Lelaki itu, dengan kesabaran yang sungguh, berusaha meyakinkan perasaan sang wanita agar lekas mendeklamasikan cinta di dalam hatinya, melalui puisi-puisi keindahan yang diciptakan isi kepala wanita kepada dirinya sendiri. Agar kelak, berani menggenggam ketulusan yang ditawarkan lelaki itu.

Sampai suatu ketika, datanglah masa itu. Saat di mana sang wanita akhirnya tak kuat menahan debar perasaan yang meletup tak menentu.
"Baiklah, tuan. Saya menyerah. Saya mencintaimu." 
Maka, beginilah mereka sekarang, menjalani asmara, melangkah asmara. Sesak hati mereka dipenuhi bunga-bunga cinta. Tak ada lagi sendu, tak jua bimbang tertuju. Hanya ada cinta dan kasih sayang yang utuh.

Lelaki itu kini berdoa, "Tuhanku yang Maha Sempurna, bila cinta ini adalah sesuatu yang kau kehendaki, maka jaga kami. Biarkan kebahagiaan mengetuk pintu-pintu hati. Hingga hilang isak yang sesenggukan sesak. Perkenankan kami bahagia dalam kebersamaan tanpa sekat."

Lalu bagaimana dengan doa sang wanita? Hanya kau, -wanita, yang tahu bagaimana rasanya. Maka, bolehkah aku bertanya?
"Jika ini adalah cinta, maukah kau menjalani kisahnya lebih lama dari selamanya?"

Aku tunggu jawabanmu.
Dari Aku.
Lelaki yang diam-diam mencintaimu utuh.
Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #10 (Sebuah Awal Dari Babak Baru)

Selamat siang, tuan.

Pendongeng kembali. Maaf membuatmu menunggu lama. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan. Ah, tapi tunggu sebentar, tuan. Maukah kau berjanji untuk tetap baik-baik saja apapun yang terjadi pada akhir dongeng ini? Baiklah, cukup kau jawab di dalam hati. Mari kita sama-sama melanjutkan dongeng ini.

------

Pemuda itu kembali mengeratkan pelukannya.

“Nona..”

“Hm?”

“Jika kau membenci bulan, lalu apa yang kau suka?”

“Bintang”

“Mengapa?”

Putri Keyla menghela napas di dada pemuda itu.

“Dulu, ayahku pernah membangunkanku tengah malam, menunjukkan satu bintang. Sangat terang. Ia bilang itu adalah Venus. Hanya muncul tiap 200 tahun sekali..”

“Hmm..”

“Bintang mengajarkanku bahwa yang tak terlihat bukan berarti tak ada. Bintang Venus itu tetap ada, Al.. Hanya saja ia tak memperlihatkan diri. Ia tak pernah lelah melihatku dari atas sana dan tak pernah ingkar janji untuk kembali lagi. Meski dalam kurun waktu yang lama.”

Pemuda itu diam. Memandang langit penuh gemintang.

“Al.. Kau mau melihat Venus?”

“Ya.”

“Kau tahu dimana letaknya?”

“Tidak.”

“Maka hiduplah bersamaku sampai 200 tahun lagi. Sebab hanya aku dan ayahku yang tahu dimana letak Venus saat ia menunjukkan dirinya”

Seperti menemukan permukaan air saat tenggelam, dada pemuda itu berdebar tak karuan. Seperti tersiram air es, ia tak pernah merasakan degup sesejuk saat itu.

“Al..”

“Hm?”

“Mengapa dadamu begitu berdebar?”

Pemuda itu diam. Melirik Putri Keyla yang rupanya menyembunyikan senyum di dadanya.

“Dengar baik-baik nona, ada namamu dalam degupnya”

Putri Keyla mencubit punggung pemuda itu. Mereka tertawa, masih sambil berpelukan.

“Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”, pemuda itu mengulang pertanyaanya lagi.

“Jika berdamai dengan masa lalu berarti siap jatuh cinta lagi meski aku tahu kesedihan akan menghampiriku, maka aku sudah benar-benar berteman akrab dengan masa lalu.”, jawab Putri Keyla.

“Aku jatuh dalam semestamu, Al.”

“Aku pun, Key.”

Hening menyelimuti mereka lagi.

“Boleh aku membuatmu tak membenci bulan lagi?”, tanya pemuda itu sambil melepaskan pelukannya. Ia memandang Putri Keyla yang tampak lucu karena kebingungan.

“Bagaimana caranya?”, tanya Putri Keyla.

“Begini..”

Pemuda itu berdiri dan menarik tangan Putri Keyla hingga ia ikut berdiri di hadapannya.

“Tutup matamu, jelita”, pintanya.

Putri Keyla menurut. Ia menutup matanya.

Lalu pemuda itu mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Putri Keyla. Lalu tangan kanannya menarik dagu Putri Keyla dan mengecup bibirnya dengan lembut sementara tangan yang lain melingkar di pinggang Putri Keyla dan menariknya ke dalam pelukannya.

Putri Keyla terkejut namun tak menarik diri. Ia justru membiarkan dirinya menikmati lembut bibir pemuda itu sambil terus memejamkan matanya. Balas mengecup.

Saat ia membuka matanya, menengadah ke atas, purnama sedang tersenyum di balik kepala pemuda itu. Lalu ia memejamkan mata kembali, balas mengecup lagi, sambil tersenyum.

Mereka menyudahi ciuman itu dengan kembali duduk di bangku taman dengan berpelukan, memandang langit malam dan mendengar masing-masing harmoni cinta dari masing-masing debar mereka.

“Aku tak pernah suka purnama. Tak pernah.. Sebelum hari ini. Sebelum aku memandangnya bersamamu”, ucap Putri Keyla di dada Al.

Al mengecup lembut puncak kepala Putri Keyla.

“Aku pun..”, bisiknya.

Malam itu semesta bertepuk tangan. Gemintang menyulang gelasnya. Angin melagukan cinta. Dan bulan.. Akhirnya purnama di waktu yang tepat.

———

Tuan..

Maafkan pendongengmu ini yang baru mampu menyelesaikan dongeng Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam hari ini. Terimakasih untuk setiap sabar darimu yang menyabarkan.

Pendongeng dan Putri Keyla jatuh telak dalam keindahan hatimu.

Terimakasih, Al.

Sudah menunggu, menyimak dongeng ini dan mendengarkan cerita-cerita lain dengan begitu sabar.

Dari aku, perempuan yang jatuh cinta pada kesabaranmu.

Key.



*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/
Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #9

Selamat pagi, tuan.

Pendongeng kembali. Izinkan saya meneruskan lagi cerita yang sempat tertunda. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan menceritakannya lagi pelan-pelan.

--------

Pemuda itu masih menatap Putri Keyla, mengharapkan segala hal baik akan terjadi, mendoakan setiap kemungkinan bagi hatinya yang rupanya telah jatuh terlalu dalam tanpa pernah ia sadari.

Putri Keyla diam. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Lalu ia menengadah, memandang bulan. Mendesah.

“Kau tahu? Aku selalu benci bulan”, ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit.

Pemuda itu ikut memandang bulan.

“Mengapa?”

“Sebab ia tak pernah purnama di waktu yang tepat”

Hening menyelimuti mereka. Yang mereka dengar hanya sayup-sayup suara daun yang sengaja dibawa angin serta napas masing-masing.

“Aku pernah begitu jatuh cinta, namun purnama tak pernah menemaniku. Saat aku terluka, tiba-tiba ia datang seperti sebuah bahak yang menyakitkan”, gumam Putri Keyla.

Pemuda itu tersenyum.

“Al..”, panggil Putri Keyla.

Rasanya aneh, baik di telinga pemuda itu maupun di telinga Putri Keyla sendiri. Tapi keduanya sama-sama menyukainya. Putri Keyla senang menyebutkan nama pemuda itu, dan pemuda itu tak keberatan namanya disebut oleh perempuan di sampingnya.

“Ya, nona Keyla?”

“Kau bilang, aku tak boleh berlari dari kesedihan sebab ia pasti tetap akan menemukanku.”

“Iya.”

“Jadi aku berdamai dengan masa lalu..”

Pemuda itu diam. Memperhatikan wajah Putri Keyla. Anak-anak rambut yang ditiup angin beberapa kali nakal menjamah pipinya. Pemuda itu sekuat hati menahan diri untuk tak merapikannya.

“Aku begitu terluka hingga tak tahu lagi harus pergi kemana. Lalu aku bertemu kau. Al, pernahkah kau merasa bahwa semesta rupanya mau berbaik hati menukar kehidupan-kehidupan yang hancur berantakan?”

“Hem..”

“Sederhananya, Al. Aku menemukan kehidupanku yang lain saat bertemu pandang pertama kali denganmu”

Pemuda itu menahan napas. Masih memandang wajah Putri Keyla yang menerawang.

“..Tapi kemudian aku ragu, Al. Sebaik itukah semesta padaku? Sebab yang aku tahu aku terlalu terluka karena semesta mengkhianati setiap setia yang aku jaga. Semesta.. Mengirimkanku hati yang salah..”

Suara Putri Keyla bergetar. Ada bening yang berlinang dari sudut matanya, merambat pelan menjamahi pipinya, berkilau tersiram sinar purnama.

“Aku sempat marah pada diriku sendiri karena percaya pada apa yang semesta tawarkan, Al. Keindahan. Aku tertipu”, kali ini suara Putri Keyla hampir tak terdengar. Matanya telah basah oleh hujannya sendiri.

Pemuda itu diam. Sesak.

Lalu dengan perlahan, ia menghapus air mata Putri Keyla, mengusap kepalanya dan menariknya ke dalam pelukannya. Ia biarkan Putri Keyla menangis sesenggukan di dadanya. Ia memejamkan mata, berdoa semoga segala luka yang menimpa perempuannya musnah.

Putri Keyla telah kehabisan air matanya. Dada pemuda itu telah basah. Dalam peluknya, Putri Keyla bertanya.

“Mau sampai kapan kau memelukku?”

Pemuda itu membuka matanya. Diam sejenak.

“Sampai kau tenang, nona”

“Aku sudah tenang”

Pemuda itu meregangkan pelukannya.

“Jangan!”, cegah Putri Keyla.

“Tetaplah seperti ini.. Sebentar lagi. Lebih lama lagi..”, pintanya.

————–

Ah.. Kau pasti kesal saya memotong ceritanya lagi, tuan.

Bersabarlah.. Saya sedang bersiap untuk menceritakan sepotong kisah yang mengakhiri rangkaian dongeng ini. Duduk dan tenanglah, tuan.


*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/

Selengkapnya

Putri Keyla dan Lelaki Bertudung Hitam #8

Selamat pagi, tuan.

Begini, hari ini saya akan mendongeng untuk kamu. Sebuah dongeng sederhana yang sempat bimbang untuk menemui akhirnya. Kau duduklah diam-diam dan tenang. Saya akan melanjutkan dongeng pelan-pelan.

-----------

Putri Keyla berjalan ke taman dengan langkah yang entah mengapa dirasanya terlalu riang. Ia sudah terlalu lelah memikirkan apa yang kira-kira laki-laki bertudung hitam akan sampaikan, jadi ia memilih untuk tak peduli saja walau sesekali ia menemukan dirinya ternyata telah sibuk menduga-duga.

Sesampainya di taman, ia melihat pemuda bertudung hitam sedang memainkan biolanya sambil bersandar di bangku taman. Diam. Ia tak mau bergerak. Terlalu takut merusak hal yang selama ini ia rasa begitu indah untuk ia lihat. Kombinasi pesona tiap gesekan senar biola berirama cinta dan sosok tubuhnya yang jangkung dengan tatapan mata yang meneduhkan adalah tema yang paling ia sukai pada setiap mimpi. Maka dia hanya diam di sisi taman, memperhatikan.

Pemuda bertudung hitam berhenti memainkan lagunya.
“Kenapa berhenti?” tanya Putri Keyla penasaran.
“Duduklah di sini. Jangan berdiri di sana,” ucap lelaki bertudung hitam.
Putri Keyla beranjak menuju bangku panjang, duduk diam di samping pemuda bertudung hitam.
“Mainkan lagi lagunya.”
“Dengan senang hati, nona.”
Lelaki bertudung hitam menggesek biolanya lagi sementara Putri Keyla sudah kembali larut dalam alunan nada-nada cinta.

Pemuda bertudung hitam selesai memainkan biolanya. Putri Keyla membuka matanya dan memperhatikan laki-laki bertudung hitam meletakkan biolanya ke dalam tas panjang berwarna hitam.

“Tadi lagu apa?”
“Lagu baru.”
“Apa judulnya?”
“Kepada Cinta Yang Membuatku Bahagia.”
“Hem?”
“Hahaha, iya, itu judulnya.”
“Lagunya indah.”
“Seperti kamu.”
“Ha?”
“Ya, lagu ini untuk kamu.”
“Maksudmu?”
“Begitulah.”

Belum sempat Putri Keyla memahami apa yang laki-laki bertudung hitam itu bicarakan,  tanpa di duga, laki-laki bertudung hitam membuka tudung yang selama ini menutupi wajahnya.

“Perkenalkan, saya Al.”

Putri Keyla tak menemukan cara untuk mengembalikan napasnya yang tiba-tiba hilang entah kemana. Di hadapannya, duduk seorang pemuda bermata bulat berwarna coklat, dihiasi bulu mata yang lentik dengan rambut lurus yang hitam legam. Dahinya tertutup sebagian rambutnya. Pemuda itu tersenyum. Menambah kebekuan yang menyelimuti tiap jengkal tubuh Putri Keyla.

“Hai, kenapa melamun? Ini aku. Lelaki yang selama ini menemani kamu.”
“Engh.. Iii iya.”
“Sudah tidak penasaran?”
“Iya.”
“Syukurlah.”
“Tapi kenapa kau membuka tudungmu?”, tanya Putri Keyla penasaran.
“Karena aku pikir inilah waktu yang tepat.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menunjukkan wajahku kepada ia yang kupilih. Yang membuat hatiku jatuh.”
“Aku?”, Putri Keyla menunjuk dadanya sendiri.
“Siapa lagi?”
“Hem?”
“Iya. Kamu. Keyla.”

“Hem.”

“Lalu bagaimana?”

“Apanya?”

“Aku sudah jujur terhadapmu. Juga menunjukkan wajahku yang sebenarnya. Lalu bagaimana perasaanmu sejujurnya padaku?”

Penerangan taman Tanjung Harapan padam. Angin berhembus kencang. Meniup lentera-lentera yang menggantung di pepohonan. Suasana taman begitu remang. Cahaya muncul hanya dari bintang gemintang berkerlap-kerlip di atas langit, juga bulan yang bersinar purnama. Malam memeluk hening. Sepi kesunyian memenuhi hampir seluruh taman.

————–

Bagaimana, tuan? Sudahkah kau menikmati ceritanya?

Ada yang lebih menarik setelah ini. Nanti akan kuteruskan.


*Dongeng ini dilanjutkan oleh Tiara Rismala di blognya http://aratiararismala.com/

Selengkapnya

Nantikan di Kotamu, Nona

Saya tak ingin menulis banyak-banyak. Begini, nona. Beberapa hari lagi saya akan mengunjungi kotamu. Tapi debar sudah bergemuruh tak menentu. Belum lagi resah entah bernama apa selalu setia mengusik setiap pejam dan jaga. Ah, saya grogi. Hmm... Bukan takut bertatap muka, hanya saja, mungkin kali ini rasanya berbeda. Kita, kau dan saya, sudah saling mengetahui perihal perasaan masing-masing, ya meski saya tak pernah tahu, apakah kelak kita bisa benar-benar bersama?

Ah, tapi.. Bukankah kita selama ini sudah selalu bersama? Kau sudah menjadi pengawal dan penutup setiap hari-hari, pun saya kepada kau. Dan.. tentu saja, tentang apapun yang saya dan kau lakukan di kediaman masing-masing, kita tak pernah lupa untuk saling menceritakannya. Sederhananya, itu saja sudah membuat saya bahagia. —meskipun tak menafikan, bahwa di dalam hati yang kecil ini ada damba meletup-letup yang menginginkan kamu menjadi ratu.

Jadi, nona. Apakah di setiap hari-harimu dalam menantikan kedatangan saya, ada debar yang sama? Menanti penuh harap dengan doa-doa kebaikan agar hari pertemuan lekas datang. Hmm... Saya tak berharap banyak-banyak, ada sedikit asa yang kujaga hanya agar saya tak buru-buru kehabisan sabar. Kau pernah meragukan bukan? Perihal kesabaran saya, apakah tetap terjaga dengan utuh atau tidak. Saya hanya ingin berkata begini, kau cukuplah diam-diam dan tenang, menyembuhkan setiap luka masa silam yang mengukung, perihal sabar dalam menanti biar saya yang mengurus sendiri.

Tunggu saya di kotamu, nona. 
Telah kusiapkan sekerat rindu dan doa. 
Nantikan dengan rentang pelukan paling cinta.
Selengkapnya

Kategori Utama