Aku Masih Mengenangnya

"Apa kau butuh waktu untuk menyendiri? Mungkin kita terlalu lama atau kau mungkin terlalu sedih, selalu bersama-sama."

Aku mengenalmu sebagai wanita berparas jelita. Sorot mata yang teduh semakin menegaskan keanggunan di wajahmu. Ada tahi lalat di sekitar dagu - memang, tapi membuat senyum simpul di wajahmu terlihat lucu. Dulu aku sering menggoda tahi lalatmu itu. "Af, kamu ini gimana sih? Masa ada lalat di muka enggak kerasa? Jadinya dia buang air di situ kan?" Seketika cubit manja menyerang pinggangku. Sementara aku terkekeh melihat wajahmu yang memerah malu.

Pernah di lain kesempatan giliran kamu menggodaku. "Al, waktu kamu lahir pasti kamu sedang merasakan sakit teramat. Sebab lehermu terbelit ari-ari. Matamu yang besar dan melotot menegaskan hal itu." Seketika jitakan dari kepalan tanganku mendarat di kepalamu. Dan kamu mengaduh merasakan sakit. Aku meminta maaf setelah itu.

Aku masih mengenangnya. Tentang bagaimana keseruan kita kala bercanda. Saling mengejek dan menggoda. Tertawa lepas seolah tak pernah ada beban di pundak. Atau kenangan akan malam-malam panjang yang basah. Berdua kita, -aku dan kamu, saling melarung tangis. Menguatkan satu dengan yang lain perihal luka dan beban hidup yang terkadang datang menerkam. Membuat kita terpaksa diam sejenak untuk sama-sama mencari solusi penyelesaian. Saling memberi sandaran agar lebih tegar dan berbesar sabar melewati terjal jalanan.

Aku masih mengenangnya. Sorot mata teduhmu yang berubah merah. Menyalak galak karena amarah. Pernah suatu kali aku terjatuh di dalam matamu. Bungkam oleh sebab kemarahanmu atas kelakuanku. Dan aku berusaha sekuat mungkin untuk memperbaiki diri. Tulus meminta maaf agar tak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Air matamu berderai setelahnya. "Aku tak marah, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sayang kamu. Maka aku ingin kebaikan kamu dalam menjaga dirimu sendiri." katamu.

Aku masih mengenangnya. Entah siapa yang memulai. Pada suatu senja, kau dan aku mulai bercerita. Berbagi luka selama perjalanan kisah berdua. Dan, tanpa salam kamu pergi pelan-pelan. Hilang bersama gelap malam. Hati meradang mengenang kepergian. Punggung yang pernah saling bersandar akhirnya berjauhan. Membawa serta gurat cerita penuh dendam dalam meratapi kehilangan. "Aku tak pergi, aku hanya ingin melihatmu bebas tanpa kekang. Melangkah tenang tanpa ada lagi larangan." katamu, sebelum pulang.

Aku masih mengenangnya. Belum mampu untuk lupa. Sebagaimana kerinduan yang tak pernah bosan untuk singgah dalam setiap lamunan tentangmu.

"Tempo hari, selepas raga ini mengenalmu, aku jadi lupa diri. Semua tentangmu aku abadikan di sini. Terpatri baik-baik di dalam hati."
Selengkapnya

Pergi Jauh

Aku masih duduk di sudut itu. Duduk menggigil mendekap lutut. Hening telah sempurna memenuhi udara. Tak ada suara. Sepi. Tak ada apa-apa. Kecuali kenangan yang perlahan tercetak jelas di dalam pikiran. Menyublim bersama bulir kerinduan yang menetes perih tak berkesudahan.

Kepadamu, rindu bisa sedemikian bengisnya. Aku kerapkali terjatuh karenanya. Tersungkur dalam ruang kosong penuh kehampaan bernama kenangan masa silam. Sesaat mengenangmu, aku larut dalam ketiadaan. Hati perlahan merintih menginginkan kebersamaan. Kepergian adalah skenario menjemukan.

Aku masih duduk di sudut itu. Menikmati desau angin yang berdesir lirih. Seketika hanyut dalam magisnya keheningan. Pelan-pelan kerinduan mengetuk sukma dalam-dalam. Menghadirkan perih pedih rasa yang telah lama ditinggalkan. Usang dalam damba yang kau lupakan.

Kepadamu, rindu bisa sedemikian jahatnya. Aku pernah tertikam olehnya. Jatuh bersimbah air mata yang menganak sungai. Membuat kesetiaan yang telah lama kujaga seketika memuai. Meninggalkanku yang sangsi menyaksikan pengabaian dan kepergianmu tanpa salam yang melambai. Kehilangan ada kesepian paling bosan.

Aku masih duduk di sudut itu. Bersama rindu yang perlahan menyusut dan mulai diratapi. Ditemani repih mimpi yang tersisa. Dinaungi nyala asa yang mulai pudar. Dengan rentang harapan yang tak lagi lebar. Tersudut dalam luka-luka yang kau torehkan dalam-dalam.

"Maka biarkanlah aku kini pergi jauh. Pada sebuah tempat di mana aku bisa menaruh kenangan rapat-rapat. Hingga aku tak kuasa untuk membukanya lagi."

Bahagiamu, inginku.
Pergilah sebebas yang kau mau, tak perlu lagi menoleh untuk sekadar menyaksikan kerapuhanku.
Selengkapnya

Kehilangan Atas Kehilangan

"Tahu apa kau tentang kehilangan?"
"Kesepian dan kehampaan."
"Bukan, sesuatu yang lebih sunyi dari kesendirian. Tahukah?"
"Kupikir kehilangan adalah perasaan sepi di saat ramai, juga kehampaan tatkala kerinduan hanya berujar tentang damba yang melapuk dan usang."
"Kau, kenapa selalu mudah menafsirkan sesuatu dengan cinta? Sementara banyak hal di dunia yang tak selalu terkait dengan cinta."
"Lalu menurutmu kehilangan itu apa?"
"Aku yang bertanya lebih dulu. Kenapa menanyakan ulang?"
"Hhm."
"Oke, baiklah. Jangan menggerutu. Sebentar, jangan terburu-buru. Pernahkah kau merasa kehilangan?"
"Pernah, mungkin sering."
"Seperti apa contohnya?"
"Saat dimana aku terpaksa melepas kepergian."
"Hanya itu?"
"Apa maksudmu? Tak ada perasaan kehilangan selain saat dimana harus melihat apa yang dulu pernah dimiliki telah jauh melangkah pergi."
"Benar kan apa kataku, kenapa kau selalu mudah menafsirkan sesuatu dengan melibatkan cinta?"
"Jujur saja, aku tak mengerti perbincangan ini."
"Jangan dulu marah. Aku masih ingin bertanya."
"Apa lagi? Kau bahkan selalu menyanggah jawabanku."
"Aku tak menyanggah. Hanya saja, aku heran. Kenapa setiap pertanyaanku selalu kau kaitkan dengan perasaan cinta?"
"Lalu apa? Bukankah kehilangan memang selalu berkaitan dengan cinta?"
"Memang, tidak salah. Tapi belum tentu benar. Maksudku, tidak selalu kehilangan itu berujar tentang cinta."
"Apa maksudmu? Aku belum mengerti."
"Kehilangan boleh jadi adalah perasaan ketidakpedulian."
"Ketidakpedulian?"
"Ya, kehilangan terbesar adalah kehilangan perasaan kehilangan."
"Hhm.."
"Ketidakpedulianmu terhadap perasaan kehilangan adalah kehilangan terbesarmu."
"Maksudmu, kehilangan atas kehilangan?"
"Tepat. Betapa banyak dari kita yang begitu acuh atas kebersamaan. Menafikan setiap detak detik waktu yang telah dilalui. Tak menyadari bahwa setiap langkah yang telah dilewati begitu banyak menciptakan kenangan. Lalu tanpa bisa menahan, semua kenangan tersebut perlahan menghilang tanpa sempat mengucap salam perpisahan. Bukankah hari esok selalu lebih dekat dibanding detik waktu yang telah lalu? Maka ketidakpedulian pada perasaan kehilangan itulah kehilangan terbesar."
"Lalu harus bagaimana?"
"Mudah saja. Ciptakan kenangan terbaik selama hidup. Antusias dalam setiap kebersamaan. Mensyukuri apa yang dilalui sebagai sebuah mozaik kehidupan yang perlu dimuliakan. Lalu menyadari, bahwa dalam setiap kenangan yang terlewat di masa silam adalah pembelajaran yang membuatmu bisa seperti sekarang. Menjaga kenangan sebagaimana rasa senang dalam menikmati dendang irama nostalgia. Maka dengan demikian, kau akan selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap dentang usia.
"Aku mengerti."
"Itulah harapanku."
"Jadi, sepertinya mulai sekarang aku harus menjaga waktu dengan lebih baik. Agar setiap masa yang terlewat dapat memberi kenangan yang apik."
"Tepat sekali."
"Terima kasih."
"Ah, tak perlu berterima kasih. Aku menyukai perbincangan seperti ini."
"Aku pun."
"Kapan kau akan memulai?"
"Sekarang, setelah selesai aku berbincang denganmu."
"Baiklah. Aku pamit pulang."
"Ya, selamat jalan."
"Terima kasih, jangan takut kehilangan aku. Aku akan kembali sebelum sempat kau mengucap rindu."
"Kau bisa saja. Lekas berangkat, nanti terlambat naik kereta. Aku sayang kamu."
"Aku pun. Ah iya. Sampai lupa. Apa tak ada pelukan? Atau ciuman perpisahan?"
"Ah, dasar kau lelaki manja."
Selengkapnya

Pagi Datang Lagi, Kali Ini Lebih Sepi

Seperti halnya embun-embun menitik ujung daun, teduh merintik menyegarkan hari. Atau seperti sekumpulan murai yang bersahutan tak henti, berkicau menjelma simfoni paling puisi. Atau seperti tegak pohon yang berjajar sepanjang taman, hijau rindang sedapkan pandang. Aku memaknai hadirmu sebagai keindahan maya pada. Segala hal yang tergambar adalah kedamaian dan ketenangan yang menelusup ke dalam dada.

Pagi datang lagi. Kali ini lebih sepi. Hanya ada suara derai gerimis dan gemericik air yang menggenang. Jalan-jalan basah dibasuh hujan. Serupa aku dan perasaan kalut selepas kehilangan. Tak ada lagi binar mentari yang hangatkan pagi. Juga daun-daun yang merunduk dihinggapi embun. Pohon-pohon yang berdiri berjajar malah merupa sekumpulan tentara yang bersiap melepaskan meriam. Dan aku hanya sendirian.

Pagi datang lagi. Kali ini lebih sepi. Kenangan menggenang seperti hujan. Memoar luka yang sempat tertinggal kembali menyesaki hingga napas tersengal. Kerinduan setemaram langit murung yang berarak mendung. Ada asa, sebenarnya. Tapi tak lebih sunyi dari tubuh yang menggigil didekap dingin. Harapan menjelma kekecewaan yang menyalak serupa petir.

Pagi datang lagi.
Kali ini lebih sepi.
Dan kau.
Semakin jauh melangkah pergi.
Menyisakan gurat cerita kehilangan yang mulai diratapi.
Selengkapnya

Kategori Utama