Kepergian, Kehilangan



“Siapa memulai? Entah. Tiba-tiba terhenti. Sudah. Lantas kemudian pergi. Enyah. Menyisakan luka kehilangan. Musnah.”

Petang mulai temaram kini. Jingga senja terlalap pekat hitam langit malam yang memuntahkan hujan. Menyisakan genangan basah juga aroma petrichor yang begitu sengit menusuk hidung. Menjadi lebih sunyi ketika kenangan tentangmu pelan-pelan mengetuk dadaku. Membawa serta kerinduan yang selama ini tak pernah bisa kulupakan. Tempias langit memang sudah lama berhenti, tapi hati masih begitu kuyup oleh tangis keresahan yang meraung sesenggukan memanggil namamu.

Kepergian dan kehilangan adalah kenangan menjemukan. Aku sudah terlalu bosan menikmati malam dengan cerita-cerita kesedihan. Hingga air mata sudah terlalu jenuh untuk merintik. Hingga lisan sudah terlampau kelu untuk mengucap keluh. Hingga tangis dan dendam tak lagi berarti banyak untuk menghadirkan tiadamu dalam setiap beradaku. Toh sekuat apapun aku berusaha, kesepianku tak benar-benar mampu membuatmu kembali datang dan terpeluk. Ah, kehilangan adalah skenario paling busuk.

Maka, inilah yang aku lakukan sekarang. Menuliskan setiap ratap kenestapaan dalam menghadapi kehilangan. Hingga pada akhirnya aku sampai pada sebuah titik kesimpulan. Ketika aku benar-benar menyadari. Bahwa ikhlas adalah sebaik-baiknya obat atas kehilangan.

Selengkapnya

Pergantian Musim

Jangan lagi menangisi kepergian. Toh pada akhirnya setiap kesedihan akan berlalu dan menghilang.
tanah-tanah basah mengering ditimpa kemarau. sedang hujan telah lebih dulu usai sebelum biru air di dedaunan menjadi embun. kupu-kupu berterbangan dari bunga ke bunga. menggetarkan putik-putik hingga bermekaran. hening dingin hujan disingkirkan semi sebagai pergantian musim.

Hentikan tangis menganaksungai, pahami kesedihan sebagai kekisruhan yang mesti kaulerai.
nuri bersahutan di ufuk timur. binatang-binatang pagi bersorak meningkahi kedatangan mentari. sedang mendung telah lenyap tertawan surya yang bersinar terang. tak ada genangan tanah selepas hujan. hangat pagi terpeluk segarkan hari.

Sadari, Latifa. Masih ada yang lebih sederhana dari air mata; senyum jingga dari bibirmu yang rona.



*puisi balasan untuk Kaurenggut Keperawanan Hatiku karya Latifa Sagita
Selengkapnya

Save Master Depok!

Para street artist yang tergabung dalam Milisi Mural Depok melakukan gerakan mural bersama untuk melakukan perlawanan visual untuk mempertahankan sekolah Masjid Terminal (Master) Depok. Sekolah Masjid Terminal (Master) yang bertempat di sekitaran terminal kota Depok adalah sekolah yang didirikan untuk para anak jalanan mendapatkan hak mereka dalam mendapatkan pendidikan. Sekolah ini sudah membina anak jalanan, yatim piatu, dan kaum dhuafa sejak bertahun-tahun lamanya untuk menjadi siswa-siswi berprestasi, bahkan beberapa dari mereka bisa mencapai jenjang perguruan tinggi negeri.








Isu belakangan ini menyebutkan bahwa Sekolah Master Depok akan digusur akibat rencana proyek optimalisasi terminal terpadu kota Depok, yang menyebabkan para anak jalanan terancam putus sekolah. Maka, atas isu tersebut gerakan mural bersama ini dilakukan. Tujuan diadakannya gerakan ini sederhana, para street artist ingin agar masyarakat dapat membuka mata mereka untuk melihat perjuangan anak jalanan dalam memenuhi kebutuhannya merasakan pendidikan. Sehingga dapat lebih gema menyuarakan pembelaan untuk dipertahankannya sekolah Master Depok. Hingga kemudian pemerintah kota Depok bisa lebih bijak dalam memutuskan kebijakan. Sebuah keputusan yang mewakili keresahan hati masyarakat kecil yang selama ini merintih menginginkan kemudahan dan kenyamanan dalam merasakan setiap kebutuhan termasuk pendidikan.












Mungkin kita sudah terlalu muak atas keangkuhan pemerintah dalam memutuskan kebijakan. Tak lagi peduli pada sebagian hati yang terintimidasi, terpinggirkan, terhinakan kehidupan yang tak ramah. Namun selama ini kita hanya mampu merutuk, mengucap sesal di dalam hati, gemas tanpa melakukan apa-apa. Diam dalam ketidakberdayaan. Geming tak melakukan tindakan. Maka apapun yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki bangsa ini, lakukanlah.

Semangat menyebar kebaikan semoga tak terhenti di sini. Semoga akan terus ada orang-orang yang berupaya menggemakan suara-suara nurani, melangkah dan mengulurkan tangan bagi mereka yang kesusahan. Sehingga akan datang masa yang kita rindukan bersama; sebuah kehidupan penuh kebaikan tanpa membedakan.





Mari kita belajar memuliakan mereka
Memberi atap bagi mereka yang meratap
Membasuh setiap nyeri bagi yang bergidik ngeri
Kita rangkul mereka yang menangis
 Menempatkan yang satu di sebelah kiri
Dan menempatkan yang lainnya di sebelah kanan
Kita dekap dengan pelukan keadilan

-----------------------------------------


Selamatkan pendidikan anak jalanan.
#SaveMasterDepok !!

Selengkapnya

Malaikat Ada Di Dalam Tubuhmu

Ia bernama Hendi Johan Saputra. Bila kau berjumpa dengannya, maka kau akan menemui seseorang dengan perawakan tegap, tatap mata tajam, garis muka tegas, dengan bentuk rahang yang kuat. Lengannya kekar, urat-urat nampak terlihat dari kulitnya yang coklat. Keadaan tubuh yang cukup sehat bagi lelaki seumurannya.

Saya menyebutnya mas Hendi. Ia adalah kakak saya yang pertama. Perbincangan saya dengannya di rumah tak begitu banyak. Hanya sekadar sapa layaknya seorang adik kepada kakak. Pernah beberapa kali saya berselisih paham dengannya, dimulai dari hal sederhana seperti saluran televisi mana yang akan ditonton, jurusan kuliah yang sesuai, atau yang lebih sensitif seperti bagaimana semestinya bersikap dalam menghadapi permasalahan keluarga. Sikapnya yang tegas dan keras lebih sering membuat saya mengalah dan akhirnya mengikuti setiap perkataannya.

Umurnya menginjak 25 tahun. Tapi ia sudah seperti kepala keluarga di rumah. Pengalamannya sebagai relawan penanggulan bencana di DMC Dompet Dhuafa, membuat ia bersikap jauh lebih dewasa dibanding usianya. Tahun 2010 menjadi hari bersejarah bagi mas Hendi. Kala itu, gunung Merapi tak kuat menahan gejolak abu vulkanik. Merapi meletus. Maka, pada suatu sore yang hujan, ia berpamitan kepada ummi.

"Mi, Hendi dapat tugas buat ke Merapi."
"Nggak ada orang yang lain, hen?" Ummi menyela.
"Hendi yang dapet tugas, masa nyuruh orang lain?"
"Tapi, kan, Merapi lagi ganas-ganasnya, hen. Ummi mah khawatir." lanjut ummi dengan cemas.
"Iya, tenang aja. Kan udah punya ilmunya. Insya Allah aman."
"Ya udah, jaga diri ya. Jangan lupa shalat."
"Iya, mi. Kalau Hendi nggak pulang, doain ya. Semoga dinilai syahid sama Allah." kata ia berkaca-kaca.
"Aamiin, mudah-mudahan selamat."


Saya mengerti sekali bagaimana perasaan cemas ummi ketika itu. Anak tertua yang menjadi harapan harus berangkat ke sebuah tempat bencana yang luar biasa. Terlebih mendengar pesan terakhir seolah akan kehilangan selamanya. Bukankah menyakitkan? Ketika orang tua harus merelakan buah hati yang dicintainya harus berjibaku dengan bahaya yang bisa saja merenggut nyawanya. Maka, tanpa bisa menahan, ummi menitipkan doa terbaik bagi mas Hendi. Semoga Yang Maha Menjaga berbaik hati melindunginya. Berangkatlah mas Hendi ke Jogjakarta.

Hari-hari berikutnya penuh kecemasan. Televisi tak henti menyiarkan berita tentang bencana letusan gunung Merapi. Korban berjatuhan. Langit Jogjakarta mengabu dipenuhi debu-debu vulkanik. Raut wajah kesedihan tergambar di koran-koran. Indonesia berkabung saat itu.

Suasana kabung juga menyelimuti langit-langit rumah kami. Sambungan telepon terputus. Praktis komunikasi kami ke mas Hendi tak bisa dilakukan. Kabar terakhir yang kami dapatkan, mas Hendi sudah sampai di lokasi bencana dan ditugaskan untuk mengevakuasi korban di lereng gunung, baik korban manusia, maupun hewan-hewan ternak yang ada di sana. Maka yang dapat kami lakukan sekeluarga di rumah hanya berdoa dan berharap semoga semua baik-baik saja.

Beberapa hari berselang, ponselku berdering. Tertera nama mas Hendi di sana. Ia menelepon.
"Halo, Assalamu'alaikum." terdengar suara lemas dari balik telepon.
"Wa'alaikumussalam. Sehat mas? Tadi aih lihat berita, wedus gembel turun lagi."
"Sehat. Iya, ini baru aja selamat. Tadi mas kejar-kejaran. Kalau kalah cepet, mungkin udah lewat."
"Astaghfirullah."
"Ummi mana?"
"Bentar, aih kasih teleponnya." ucap saya kemudian menyerahkan telepon ke ummi.
"Sehat, hen? Gimana keadaan di sana?" ummi buru-buru bertanya.
"Alhamdulillah, mi. Tadi Hendi hampir kena panasnya wedus gembel."
"Ya, Allah. Terus sekarang lagi di mana?"
"Ini udah di basecamp. Orang-orang rumah sehat, mi?"
"Alhamdulillah, sehat. Ya udah, jaga diri ya. Jangan lupa makan, jangan lupa shalat."
"Iya, mi. Doain Hendi ya."
"Ummi doain setiap hari, Hen."
"Aamiin, ya udah, Hendi mau lanjutin kerjanya ya."
"Iya, hen, hati-hati ya."

Sambungan telepon ditutup. Waktu-waktu selanjutnya masih dipenuhi kecemasan, hanya saja suasana sudah mulai mereda. Merapi sudah mulai membaik. Abu vulkanik masih memenuhi langit Jogja, hanya tak sepekat beberapa waktu kemarin. Seminggu kemudian, mas Hendi mengabarkan bahwa ia sudah boleh pulang kembali ke rumah. Keluarga suka cita mendengar kabar tersebut.

Di suatu Minggu pagi, mas Hendi pulang ke rumah. Kulitnya jauh lebih legam dari pada yang terakhir saya lihat. Badannya terlihat kurus dan lemah. Bencana Merapi menggerogoti fisiknya. Tatap haru terlihat dari wajah ummi, maka dipeluknya mas Hendi. Dan mengucap syukur kepada Allah karena masih menjaga dan melindungi buah hati tercintanya. Hari itu dipenuhi cerita-cerita tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Merapi. Jauh lebih mengerikan dari apa yang kami lihat di televisi.

Tak banyak yang dapat saya gambarkan tentang semangat juang mas Hendi. Saya menghormatinya lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Ia mengajarkan ketulusan dan kegigihan. Sikapnya yang keras kepala menjadi bukti bahwa ia kukuh dalam mempertahankan prinsip. Meski seringkali berbuah selisih paham, pada akhirnya saya mengerti bahwa semuanya adalah untuk kebaikan. Satu hal yang selalu saya ingat dari perkataannya. "Menjadi manusia harus kuat. Sebab bagaimana kau dapat menolong orang lain, jika untuk menolong diri sendiri saja kau tak mampu."

Hari ini ia kembali bertugas. Musibah gempa di Aceh Tengah. Kali ini keluarga sudah lebih memahami kondisi pekerjaannya. Maka tak ada hal yang lebih baik yang dapat dilakukan, selain mendukung dan mendoakan.

Selamat berjuang, kakak.
Tangan kita mungkin terlalu kecil untuk dapat mengubah semua.
Namun melalui TanganNya, semoga Tuhan dapat membantu meringankan semua.
Malaikat ada di dalam tubuhmu.





Selengkapnya

Lomba #DuetPuisi

Halo, teman-teman pencinta puisi. Untuk mengisi waktu selama bulan ramadhan, juga untuk mengolah kemampuan dalam berpuisi, saya dan sahabat saya Latifa Amalia Sagitta Syahril ingin mengajak kalian untuk berkolaborasi puisi, namanya #DuetPuisi.
Tujuannya selain yang sudah disebutin di atas, ya juga sebagai media untuk belajar menulis puisi. Dan karena permainannya ini berduet (yang diutamakan berlawanan jenis), jadi diharapkan bisa membantu kalian yang jomblo melepas status jomblo kalian itu :p

Langsung aja ke cara mainnya, ya.
1. Harus dan wajib banget punya akun twitter, juga blog (wordpress, blogspot, tumblr, dkkllsbst)
2. Suka menulis puisi.
3. Harus berpasangan (diutamakan laki-laki dan perempuan).
4. Jadwal menulis kalian bergantian. Hari pertama kamu, hari berikutnya pasangan duetmu.
5. Posting puisimu ke blog, setelah itu mention kami. Formatnya:

a. Untuk puisioner laki-laki: #DuetPuisi (spasi) Judul (spasi) Link (spasi) untuk @pasanganmu (spasi) cc:@penakecil.
b. Untuk puisioner perempuan: #DuetPuisi (spasi) Judul (spasi) Link (spasi) untuk @pasanganmu (spasi) cc:@mas_aih.

Contoh:
#DuetPuisi “Yang Kuingat Dari Masa Lalu” http://puisioner-amatir.blogspot.com/2013/07/yang-kuingat-dari-masa-lalu.html untuk @mas_aih cc: @penakecil.

6. Permainan ini akan dimulai pada tanggal 16 Juli 2013 sampai tanggal 25 Juli 2013.
7. Puisimu ditunggu sampai jam 5 sore setiap harinya.
8. Akan ada hadiah bagi puisi yang menarik.

Selamat berpuisi...
Salam,


@mas_aih dan @penakecil

Selengkapnya

Lamunan Selepas Kau Pergi

Untuk L

detak detik waktu berpacu
esok, lusa, atau sedetik berlalu
tak tahu sampai kapan
dada ini masih bisa mengembang
berdebar melihat pesona kau dari kejauhan

aku sudah lama larut dalam kebekuan perasaan
geming dalam penantian kisah-kisah masa silam
meratap penuh harap agar waktu kan terulang
mengembalikan lagi senyummu yang sempat hilang

sebenarnya aku merindu, atau mungkin mendamba?
saat kita, —aku dan kamu— duduk diam di beranda senja
saling berhadapan tanpa mengungkap kata
berujar cinta dan kesetiaan melalui hati dan mata yang bicara

selepas kau pergi, angka-angka pada almanak hanya merupa sederetan bilangan sandi
pembuka pintu bagi kenangan untuk masuk
menakali rindu dengan keluh kesah resah yang pelan-pelan merasuk

maka maafkan bila lancang
siang tadi kubingkai senyummu dalam figura sepi paling puisi
agar malam ini aku bisa mengenang dan merinduimu

—lagi

sudikah nona kembali?
membawakan lagi repih ingatan yang telah kadung terbenam
tentang sebuah kenangan di mana kita pernah larut dan tenggelam


*puisi balasan untuk Yang Kuingat Dari Kamu 
Selengkapnya

Khazanah Islam Dalam Perbedaan Pendapat

Penetapan awal puasa menjadi momen yang dinanti masyarakat muslim di seluruh dunia. Dengannya masyarakat muslim begitu antusias mempersiapkan datangnya bulan penuh berkah. Ada yang menyambut dengan membersihkan rumah, menyiapkan sahur pertama dengan makanan lezat, berziarah, dan sebagainya. Begitu pun masyarakat muslim di Indonesia.

Sayangnya, Indonesia dengan masyarakatnya yang begitu heterogen selalu dihinggapi perasaan cemas dan bingung ketika dihadapkan pada penentuan bulan Ramadhan yang selalu berbeda. Hal ini, bagi masyarakat awam tentu menjadi hal yang mengganjal di hatinya. Maka, tak jarang, celotehan dan gonjang-ganjing perbedaan begitu bising terdengar. Termasuk keinginan masyarakat agar penentuan awal Ramadhan diserempakkan saja pada satu suara agar tak ada lagi perasaan bingung menjelang Ramadhan.

Di antara hal yang menjadi penyebab perbedaan permulaan puasa di suatu negara dengan negara lain adalah perbedaan tempat terbitnya bulan. Sedangkan perbedaan tempat munculnya bulan (mathali) termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti, baik dari sisi perasaan maupun akal.
Maka, dari hal ini saja bisa diketahui bahwa tidak mungkin mengharuskan umat Islam untuk berpuasa pada satu waktu. Karena  hal ini termasuk bentuk pemaksaan terhadap suatu kelompok di antara mereka untuk berpuasa sebelum melihat hilal. Bahkan mungkin sebelum waktunya muncul.
Pernah, suatu kali Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya terkait seruan yang menuntut penyatuan umat dalam berpuasa, agar semua pihak berpatokan dengan tempat munculnya bulan di Mekkah.

Beliau menjawab, "Dari sudut ilmu falak (astronomi) hal ini mustahil, karena tempat muncul (mathla') hilal sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah itu berbeda menurut kesepakatan pakar dalam bidang ini. Jika berbeda, maka ketentuan dalil nash dan teori membuat setiap negara memiliki hukumnya sendiri.
Adapun dalil nash yang terdapat dalam Al-Quran;
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al-Baqarah: 185)
Jika misalnya ada orang yang jauh di sana tidak melihat bulan –yakni hilal- sementara penduduk Mekkah telah melihat hilal, bagaimana perintah dalam ayat ini berlaku kepada mereka yang tidak melihat  bulan, padahal Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Berpuasalah kamu semua ketika melihat (bulan sabit) dan berbukalah ketika melihat (bulan sabit)."  (HR. Muttafq alaihi)*

Adapun metode yang digunakan dalam penentuan awal ramadhan, di antaranya adalah:




  • Terlihatrnya hilal (bulan sabit awal bulan) Ramadhan. Dalam sebuah hadits Rasullah bersabda, "Puasalah mulai hilal (Ramadhan) terlihat, dan berbukalah mulai hilal (Syawal) terlihat" (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Daruquthni, dll.).
  • Apabila bulan Sya'ban telah genap 30 hari.
  • Apabila hilal tidak mungkin terlihat, karena mendung atau kabut. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i dan Maliki, tidak boleh puasa pada tanggal 30 Sya'ban dengan berlandaskan hadits, "Apabila tidak dimungkinkan melihat hilal, maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari" (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari yang diragukan, tanggal 30 Sya'ban merupakan hari yang diragukan apabila tidak dimungkinkan melihat hilal. Kondisi ini juga termasuk pada saat penanggalan/tarikh (ahli hisab) telah menyatakan bahwa hilal muncul dan terbenam sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban, sehingga tidak mungkin dilakukan rukyah. Maka awal puasa adalah ketika bulan Sya'ban telah genap 30 hari.


  • Perbedaan adalah keniscayaan. Akan selalu ada alasan dalil yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ulama. Maka mudahnya adalah sami'na wa athona. Dengarkan, lalu taati. Menjalani setiap keputusan yang diyakini dengan baik dan hati-hati. Tak perlu lagi mendebati perbedaan, salah-salah, belum mulai Ramadhan justru kita telah lebih dulu menodai keberkahannya. Jangan lagi membesar-besarkan perbedaan pendapat dalam penetapan, setiap keputusan telah diawali dengan niat yang baik dan penuh kehati-hatian.

    Tak ada yang lebih mulia, selain memurnikan niat. Menjalani sepenuh hati. Dengan senyum tulus berharap keridhoan saja.

    Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Selamat menuai keberkahan dari bulan yang mulia. Selamat berbahagia dalam berlomba mencari pahala.

    Begitu khazanah Islam dalam balutan perbedaan.
    Allahlah sebaik-baiknya penilai dan pengambil keputusan.
    Waalahu 'alam bish shawab.


    *(Dikutip dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/102)

    Selengkapnya

    Kotak-Kotak Kaca

    Malam ini aku mengenangmu. —lagi
    Setelah sekian lama berlari meninggalkan luka dan kenangan yang kusimpan dalam kotak-kotak kaca. Menyibukkan diri dengan hal apapun yang membuatku sedikit melupakan segala tentangmu. Ehm..., tak sebenarnya melupakan, memang. Hanya sekadar menafikan kerinduan yang selama ini menghujam. Meski tetap saja kamu datang pada sepiku. —sesekali.

    Malam ini, —entah dengan keberanian apa—, aku kembali membuka kotak-kotak kaca itu. Membiarkan segala cerita tumpah. Membuatku kuyup dan gigil oleh kenangan-kenangan yang menggenang begitu dingin. Seketika, aku tersedak oleh kerinduan. Hening. Berharap pelukmu merengkuh, menghangatkan aku yang demam ketika mengenangmu.

    Maafkan aku yang tak terlalu kukuh menahanmu pergi. Aku takut tak membahagiakanmu, —saat itu. Tapi, nyatanya, aku kalah telak. Selepas pergimu, penyesalan memasung segala langkah. Membuatku kerap terjatuh, terjerembab, terperosok dalam lubang pengap bernama keputusasaan. Pernah aku mencoba merelakan, berbesar sabar agar luka dapat tabah seiring waktu. Tapi detak detik masa yang terlewat, justru membuat angan untuk bersama begitu kuat.

    Maka, saat ini. Izinkan aku mengenangmu. —lagi. Sebab apa lagi yang dapat kuperbuat untuk menghadirkan tiadamu, bila keberadaanmu saja sudah begitu jauh. Berkompromi dengan asa-asa yang memudar untuk melukis lagi bayang wajahmu di setiap dinding di dalam kepala, dengan bias senyum-senyum getir menertawakan aku yang luka. Memeluk tiadamu dengan cinta paling rindu.

    "Andai bisa kupinta kepada pemilik malam. Aku ingin berdoa agar semesta mengizinkan kamu untuk datang kembali dengan senyum mengembang. Menafikan segala luka duka cerita masa silam."
    Selengkapnya

    Pecundang

    "Aku bertengkar lagi dengan pacarku." katamu lirih di sebuah kafe pada selasa Siang. Hari ini kamu meneleponku. Memaksaku untuk datang menyusul ke tempat di mana kamu berada. Padahal pekerjaan kantorku saja masih menumpuk. Deadline dari atasan sudah setinggi dagu ketika aku duduk di kubikel tempat aku menyelesaikan pekerjaan. Namun nada mendesak dari teleponmu mengatakan ada hal penting yang ingin kamu ceritakan, memaksaku untuk kembali menunda pekerjaan. Maka tanpa berpikir panjang, segera kuambil kunci motor, lalu bergegas ke kafe yang kamu tunjuk.


    Di sinilah aku sekarang. Duduk berhadapan denganmu, ditemani garis-garis kusam dan murung dari segurat wajah milikmu. Masih ada sisa tangis di situ.

    "Karena apa lagi? Masih soal kecemburuanmu?" kataku sambil menyeruput secangkir kopi hitam yang baru saja disediakan oleh pelayan kafe.
    "Iya, apa lagi? Aku kesel deh sama dia. Nggak bisa ngertiin aku banget. Dia pikir nggak capek apa ngerasain cemburu terus? Sementara dia masih asyik-asyik aja tuh bercengkerama dan tertawa-tawa dengan wanita selain aku." katamu sembari menyeka air mata yang sudah sedari tadi mengambang.
    "Udah jangan nangis, kan aku bilang, mungkin aja itu teman-temannya. Kamunya aja kali yang terlalu curiga. Santai saja. Kepercayaan jauh lebih baik untuk dijaga. Bukan diobral cuma-cuma dengan prasangka."
    "Tapi, ini udah kesekian kali. Masa iya kalau cuma teman bisa semesra itu. Foto-fotolah, makan-makanlah, jalan-jalanlah. Emang dia nggak ngehargain aku banget ya? Sampai segitunya banget bikin aku sakit."
    "Sssst.. Sudah pelan-pelan bicaranya. Jangan nangis terus. Kamu nggak berubah ya? Dari zaman kita dekat dari kuliah, tetap saja cengeng. Dasar manja."
    "Ih! Kamu kok malah ngeledek aku sih. Aku serius! Mamahku sudah sering bertanya kapan aku akan menikah dengan ia. Tapi kalau begini caranya, boro-boro mikir buat nikah. Saling ngejaga perasaan aja masih belum bisa."
    "Hehehe.. Ya maaf, lagian kamu kayak orang kesurupan. Siang-siang nyuruh aku datang, cuma buat ngelihat kamu nangis dan marah-marah sendiri. Begini saja, cobalah kamu bicara baik-baik lagi dengan dia. Jangan kauturuti egomu dulu. Biarkan ia bercerita yang sebenarnya. Anyway, seka tuh air matanya, kamu jelek banget kalau lagi nangis."

    "Iya. Nanti aku akan ajak dia bicara lagi."

    "Baguslah. Sudah jangan terlalu kaupikirkan. Santai saja dulu. Minum tuh cokelatmu. Kasihan cuma diaduk-aduk. Kamu pikir itu segelas cokelat dipesan untuk sekadar latihan thowaf." kataku mencoba menghangatkan lagi suasana.

    "Oh iya, sampai lupa." katamu terkekeh sambil menyeruput segelas cokelat panas, minuman kesukaanmu sejak dulu.
    "Maaf ya, aku jadi ganggu kamu kerja. Aku cuma nggak tahu sama siapa lagi cerita selain kamu." katamu meneruskan percakapan.
    "Iya, nggak apa-apa santai aja."
    "Eh, kamu nggak ada niat buat cari pacar apa? Sendirian terus kayak penjaga gawang."
    "Eh? Hehehe ada kok. Gebetan maksudnya. Tapi belum sampai pacaran. Anyway, pekerjaanmu gimana? Siang-siang kok malah keluyuran ke kafe?"
    "Aku tinggal. Hehehe abisnya aku lagi nggak mood banget buat kerja." katamu sambil mengaduk-aduk cokelat pesananmu. Tanganmu masih begitu lentik seperti dulu. Dengan kuku yang terpotong rapi.

    Nada dering ponselmu berbunyi. Entah siapa yang menelepon.

    "Iya. Halo?
    "Di mana? Dicari bos tuh." terdengar samar-samar suara di balik telepon.
    "Di kafe, oke baik-baik, langsung berangkat ke sana."

    "Maaf ya, aku harus balik lagi ke kantor. Atasanku nyariin. Sepertinya ada hal penting." katamu tergesa-gesa sambil merapikan tas kecil yang kaubawa.
    "Ah, iya, nggak apa-apa. Santai saja. Jangan sedih lagi ya. Semoga hubunganmu baik-baik saja."
    "Siap komandan! Terima kasih ya, sudah mau mendengar ceritaku. Bye."
    "Oke, bye."

    Punggungmu menjauh. Meninggalkan kursi-kursi dan meja-meja yang sedari tadi geming. Meninggalkan aku bersama gelas-gelas yang berdenting bersentuhan dengan sendok. Hening menyelimuti kafe, padahal pengunjung boleh dibilang memenuhi hampir seluruh kursi. Tapi aku hanya merasa sendiri.

    Melihat punggungmu yang menjauh. Ada sebagian jiwa yang berontak ingin menahanmu sebentar. Tapi sebagian yang lain memaksaku untuk membiarkan saja dirimu pergi.

    "Sungguh, di setiap waktu, aku selalu cinta padamu."
    Selengkapnya

    Alisa


    Alisa duduk terdiam di sebuah bangku panjang di tepian pantai. Dengan kaki yang tak bosan menendang-nendang pasir putih. Pandangan matanya terfokus pada satu titik di ujung lautan. Entah apa yang terlihat. Mungkin perahu-perahu nelayan yang berpulangan selepas semalam melaut, atau garis-garis temali yang dipasang pengelola pantai agar pengunjung tidak berenang melewati batas, atau burung-burung yang berterbangan membelah cakrawala, atau sekadar tatapan kosong dengan pikiran melayang ke mana-mana. Entahlah.

    Sudah tiga puluh menit Haikal berada di sisi kanannya. Ikut memerhatikan apa yang tengah Alisa lihat. Namun tak ada apa-apa. Tampak langit biru dengan air laut yang berlomba-lomba memeluk langit melalui debur ombak yang berlarian -sebenarnya, namun sisanya tak ada apa-apa. Hampa.

    "Kamu belum mau melepasku? Kamu kenapa?" tanya Haikal.
    "Tidak apa-apa," Alisa menoleh sebentar dengan senyum getir, lalu melanjutkan lagi aktivitas yang selama tiga puluh menit ini Alisa lakukan.
    "Maaf aku mengecewakanmu. Aku hanya tak ingin kamu merasakan sakit lebih dari ini. Seperti kataku kemarin, sebaiknya kita sudahi saja semuanya. Aku sudah tak memiliki perasaan apapun kepadamu. Aku sudah menemukan sosok perempuan yang benar-benar mengerti tentangku. Tentang perasaanku."
    "Setelah apa yang kita jalani selama dua tahun ini, kamu masih bisa berkata sudah tidak memiliki perasaan apapun, Kal?" Alisa tak kuat menahan gemuruh di dadanya. Alisa menangis dengan isak tertahan.
    "Dengar Haikal, aku sudah berusaha menjaga kesetiaan. Mencoba bertahan dalam menjaga perasaan. Tapi apa yang kudapat? Berita perselingkuhanmu?"
    "Maafkan aku, Alisa. Pun bila aku boleh meminta, aku tak ingin bertemu dengan ia. Perasaan ini menelusup begitu saja. Lalu pelan-pelan menggantikan posisimu dengan ia."
    "Maafkan aku, Kal. Ternyata aku belum bisa menjadi satu-satunya yang terbaik di matamu."
    "Bukan begitu, Alisa. Bagiku, kau tetap wanita yang baik. Bagaimanapun, kebahagiaanku yang dulu kaulah penciptanya. Tapi sungguh, kali ini aku tak mengerti apa yang dibicarakan kata hatiku. Angan dan inginku lebih kuat memilih ia dibanding kamu. Maaf atas keegoisanku. Bukankah sungguh menyakitkan, bila kita terus berusaha bertahan, sementara aku tak lagi memiliki perasaan. Maafkan aku, Alisa. Aku harus pergi. Engkau baik-baiklah dengan perasaanmu. Jaga dirimu sebagaimana ketulusanmu untuk terus berbahagia." Haikal beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berlalu meninggalkan Alisa sendirian.

    ************

    Alisa masih duduk terdiam di sebuah bangku panjang di tepian pantai. Dengan kaki yang tak bosan menendang-nendang pasir putih. Ombak-ombak lautan terasa tenang menyentuh karang-karang. Angin-angin berdesir lirih mengembuskan rambut Alisa yang tergerai. Pandangan mata Alisa terfokus pada satu titik di ujung lautan. Ada titik air yang menganaksungai membasahi pipinya yang merah. Hancur sudah hatinya. Karam oleh amuk tsunami yang menghantam dinding hatinya. Bukankah menyakitkan, juga perih mengikis hati, ketika seseorang yang pernah begitu dicinta mengatakan, "Aku pergi. Siapa yang butuh kamu lagi?"
    Selengkapnya

    Kategori Utama