Kepadamu, Kebencian Itu

1. Aku benci ketika harus menelan rindu yang telah naik ke kerongkonganku. Sementara kamu masih setia untuk diam, terpekur bisu.

2. Aku benci saat harus mengendapkan cemas sendiri. Saat kau masih saja diam tak memberi kabar pasti.

3. Aku benci ketika harus selalu menerka. Apakah engkau masih berbahagia. Tanpaku, disana.

4. Aku benci ketika harus menikmati bisumu. Membiarkan aku terpuruk dalam pilunya cemburu.

5. Aku benci saat rindu mulai menggerogoti hati. Sementara kau terlalu sibuk menyembunyikan diri.

6. Aku benci saat harus berdamai dengan sendiri. Bahwa engkau telah jauh pergi mengemas hati.

7. Aku benci saat aku harus mengira-ngira. Perhatianmu adalah perasaan nyata atau hanya sekedar basa-basi belaka.

8. Aku benci saat aku harus memperumit perasaan. Padahal dengan dekatmu saja sudah merupakan kebahagiaan.

9. Aku benci. Saat aku menyadari. Bahwa dibalik semua rasa resah, cemas, gelisah dan kebencian yang mengukung ini, aku sayang kamu.
Selengkapnya

Lelaki Cerewet, Katamu

"Maaf ya, kalau nanti aku gak bisa ngobrol banyak sama kamu. Semalam suaraku pergi. Dan pagi ini, dia belum juga kembali. Semoga hanya sebentar pergi. Agar lusa aku bisa cerewet lagi..."

Kepada kamu, sebuah pesan pendek kukirimkan. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan penilaianmu yang satu itu. Justru menjadi lucu, ketika suatu saat dalam perbincangan kita, kau tiba-tiba diam, lantas tersenyum simpul sesambil menutup mulutku dengan jari telunjuk. "Pelan-pelan ngomongnya tuan, nanti keseleo lidahnya.." Kita saling diam, bertatapan, lantas kita berdua, aku dan kamu luruh dalam tawa menggema.

Aku menyukai caramu memperlakukanku. Menjadi seseorang yang begitu setia mendengar setiap kisah. Tersenyum dan tertawa ketika terselip hal lucu, alis bertautan ketika sampai pada ucapanku yang membingungkan. Tak jarang engkau ikut menangis ketika aku mulai menceritakan kegetiran-kegetiran aroma kehidupan. Pendengar yang baik ketika hidup terlalu sering menawarkan pengabaian dan kesepian.

Aku menyukai caramu setelah itu. Tanpa banyak kata, kau tatap mataku lekat-lekat. Aku melihat bulir air mata yang kau tahan disitu. Kemudian kau raih tubuh tegapku. Menyeka air mataku yang tumpah. Dengan suara lirih kau berkata, "Jangan cemas, tuan. Kita hadapi ini berdua. Kamu tak pernah sendirian."
Aku menyukaimu sejak itu.

Aku tak pernah berlebihan memaknai hadirmu. Yang kutahu, aku selalu mencintaimu dalam setiap kesederhanaanmu.
Selengkapnya

Kategori Utama