Perihal Segalamu, Ibu

"Pada rumah yang dulu tidak pernah memintaku untuk pulang, pernah ada punggung tangan wanita tua yang setia menunggu untuk aku cium." *

Aku mengenalnya sebagai surga berjalan. Gurat ketegaran dan kelembutan terpancar dari wajahnya sekaligus. Tutur sapanya yang lembut setia membuatku terjaga dari tidur yang lelap saat pagi yang gigil begitu memaksa mata untuk tetap terpejam. "Bangun, nak. Sudah adzan subuh. Shalat dulu, nanti teruskan lagi tidurnya."

Aku ingat betapa banyak bulir peluh yang menetes di pelipis wajahnya. Saling berkejaran menjelma pelari marathon yang terengah mencapai garis tepi tujuan. Juga tentang seka air mata yang mengalir deras di pelupuk mataku. "Bersabar, nak. Teruskan langkah. Pada akhirnya semesta hanya melihat usaha yang kita lakukan. Yang kemudian akan bahu membahu membantu untuk mewujudkan. Sungguh, pertolongan itu sangat dekat. Hanya ketika kita mau percaya dan mengimaninya."


Pada segalamu aku belajar banyak hal. Keteguhan, ketulusan, ketegaran, kesetiaan untuk percaya bahwa sabar dan syukur adalah sebaik-baiknya penerimaan. Aku telah jauh melangkah. Perlahan menyusuri jejak-jejak impian. Tertatih mengemas usaha untuk mewujudkan. Bersama lirih-lirih doa yang kau ajarkan. "Doa adalah senjata orang beriman. Maka jangan angkuh dan pongah merasa bahwa segala dapat kauupayakan sendirian. Serahkan pada Tuhan yang menciptakan segala kekuasaan."

Di semestaku yang sekarang, aku telah banyak melupakan. Berjalan angkuh bak raja yang tak mengenal siapa yang menciptakan. Gigih berusaha mewujudkan segala angan yang ada dalam benak. Pura-pura lupa untuk peduli pada segala masa lalu yang mengajarkan ketegaran dalam berpijak. Aku telah melupakanmu.

Sampai suatu ketika langit menamparku. Membuat tersadar bahwa selama ini aku terlalu jauh meninggalkanmu. Tepat di ulang tahunku yang kedua puluh tiga, aku mendapati sebuah pesan singkat yang masuk ke telepon genggamku. "Segera pulang. Ibu telah tiada."

Langit-langit di atas kepala seketika runtuh. Kaki yang selama ini tegar tak tergoyah seketika meruntuh pasrah. Berputar kenangan masa silam dimana engkau mengajariku berjalan. Lamat-lamat menatap lekat mataku seolah mengatakan, "Ayo, nak. Engkau bisa."

Hari ini aku kembali mengenangmu. Dua tahun sudah kau terbujur di dalam lubang pengap pusara keabadian. Dan aku masih belum lupa segala ingatan tentangmu. Maafkan aku yang belum sepenuhnya ikhlas melepas kepergianmu. Biarkan segala penyesalan ini tetap ada, hanya agar aku bisa belajar bahwa tak ada cinta paling sejati selain cinta ibu kepada anaknya. Sehingga dapat membuatku terus berbuat baik hingga masa akhir pengembaraan kehidupan.

Selamat jalan ibu.
Tenanglah di sisiNya.
Berbahagia di dalam surga yang mengalir sungai di bawahNya.



*inspirasi berdasarkan tweet @iiizam di akun twitternya pada tanggal 21 Maret 2013, pukul 12.51.
Selengkapnya

Karena Engkau Berbeda

Jangan terlalu lama bertanya tentang diri.
Jika akhirnya malah terpuruk dan mati.

"Tiada yang sempurna di dunia, namun semua dapat diupayakan menjadi lebih baik."

Maka begini saja.
Bermimpilah seperti apa yang ingin kamu impikan.
Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan.
Berbahagialah sekarang jangan menunggu kebahagiaan datang.
Tebarkan manis senyummu kepada semesta yang mengelilingi kehidupanmu.
Bersikap ramah dan hangat kepada setiap yang dekat.
Tersenyum, tertawa, ceria, dan berbahagia atas keadaan apapun yang dirasa.

"Rencana Tuhan adalah kebaikan atau jalan menuju kebaikan."

Maka jangan rendahkan diri.
Jadikan iri sebagai motivasi perbaikan diri.
Tak ada diri yang lebih baik, selain dirimu sendiri.

Berbahagialah atas anugerah kehidupan yang Tuhan berikan.
Bersabar dan bersyukur adalah kawan terbaik untuk menjalani kehidupan.

Sabar adalah mengupayakan perbaikan.
Sementara syukur adalah menerima apapun keputusan akhir yang Tuhan berikan.

"Jadilah salju dalam gurun. Berani beku dalam terik. Berani putih dalam gersang. Aku percaya engkau bisa. Karena engkau, berbeda...."
Selengkapnya

Kategori Utama