The Story Of My School Life

Cerita ini bermula ketika aku ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah pertama di SMP Negeri 6 Bogor. Ketika aku melakukan pendaftaran, panitia menetapkan bahwa untuk bisa menjadi siswa baru di sekolah ini, di haruskan untuk mengikuti test  seleksi melalui Try Out. Dan seleksi itu pun di lakukan dan di laksanakan beberapa hari setelah aku mendaftar sebagai calon siswa baru SMP Negeri 6 Bogor. Detik jarum jam terus bergulir, hingga akhirnya, hari-hari penyeleksian yang menegangkanpun telah terlewati. Kini tiba saatnya hari yang di nanti-nantikan oleh ratusan siswa. Hari yang menentukan di terima atau tidaknya calon siswa baru untuk dapat mengecam pendidikan selama tiga tahun di SMP Negeri 6 Bogor. Hari yang menjadi titik tolak awal perubahan di masa mendatang. Hari yang telah di tentukan takdirnya oleh Sang Maha di Lauhul Mahfudz sana….
Iya.. itu hari, hari dimana di umumkannya hasil seleksi yang para calon siswa baru yang dilakukan tiga hari berselang. Beberapa nama siswa telah di panggil untuk mengambil amplop yang berisi hasil seleksi siswa tersebut. Hingga, tibalah ketika namaku di panggil oleh salah satu panitia penerimaan siswa baru. “Galih Hidayatullah, SDN Mekar Wangi’…
Deg…perasaan tegang segera mrnyelimuti diriku. Dag..dig…dug…dag…dig…dug…dag…dig…dug…
Dengan tangan gemetar ku raih amplop itu dan segera ku buka penutup amplop tersebut. Dengan sedikit menyipitkan mata, ku baca hasil seleksi yang telah ku laksanakan.
            Nama      : Galih Hidayatullah
            Sekolah  : SDN Mekar Wangi
            No. Test  : 162.122
            Hasil        : 39,04
           “ Tidak Di terima “
Menjadi siswa pada tahun pelajaran 2004/2005. Passing Grade : 39,25
            Deg…Aaarrghh… Betapa sedihya perasaan Galih ketika membaca surat itu. Perasaan sedih, haru, malu, dan kecewa berkecamuk menjadi satu. Tak henti-hentinya mata ini menggulirkan butiran butiran air mata di sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Bagaimana tidak, seorang siswa lulusan terbaik ketika SD, pulang dengan membawa kegagalan. Kegagalan untuk meraih impiannya. Impian untuk dapat merasakan pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Pertama favorit di daerah kota Bogor. Dan kini, impian itu bagai debu yang bertebaran ketika hendak di genggam oleh jemari tangan ini…**
            “Dan, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(Qs. Al-Baqarah : 216)
            Iya.. kalimat itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Kalimat yang di ucapkan oleh kakak sepupuku (baca..Miss Nawa). Nasihat yang ia berikan ketika ku melaporkan hasil seleksi penerimaan siswa baru SMPN 6 Bogor, dengan air mataku yang terus bercucuran. Kalimat itu, menjadi bahan bakar untuk memicu semangatku. Semangat untuk membuktikan benar tidaknya ucapan Allah tersebut.**
            Akhirnya, setelah melalui proses pencarian, ku tetapkan bahwa, SMP Citra Bangsa merupakan tempat yang akan ku jadikan pelabuhan dalam menuntut ilmu. Tak tahu mengapa, feeling ku menemukan secercah cahaya pada pilihan sekolah tersebut. Walaupun mungkin, banyak orang yang beranggapan bahwa sekolah tersebut kurang bagus predikatnya. Namun, ini adalah pilihan dan Citra Bangsa merupakan sekolah yang ku pilih. Apapun resikonya aku akan berusaha mengatasinya. Dan keesokan harinya, aku mendaftar ke SMP Citra Bangsa. Karena ini merupakan sekolah swasta. Jadi tak begitu banyak kesulitan yang ku dapat untuk dapat masuk sekolah ini. Cukup dengan membayar uang pendaftaran, uang gedung, SPP dan mengisi formulir, aku sudah bias di nyatakan sebagai siswa baru SMP Citra Bangsa.**
            Hhuufft…
            1 tahun berlalu begitu cepat. Begitu banyak kejadian yang ku lewati selama setahun ini. Ada tawa, tangis, haru, kekecewaan, kebahagiaan, dan banyak lainnya. Seakan baru kemarin aku bernangis-nangis ria, hingga akhirnya bias terdampar di sekolah ini. Sekolah yang bahkan tidak pernah sedikit pun terlintas di pikiran ku untuk menimba ilmu ketika itu.
            Hari ini adalah hari kenaikan kelas, ku percepat langkahku untuk segera bias sampai ke sekolah. Selama setahun belakangan ini, aku berada di kelas VII A. Setelah proses belajar mengajar yang cukup melelahkan dan menguras pikiran., akhirnya tiba juga hari ini. Kini, bangku-bangku telah di rapikan, orang tua murid atau yang mewakilkan telah duduk berjajar di hadapan wali kelas. Pembukaan pun telah selesai di ucapkan, kini tiba saatnya wali kelas menyebutkan bergiliran nama siswa untuk pembagian raport. Wali kelas akan memulai menyebutkan nama siswa setelah di tetapkan bahwa urutan pemanggilan nama sesuai dengan rangking atau peringkat yang di raih.
            “dan untuk yang pertama, siswa Galih Hidayatullah. Sebagai juara kelas VII A, dan juga sebagai Juara Umum I Kelas VII SMP Citra Bangsa. Selamat atas hasil yang di raih.”
            Alhamdulillah,… preatasi kecil ini masih dapat kupertahankan selama dua semester ini. Apa yang ku harapkan hamper setahun ini akhirnya bias ku peroleh juga. Terima Kasih Yaa Allah..**
            Hari ini tepat I semester atau 6 bulan aku menjadi siswa kelas VIII. Sekarang, Galih berada di kelas VIII A. Namun, mulai hari ini, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Suatu hal yang mungkin menjadi masalah bsgi siapapun yang mendapatkan serta mengalaminya. Mulai hari ini 24 maret 2006, kebutuhan keluargaku semakin meningkat, di tambah biaya sekolah tiga oranganak dalam keluargaku, apalagi di tambah dengan biaya hidup 1 orang yang baru masuk dalam daftar nama keluargaku. Iya.. hari ini ibuku baru saja melahirkan kembali bayi laki-laki. Sehingga akhirnya genap 4 orang anak laki-laki dalam keluargaku. Sekilas tentang keluargaku., ayahku adalah seorang suku Jawa, tapatnya ia lahir di Bantul, 24 Desember 1964, mrnikah dengan ibuku pada 18 April 1987. Ibuku seorang pribumi asli Parung kelahiran 9 April 1966. Telah dikaruniai 4 orang putra, masing-masing : Hendy johan saputra (10 november 1987), Galih hidayatullah (5 oktober 1992), Tri wibowo (29 juni 1994) dan Dimas maulana arby (24 maret 2006). Iya… begitulah sekilas teentang keluargaku.
            Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup keluargaku, ini tidak di barengi dengan pendapatan yang dihasilkan oleh ayahku. Kian hari, pendapatan keluarga semakin menurun sedangkan kebutuhan kian meningkat saja. Tentu hal ini berakibat pula padaku. Hal ini berimbas pada jumlah uang sakuku. Iya.. mulai hari ini, uang saku yang aku terima hanya sebatas ongkos pulang pergi. Hanya sekitar 1000, 1500, 2000 atau bahkan, kadang tidak ada sama sekali. SPP terbengkalai, sudah beberapa bulan aku belum melunasinya. Tapi, satu hal yang kuingat, bila kita mempunyai kemauan, hal apapun bukan tidak mungkin, dapat kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, aku sudah di tengah jalan, aku harus tetap semangat untuk menjadi yang terbaik dan tetap menjadi siswa no.1 dan kebanggaan di sekolah. Ketidak mampuan ini, kujadikan suatu motivasi untuk terus berkarya mengejar harapan yang selama ini kuimpikan.
            Dan, hal ini kubuktikan, bahwa masalah yang terus membayangi adalah terapi yang dikirimkan Allah agar aku yang tandus ini bias berubah menjadi subur. Iya,..akhirnya aku tetap bisa mempertahankan prestasi juara umum pada dua semester di kelas VIII ini. Hingga, genaplah empat semester Galih mampu menjadi juara umum, walaupun dengan keterbatasan yang Galih miliki.**
            Hari ini, hari awal tahun ajaran baru. Kini aku berada di kelas IX B. Hari yang seharusnya di penuhi rasa suka cita. Namun, itu tidak bagiku. Awal tahun ajaran baru menjadi momok yang sangat menakutkan bagiku. Awal tahun ajaran baru berarti, aku harus melunasi tunggakan SPP ku, membayar daftar ulang, membeli buku LKS, membeli buku tulis, memikirkan hutang-hutang yang aku pinjam pada teman-temanku untuk biaya ongkosku, dan seabreg kebutuhan lainnya yang dinilai dengan rupiah. Tidak jajan selama di sekolah tidak begitu membantu banyak untuk mengurangi beban orang tuaku. Hal ini membuatku bingung..aku bingung..kenapa Yaa Allah..kenapa?..kenapa harus keluargaku yang engkau beri cobaan ini..sekarang engkau lihat Yaa Allah..karena cobaan ini, orang tua sering bertengkar, percekcokan mulut sering terdengar. Kenapa Yaa Allah?apa tujuanMu memberikan ini terhadap keluarga hamba. Sedangkan banyak orang-orang di luar sana yang jauh dariMu, tapi engkau berikan mereka begitu banyak kemewahan. Mereka tidak pernah merasakan penderitaan kami. Penderitaan hamba..mereka tidak pernah merasakan, bagaimana sulitnya hal yang kudapat hanya untuk menuntut ilmuMu Yaa Allah. Ilmu yang akan hamba pergunakan sebagai bekal untuk mengangkat keluarga hamba. Bahkan, banyak diantara mereka, dengan kelimpahan rezeki yang mereka miliki, mereka malah malas dan lalai dalam menuntut ilmu. Sedangkan hamba Yaa Allah, hamba Yaa Allah… hamba mempunyai keinginan dan tekat yang kuat untuk menuntut ilmuMu, malah engkau persulit kami, pendidikan menjadi suatu barang mahal bagi kami. Tapi kenapa, mereka yang tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu, malah engkau berikan kemudahan kepada mereka. Engkau memuluskan jalannya..sangat kontras sekali dengan hamba. Kenapa Yaa Allah..mengapa?Engkau Yang Maha Adil, namun bagi hamba, enkau belum menunjukkan keadilanmu itu. Untuk itu Yaa Allah..perlihatkanlah kekuasaanmu. Tunjukkanlah hamba keadilanmu..perlihatkanlah Yaa Allah…Amin..**
            “Tidak ada orang yang dirugikan sedikitpun dan akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukannya.”(Qs. Yaasin : 56)
            Ku hapus air mataku, “Aku gak boleh nyerah, aku masih punya Tuhan, aku masih punya kelebihan lainnya. Semangat..iya aku harus semangat. Belum tentu setiap masalah merupakan halangan. Aku tidak boleh menilainya buru-buru. Aku harus menunggu semuanya berjalan secara utuh, karena apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”maka, terjadilah ia. Dan kalaulah langit dan bumi menghimpit seseorang, lalu bertakwa kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya Tuhanku itu akan memberinya itu. Iya,…untuk itu aku harus semangat. Ini merupakan terapi dariNya untukku. Aku harus tetap bias melewatinya, aku harus tetap tersenyum walaupun itu sulit bagiku.”itulah ucapku dalam hati ketika aku berjalan pulang menuju rumah.**
            “Galih, kamu kenapa?kok kamu sekarang jadi sering melamun di kelas?selain itu, kenapa SPPmu hingga bulan ini belum kamu lunasi?sudah 4 bulan lho. Oiia, kenapa sampai sekarang kamu belum juga beli LKS?LKS ituu penting lho buat proses belajar kamu. Kalo gak pake LKS, gimana caranya kamu belajar?”
            Iya, itulah serentetan pertanyaan yang sering kudengar dari mulut teman-temanku. Aku bingung harus menjawab apa. Jawaban apa yang tepat untuk mewakili pertanyaan itu. Aku murung. Aku sedih. Aku malu. Aku bingung. Yaa Allah,,.apa yang harus hamba lakukan?
            Keesokan harinya, keadaan masih belum berubah. Bahkan bias dikatakan semakin memburuk. Keadaanku ini, akhirnya terbaca oleh wali kelasku. Seorang guru bahasa Inggris tamatan IKIP Bandung atau sekarang lebih dikenal dengan UPI Bandung. Seorang wanita kelahiran Ciamis, 11 mei, sekitar 43 tahun yang lalu. Hari ini adalah hari rabu, ketika usai pelajarannya, Beliau yang bernama Eni Kustini, S. Pd memanggilku untuk ikut ke ruangannya. Ruangan yang berada sekitar 3 blok dari kelasku. Akhirnya keluarlah semua pertanyaan tadi. Pertanyaan yang sering kudengar dari mulut teman-temanku. Pertanyaan yang selalu membuatku bingung atas keadaan yang menimpaku dan keluargaku di rumah.”Galih, kamu kenapa?kamu lagi ada masalah?ibu lihat, sekarang kamu selalu melamun di kelas, tak hanya itu, kamu juga sering kelihatan murung. Bahkan banyak guru-guru yang melapor bahwa nilai kamu menurun. Dan kenapa LKS belum juga kamu beli?apa kamu sudah bosan buat belajar?oiia..SPP juga, TU sering melapor pada ibu, bahwa kamu hingga kini belum juga melunasi SPPmu hinggs 4 bulan ini. Kamu menapa?ada masalah?kalau iya, ceritakan saja semuanya pada ibu. Ibu akan dengarkan.
            Deg…mendapat serentetan pertanyaan itu, bukan jawaban yang kutemukan. Namun,tak terasa, butiran-butiran air mata meleleh dari kedua mataku. Aku menunduk menahan tangis. Kubiarkan diriku menemukan sedikit ketenangan terlebih dahulu. Setelah kuraih itu, secara perlahan-lahan kuceritakan semua masalahku. Tentang bagaimana keadaan rumah dan keluargaku. Bagaimana keluargaku rela makan nasi aking campur garam karena sudah tidak punya uang sepeser pun. Tentang bagaimana pengorbananku untuk bisa sampai ke sekolah dengan cara meminjam uang pada sahabat-sahabatku, yang kugunakan sebatas hanya untuk biaya naik angkutan kota. Dan semua keadaan sulit yang membelitku ketika itu. Ku ceritakan semua itu hingga air mataku meleleh kembali, sampai terisak ku di buatnya. Dan begitupun dengannya, Beliau ikut merasakan kepedihan dan penderitaanku. Beliuau ikut menangis. Beliau menjadi pendengar setia dalam menyimak keluh kesahku. Dan ketika bel berbunyi, usai pula ceritaku. Aku merapikan diri, bergegas menuju kelas kembali. Setelah nasihat untuk bersabar, tawakal dan menyerahkan segalanya kepada Sang Maha Penguasa itu ia berikan kepadaku, aku bergegas menuju kelas kembali setelah sebelumnya kuucapkan rasa terima kasihku atas segala bentuk perhatian yang ia berikan padaku, dan telah rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan ceritaku.**
            Keesokan harinya, tanpa sedikitpun terlintas di benakku sebelumnya, tanpa di duga-duga kekuasaan Allah menghampiriku. Semua tunggakanku dan segala kebutuhan penunjang sekolahku telah terlunasi, SPP, LKS, dan sebagainya, telah di lunasi oleh seseorang. Belakangan ini kuketahui, bahwa orang yang melunasi itu adalah dia.**
            Beberapa bulan berlalu setelah kejadian itu. Minggu ini adalah minggu-minggu sebelum pelaksanaan Ujian Nasional. Semester lalu, aku kembali tetap menjadi juara umum. Namun, ada kegelisahan di dalam hatiku. Keadaan keluargaku masih belum berubah. Masih saja di tempat. Padahal, untuk dapat mengikuti Ujian Nasional, banyak administrasi yang perlu kuselesaikan untuk mendapatkan, kartu Ujian Nasional. Hari-hari kulewati dengan kegelisahan. Aku takut tidak bias mengikuti Ujian. Dan hingga H-3 sebelum Ujian, aku masih belum mendapatkan kartu Ujian. Yaa Allah…bantulah hamba. Apa yang harus hamba perbuat Yaa Rohman?agar hamba dapat menyelesaikan masalah ini Yaa Allah.
            Esok harinya, atas izinNya, kekuasaan Allah menghampiriku sekali lagi. Dia menyerahkan kwitansi pembayaran administrasi Ujian Nasional. Iya..dia…seseorang yang bulan-bulan kemarin melunasi segala tunggakanku. Seseorang yang diberikan Allah kepadaku untuk menjadi malaikat penolong di setiap lalu lalangnya masalah-masalahku. Iya…seseorang wanita berhati mulia yang dulu menjadi pendengar setia dalam mendengarkan segala keluh kesahku. Dia adalah ibu Eni Kustini. Terima kasih Yaa Allah. Engkau telah mendengar doa-doaku. Engkau yang Maha Rohman dan Maha Rohim.**
            Kemudian,  Ujian Nasional yang selama ini membuatku gelisah dan menjadi momok menakutkan bagi setiap siswa yang akan melakukannya berhasil kulaksanakan dengan cukup baik. Dan tiba hari yang selama ini dinanti-nanti oleh setiap siswa kelas 3 di seluruh penjuru Indonesia. Hari penentuan masa depan. Hari yang selama ini kutunggu. Hari pengumuman hasil Ujian Nasional. Kembali jantungku berdegup cepat. Dag..dig..dug..”Yaa Allah…lulus gak ya?lulus gak ya…?Yaa Allah…”kataku, di dalam hati. Tak terasa, amplop itu kini telah pindah ke tanganku. Kalau melihat amplop berisi hasil pengumuman, aku menjadi trauma. Mungkin bias dikatakan “Amplophobia”kali ya?!
            Ya…dengan tangan gemetar akhirnya kuraih isi di dalam amplop. Peluh bercucuran. Mata menyipit, dan,
                                                “Selamat Anda Lulus”
Alhamdulillah Ya Allah…akhirnya setelah perjuanganku selama dua tahun belakangan ini, kini di bayar cantik. Tak hanya itu, aku menjadi lulusan terbaik di Citra Bangsa ketika itu, dengan rata-rata nilai tertinggi. Terima kasih Ya Allah.**
            Namun, bukan berarti hari ini menjadi hari yang di penuhi suka cita untukku. Hatiku kembali gerimis, gerimis di penuhi rasa kesedihan. “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Ya, sampai saat ini keadaan keuangan keluargaku belum membaik. Imbasnya sampai pula pada pendidikanku. Orang tuaku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanku ke jenjang SMA. Aku di harapkan menunggu sampai keadaan mulai membaik. Hhuff..apapun keputusan itu, mungkin itu menjadi yang terbaik untukku. Aku yakin, suatu saat nanti aku bisa meneruskan jejak langkahku melanjutkan merajut benih- benih impian untuk menggapai cita-citaku. MungkinTuhan menganggap sekarang bukanlah waktu yang tepat bagiku. Tapi, sekarang aku yakin suatu hari nanti, kesempatan itu akan datang kepadaku. Kuterima keputusan itu dengan lapang dada. Sepahit apapun itu, aku harus menerimanya. Mungkin ini memang takdirku.**
            “ ya Alllah…tetapkanlah hatiku, agar mampu menerima keputusanmu”
            Beberapa hari kemudian, kembaliku ke sekolah untuk menyelesaikan urusan-urusan mengenai ijazah. Ketika ke ruang guru, kembaliku di panggil oleh seorang guru. Iya..dia adalah bu Eni. Sekilas tentang keluarganya, ia menikah dengan seorang bernama Isak Suratman,S.Ag, yang mendapatkan gelar IAIN Syarif Hidayatullah, atau sekarang UIN Jakarta. Karena ada beberapa penyakit dalam tubuh bu Eni, beliau dituntut untuk tidak bisa memiliki buah hati. Jadi, hingga saat ini beliau belum dikaruniai anak. Keluarga ini tinggal di perumahan Kayu Manis blok J20, kecamatan tanah sareal kayu manis bogor.
            Akhirnya, setelah cukup lama kami bercerita dan bercanda ria bahkan ku sering melakukan guyonan-guyonan segar terhadapnya, tibalah percakapan menuju masa depanku. Ketika itu, tiba-yiba ia bertanya…
            “Galih, kamu mau nerusin sekolah kemana?mending ke negeri aja..sayang tau otakmu. Apalagi kamu bisa menyabet 6 semester dengan nilai terbaik.”
Deg …
Jantungku seakan berhenti berdetak. Hatiku mencelos…”ya Allah..gimana ini? Apa yang harus kukatakan?” bisikku dalam hati. Dan akhirnya, kuceritakan semua. Tentang apa saja keputusan yang harus Galih terima. Dan tak terasa pelupuk mata ini kembali mengalirkan air mataku. Di ruangan itu, kembali kumenuangkan keluh kesahku. Dan mungkin, ruangan itu menjadi saksi bisu, kedekatan seorang murid dengan keadaan yang luar biasa menyedihkan. Dengan seorang wanita berhati mulia dengan keadaan yang sangat bertolak belakang denganku dikala itu.**
Beberapa hari selanjutnya, kujalani aktivitas di sekolahku tanpa kehadiran bu Eni. Saat ini ia sedang berlibur ke kampung halamannya, di daerah Ciamis.
Seminggu berselang, akhirnya sosok bu Eni kembali kutemukan. Beliau telah kembali dari kampung halamannya. Hari ini hari ke-3 menjelang pelaksanaan perpisahan. Hari ini ada sesuatu yang berbeda pada wajah bu Eni. Aku menemukan secercah cahaya dan raut kebahagiaan di wajahnya. Seperti biasa, kuberdialog lagi dengannya. Bercerita tentang liburan di kampung halamannya. Kami lakukan itu sambil sesekali mencicipi makanan-makanan kecil khas Ciamis. Hingga sampai kepada perbincangan itu, perbincangan yang menjadi titik awal perubahan garis takdir perjalanan hidupku.
“lih, ibu mau ngomong…kemarin waktu ibu pulang, keluarga ibu berkumpul semua, ada kakak, adik, dan orang tua ibu berkumpul di sana. Nah..pas lagi ngumpul-ngumpul, ibu bercerita kepada keluarga ibu, bahwa ibu punya anak murid yang lumayan pinter dan punya tekad yang kuat untuk belajar, tapi keadaan keluarganya tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah. Dan ketika ibu selesai bercerita, ibu usulakan ke keluarga ibu untuk mencari solusi apa yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Dan di putusakan bahwa ibu fifty-fifty dengan adik ibu untuk membantu kamu melanjutkan sekolah. Sehingga kamu tidak usah memikirkan biaya lagi, bagimana mencari cara untuk meneruskan pendidikanmu. Nah…bagaimana?kamu mau gak?jangan tersinggung yah…ibu melakukan itu untuk kebaikanmu. Soalnya sayang kalau tidak nerusin ke SMA. Bagaimana lih?
Deg… bibirku bergetar hebat. Lidahku terasa kelu, tak banyak kata yang dapat kuucapkan. Tak bisa di bayangkan bagaimana perasaan galih ketika itu, ada kebahagiaan, rasa sedih, dan haru. Tidak…tidak hanya itu, perasaan bingung pun ikut hinggap di hadapanku. Aku binggung memilih, iya atau tidak. Di satu sisi, aku ingin bisa melanjutkan pendidikanku. Tetapi, di sisi lain, aku gak mau memberatkan ibu, sudah begitu banyak ia membantuku. Itu sudah sangat cukup bagiku.
“ya Allah…apa yang harus hamba pilih”. Mungkin ini adalah pilihan terbaik yang Allah berikan kepadaku. Mungkin ini adalah jawaban atas segala macam bentuk do’a yang aku panjatkan kepadamu. Dan akhirnya, ku mantapkan hatiku, pilihan yang aku ambil adalah, aku menerima tawaran ibu. Ini adalah kesempatan bagiku. Dan kesempatan itu datang di saat yang tepat. Ya Allah…terima kasih ku panjatkan kepadamu. Engkau telah menjawab kegelisahan hatiku. Engkau memberikan kenikmatan terhadap hambamu bukan di saat mereka menginginkan, tetapi engkau memberi di saat kami membutuhkan. Engkaulah sebaik-baiknya pemberi keputusan. Terima kasih ya Allah dengan air mata yang meleleh di mataku, ku bersujud syukur kepadamu sebagai bentuk rasa syukurku kepadamu ya Allah, yang telah begitu banyak memberikan kebaikan terhadap hamba yang papa ini. Engkau selamatkan hidup hamba melalui malaikat penolongmu yang sangat cantik. Terima kasih ya Allah, terima kasih bu Eni.
“robbi awzi’nii an asykuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa’alaa waalidayya wa an a’mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnii birohmatika fii ‘ibadikashshoolihiin.” (Qs. An Naml : 19)
“ya Allah..berikanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatmu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal sholeh yang engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmatmu ke dalam golongan hamba-hambamu yang sholeh.”
Amin yaa robbal ‘alamiin.
Cahaya mentari pagi, berkilau indah memancarkan sinarnya. Di temani oleh sepoinya angin yang berhembus, membuatku semangat melewati hari-hariku.
Tak terasa tiga tahun lebih sejak kejadian di ruangan itu kulewati. Kini aku telah menjadi alumni di SMA Negeri 1 Parung. Kuhabiskan waktu tiga tahun di kelas X.7, XI IPA 3, dan  XII IPA 4. Terekam jelas dalam ingatanku, seberapa panjang jalan yang harus kulalui untuk bisa mencapai diriku yang sekarang. Secercah harapan yang dulu sempat hampir menghilang. Harapan untuk meraih impian. Impian yang mampu merubah masa depan. Dan sekarang, aku sedang meniti impianku itu. Alhamdulillah … selama berada disana telah kuraih peringkat pertama di kelasku di empat semester terakhir. Walau kini ku tak bisa menjadi juara umum 1, aku tetap bangga pada prestasi itu. Semoga langkah awal ini, menjadi titik awal perubahan dalam hidupku. Teringat firman tuhan dalam surat Al-baqarah ayat 216, dulu pernah diucapkan saudara sepupu perempuanku.
“boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Iya.. Allah mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui. Dia adalah sebaik-baiknya pembuat kaputusan. Bayangkan, andaikata aku di terima di SMP Negeri 6 Bogor. Mungkin, kini aku tak bisa berdiri di sini, menjalani jejak-jejak kecil langkahku di sekolah ini.
Thanks god. Alhamdulillah.. diam-diam, engkau masih memberikan perhatian kepadaku dengan memberiku kesempatan untuk bisa kembali subur.
“Ya Rabb… untungnya engkau tidak emosional sepertiku. Jika engkau emosional, pastilah sudah memberiku petaka yang menghancurkan. Untungnya engkau maha rohman dan maha rahiim…” terimalah taubatku ya Allah…!


"Sekedar pengingat...."

Tidak ada yang salah dari ketentuan Tuhan. Dia tidak akan pernah berbuat zhalim kepada makhluk-Nya. Dia tidak akan pernah menjerumuskan hamba-Nya. Dia memberi kesulitan, semata-mata untuk menguji keimanan hamba-hambanya. Sampai sejauh mana hambanya akan bersabar dan bertawakal kepada-Nya.
Tuhan adalah zat yang maha adil. Keadilan Tuhan di tunjukkan dengan “ketepatannya dalam menentukan sesuatu sesuai haknya.” Dia tidak memihak pada siapapun dalam mengambil keputusan. Sehingga tidak akan pernah ada yang di rugikan. Dalam suatu riwayat di sebutkan, bahwa Tuhan pernah berkata kepada malaikat. “inilah aku, yang pemurah, pemberi karunia maha kuasa, tidak menyusahkan apa yang kuberikan. Tidak bermanfaat bagiku. Apa yang kutahan. Sedikit pun aku tidak menzalimi siapapun. Adapun mereka yang lalai itu, aku mudahkan dan muluskan baginya dalam mendapatkan kenikmatan bukan pada waktunya. Dengan begitu, aku membalas kebaikannya yang pernah di lakukannya. Aku balas kebaikan itu sekarang supaya ketika ia datang pada hari kiamat, tidak ada lagi kebaikan pada lembaran-lembaran amalnya. Adapun untuk mereka yang taat, aku ingin menghapuskan kesalahannya, aku tahan jalan dalam mencapai kenikmatan, dengan menolak kemauannya supaya kelak dia datang menghadap-ku tanpa dosa.
Firmannya, “…. Tidak ada orang yang di rugikan sedikit pun, dan akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatan yang pernah di lakukannya.” (yaasin :56).
Sering kali, karena keterbatasan kita, manusia tidak mampu “membaca” keadilan Tuhan secara tepat. Aku menganggap Tuhan tidak adil, karena keputusan Tuhan yang di rasa janggal atau merugikan diriku. Padahal, “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengatahui.”(Al- baqarah : 216)
Terima kasih ya Tuhan…
Terima kasih ibu Eni Kustini…





'Setitik pesan dariku…'
Sahabat…
Seberat apa pun masalahmu sekelam apa pun beban hidupmu jangan pernah berlari darinnya atau pun bersembunnyi agar kau tak akan bertemu dengannya atau agar kau bisa menghindar darinnya.
Karena sahabatku…
Seberapa jauh pun kau berlari dan sedalam apa pun kau bersembunyi, dia pasti akan menemuimu dalam sebuah mozaik episode kehidupanmu…
Sahabatku…
Alangkah indahnya bila kau temui ia dengan dada yang lapang, persilahkan ia masuk dalam bersihnya rumah hati dan mengkilapnya lantai nuranimu. Hadapi ia dengan senyum seterang mentari pagi. Ajak ia untuk menikmati hangatnya teh kesabaran di tambah sedikit panganan keteguhan.
Sahabatku…
Dengan begitu sepulangnya ia dari rumahmu akan kau dapati dirimu menjadi sosok yang tegar dalam semua keadaan dan kau pun akan mampu dan lebih berani untuk melewati lagi deraan kehidupan
Dan yakinlah sahabat…
Kau pun akan semakin bisa bertahan kala badai cobaan itu datang menghantam.

6 komentar:

  1. ya Allah :(
    ga bisa nahan air mata baca tulisan ini :(

    BalasHapus
  2. Ah mas, dibalik senyum, twit-twit lo tentang cinta.. ternyata kisah hidup lo juga menyentuh hati nurani gue. Gue nyesel kalau belum bisa jadi orang yg pandai bersyukur, tapi setelah gue baca cerita lo setelah gue denger cerita guru gue sendiri..

    Gue sadar kalau Tuhan punya rencana yang lebih indah untuk hidup kita, selama kita kuat dan tegar utk menjalaninya. Guru les gue juga punya kisah yang sama, Alhamdulillah sekarang dia udah sukses dan membagi-bagikan ilmunya kepada murid yang ekonominya kurang beruntung.

    Semoga post mas galih ini bisa dibaca semua orang dan memberikan manfaat Aamiin :)

    BalasHapus
  3. Subhanallah.. ceritanya bener-bener bikin terharu mas :'(

    aku yang sering putus asa ma masalah kecil, kadang males kuliah, rasanya dikaplok baca ini..

    BalasHapus
  4. Merinding baca postingan ini mas. Menginspirasi sekali :)

    BalasHapus

Kategori Utama